http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/27/utama/3411943.htm Korporatokrasi
Anda ingat John Perkins, penulis buku Confessions of An Economic Hit Man (2004)? Buku baru berjudul A Game As Old As Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption (2007) yang disunting Steven Hiatt mengungkap lebih jelas petualangan "ekonom pembunuh bayaran". EHM bekerja untuk korporatokrasi (corporatocracy), jaringan kerja sama antara MNC (multinational corporations) dengan lembaga internasional (World Bank/IMF), elite negara maju, dan penguasa negara Dunia Ketiga. Ikon korporatokrasi yang nyata Wapres Amerika Serikat Dick Cheney. Ia mantan CEO Halliburtonâkontraktor terbesar di duniaâdan sampai kini menjadi penasihat bisnis MNC itu. Cheney penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat senjata pemusnah massal. Kini Halliburton bersama MNC lainnya menikmati keuntungan dari ladang minyak Irak. Menurut Empire, penyingkiran pemimpin dibenarkan korporatokrasi, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeq (1951- 1953) yang menasionalisasi industri pertambangan. Menurut Perkins, EHM juga mengatur terjadinya kecelakaan yang menewaskan Presiden Ekuador Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos. Korporatokrasi dimulai saat World Bank/IMF menyalurkan pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara miskin atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair jika dengan syarat tender-tender pembangunan dihadiahkan kepada MNC/mitra lokal atas restu korporatokrasi. Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/ mitra lokal naik setiap tahun selama proyek dikerjakan. Derita negara itu belum selesai. Ia bukan cuma gagal menyejahterakan rakyat, tetapi juga tak mampu membayar utang sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk menjual kekayaan alamnyaâmisalnya ladang minyak. Empire mencontohkan PLTU Paiton I dan II yang nilai proyeknya 3,7 miliar dollar AS. Megaproyek ini tak bermanfaat sebab harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal dibandingkan di Filipina atau 20 kali lebih mahal dibandingkan di AS. Dana pembangunan Paiton ngutang dari ECA (export credit agencies) dari negara-negara maju. Korupsi dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orde Baru. Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan secara paksa sampai monopoli suplai batu bara, dihadiahkan tanpa tender kepada berbagai MNC/mitra lokal. Setelah Pak Harto lengser ing keprabon, baru ketahuan nilai proyek itu terinflasi 72 persen. Pemerintah coba menegosiasi ulang Paiton dengan argumen megaproyek itu hasil KKN. Alhasil, kita selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dollar AS per kWhâpadahal kemampuan kita cuma dua sen. Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam akan meminta G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tak layak mendapat kredit lagi dari World Bank/IMF. Lagi-lagi kita manut. Empire mengungkapkan bagaimana industri minyak kita diperdayai korporatokrasi melalui perjanjian PSA (profit-sharing agreement). Perjanjian ini bertujuan menghindari nasionalisasi seperti yang dilakukan PM Mosaddeq atau Presiden Bolivia Evo Morales belum lama ini. PSA seolah-olah menempatkan kita sebagai pemilih sah ladang minyak, sementara MNC sebagai "kontraktor" saja. Namun, pada praktiknya MNC mengontrol pengembangan ladang yang mendatangkan profit berlipat gandaâmirip seperti praktik kolonialisme. Perjanjian ini ibarat pernikahan ideal antara kontrak bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi kita sebagai majikan dengan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang mendatangkan profit maksimal. Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC-lah yang mempunyai kedaulatan nasional. "Klausul stabilisasi" dalam perjanjian PSA mengatakan UU kita tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dalam rangka memetik profit. UU tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadiâ yang berlaku hukum internasional yang tak mengenal istilah kepentingan atau UU nasional. "Cerita sukses PSA" yang dijual EHM bernama Dan Witt yang bekerja untuk ECA di AS, ITIC (International Tax and Investment Center). Witt atas nama British Petroleum, Chevron Texaco, Total, dan Eni SpA "menggarap" Irak. IMF menyalurkan kredit untuk Irak sambil menetapkan syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga BBM meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan UU Perminyakan akhir 2006 dan IMF wajib disertakan dalam proses perumusannya. Witt yang bermodalkan best practices (senjata gombal World Bank dan IMF) menjadi negosiator antara para pejabat Irak yang korup, IMF, dan MNC. Semua untung kecuali rakyat Irak. Tidaklah sulit mencerna kita menjadi korban korporatokrasi. Pertanyaannya, apakah kita masih peduli? Lihatlah para pemimpin kita hanya mematut-matut diri. Anggota DPR tak percaya diri dan tak mau kalah dibandingkan Tukul Arwana, menuntut dibelikan laptop yang mahal sekali. Para pengusaha kita menjual "Visi 2030" yang isinya membuat saya seperti sedang bermimpi di siang hari. Daripada sakit hati, mari kita ber-ha-ha-ha dan ber-hi-hi-hi. Kepada mereka, kita acungkan telunjuk sambil berseru, "Ah, kalian sungguh lucu sekali!" === Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits? Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] http://www.media-islam.or.id ____________________________________________________________________________________ Looking for earth-friendly autos? Browse Top Cars by "Green Rating" at Yahoo! Autos' Green Center. http://autos.yahoo.com/green_center/