From: MMI Ahyani <ahy...@yahoo.com>
Date: Tuesday, March 30, 2010, 1:37 PM


 



'a winner is not one who never fails, but one who never quits!'




----- Forwarded Message ----
From: Andre Legoh <a........... ....@gmail. com>
To: it...@yahoogroups. com
Sent: Tue, March 30, 2010 11:23:34 AM
Subject: [itb89] Kisah nyata petugas pajak yang menentang arus korupsi

Kutipan kisah nyata petugas pajak yang menentang arus korupsi.
Dipaling bawah ada sumbernya, jika ada yg ingin cross check kebenaran  
sumbernya. Thanks.
Andre

---------- Forwarded message ----------
Kisah seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi Sebagai pegawai  
Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat  
prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal  
datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan  
belingsatan, kami tenang saja. 
 
Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu  
menyenangkan sekali.Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih  
menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi  
sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya  
rasakan langsung. 
 
Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970,  
sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi  
Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992  
saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu  
mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan  
melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan  
memang sangat keras. 
 
Saya punya prinsipsatu saja, karena takut pada  
Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan  
keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat  
prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang  
jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah,  
prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam  
pengajian keislaman. 
 
Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada  
isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej  
banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak  
begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan  
tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal  
saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga  
sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan  
yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan  
selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita.  

 
Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama  
menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting  
bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup  
layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah.  
Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga  
besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum  
bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami  
membantu adik-adik dan keluarga. 
 
Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa  
kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi  
pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu  
bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya  
di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana  
kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami.  
Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau  
pemeriksa pajak. 
 
Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya  
karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun.  
Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi  
sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan  
untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat.  
Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di  
mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan  
jatuh. 
 
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman  
itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha  
mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau  
apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada  
dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada  
orang yang tidak seperti mereka. 
 
Pengalaman di kantor yang paling  
berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura  
berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah  
ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah  
direkayasa. 
 
Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan  
dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah  
gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka  
akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja  
dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman. 
 
Saya  
pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat  
simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain  
ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti  
sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa  
memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika  
pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak  
saya. 
 
Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja,  
berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya  
perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja  
berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke  
rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.  
Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah  
perusahaan besar. 
 
Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan  
penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu,  
atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia  
mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka  
perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu,  
dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan  
masyarakat rugi. 
 
Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak  
adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang  
melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan.  
Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain. Karena dirasa  
sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi.  

Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan  
dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada  
uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya  
terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan  
memintaagar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga  
sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan  
itu akan tetap sah. 
 
Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak  
ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua  
sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah  
mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan  
kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya  
mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.  

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama  
bersahabatdan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, ? 
Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik.? Saya katakan, ?Tidak munafik  
bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak  
melakukan korupsi.? Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang  
selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak sayaadalah uang  
dari klien. 
 
Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi  
merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya  
belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang  
memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan  
karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa  
mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika  
merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya  
pulang. 
 
Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di  
rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.  
Ia lalu mengatakan, ?Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah  
saya pakai,? katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya,  
alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh  
isteri saya untuk keperluan apa pun. 
 
Jadi amplop-amplop itu disimpan  
di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu.  
Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh,  
tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang  
jelas, bukan lagi puluhan juta. 
 
Karena sudah masuk hitungan dua tahun  
dan diberikan hampir setiap pekan. Saya menjadi bersemangat kembali.  
Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta  
bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya  
lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di  
lantai. Saya katakan, ?Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak  
pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya  
satu pun perkataan kalian.? 
 
Mereka tidak bisa bicara apa pun karena  
fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan.  
Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya  
diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi  
petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. 
 
Ketika  
melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati  
dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas.  
Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk  
menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya  
ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu  
mendesak. 
 
Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika  
saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik- 
detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri  
dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. 
 
Saya mau  
bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah  
pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga.  
Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu  
pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di  
rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia  
dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia  
sempatkan datang ke rumah sakit. 
 
Wallahu a?lam apakah dia sudah  
diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin  
menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah  
ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas.  

Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya  
operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya  
pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa  
adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun,  
saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus  
sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap  
berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? 
 
Ketika anak harus pulang,  
saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan  
ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan  
itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah  
sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah  
lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan  
anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, ?Kenapa tidak bilang-bilang? ?  
Saya sampaikan karena tidak sempat saja. 
 
Setelah teman itu pulang,  
ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya  
juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah. Saya berusaha tidak  
terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di  
luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak  
memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta  
bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana  
sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga.  

Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu,  
saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain,  
dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.  
Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih  
banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka  
sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. 
 
Dengan  
pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK,  
BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk  
menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti  
rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga  
habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu.  
Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, ?Uang setan ya  
dimakan hantu.? 
 
Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai  
berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta  
mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu  
tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang  
semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. 
 
Ada juga  
diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras  
dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima  
uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu  
hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari  
mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa  
atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu. 
 
Atasan  
yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya  
memberi uang hari Jum?at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih  
uang Jum?atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya  
memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi  
menjelang lebaran dan sebagainya. 
 
Kalau dihitung-hitung sebenarnya  
lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang  
menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin  
sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur?an. Tetapi mereka sulit  
berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di  
antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada  
yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya  
selingkuh dan lain-lain. 
 
Meski secara ekonomi mereka sangat mapan,  
bukan hanya sekadar mapan. Yang sangat dramatis, saya ingat teman  
sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian  
keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta  
bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak  
bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana- 
sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia  
betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat  
ditinggalkan. 
 
Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang  
mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang  
dipecat dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang  
melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi  
pelopor dan teladan di mana saja. 
 
Kiatnya hanya satu, terus menerus  
menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan  
sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya  
berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan  
(matanya berkaca-kaca) . 
 
Sumber: ( Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/ 
Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005)






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke