Lekra dan Kejahatan Berbasis Kebencian

oleh Asvi Warman Adam


Kejaksaan Agung melarang lima judul buku pada Desember 2009, termasuk karya 
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yakni Lekra Tak Membakar Buku. 
Buku ini merupakan seleksi dari 15 ribu artikel Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 
1950-1965.

Profesor Dr Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, di sampul belakang 
buku ini memberi komentar, “Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit 
kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar 
semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini 
telah mencoba mengungkapkan kembali apa sebenarnya yang terjadi pada era yang 
sarat gesekan itu.”

Mengingat selama tiga dekade Orde Baru tidak ada akses bagi surat kabar 
berhaluan kiri itu, buku ini merupakan dokumen sejarah, khususnya sejarah 
kebudayaan yang amat penting. Sebab, ia tidak hanya menggambarkan polemik 
sastra dengan pengusung Manifesto Kebudayaan, tapi juga kerja turun ke bawah 
yang dihasilkan oleh seniman pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, reog). 
Larangan oleh Kejaksaan Agung itu kembali menyumbat informasi sejarah masa lalu 
yang mulai terbuka sejak era reformasi ini. Apa makna dari larangan tersebut?

Pada 16 Desember 2009, saya menjadi penguji ahli pada Pascasarjana Departemen 
Kriminologi Universitas Indonesia. Tesis yang disidangkan berjudul “Penyebaran 
Hate Crime oleh Negara terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat”. Hate crime 
(kejahatan berbasis kebencian), antara lain dikembangkan oleh James B. Jacobs 
dan Kimberly A. Potter (1997), merupakan teori baru dalam bidang kriminologi di 
Indonesia. Tindak kejahatan ini bisa berupa kekerasan fisik, stigmatisasi, atau 
perusakan harta benda. Tesis ini melihat hate crime itu disebarkan oleh negara 
melalui pelarangan karya seniman Lekra dan stigmatisasi terhadap mereka 
sehingga tidak bisa lagi berkarya dengan menggunakan nama asli. Proses ini 
diawali dengan penangkapan dan penahanan tanpa proses pengadilan di Pulau Buru 
dan tempat lain di Indonesia.

Contoh dari hate crime adalah kasus pelarangan lagu Genjergenjer, yang 
merupakan lagu rakyat Jawa Timur yang dipopulerkan seniman Lekra. Dituduh bahwa 
pembunuhan terhadap para jenderal di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965 diiringi 
dengan lagu tersebut. Baris syair yang berbunyi “esuk-esuk pating keleler” 
(pagi-pagi pada berhamparan), ulangan pada baris yang sama “neng kedhokan 
pating keleler” (di dahan pada berhamparan) dianggap sebagai indikasi bahwa 
pembunuhan terhadap para Jenderal telah direncanakan sebelumnya. Padahal lagu 
rakyat itu hanya ajakan kepada petani untuk memotong tanaman parasit yang ada 
di lahan pertanian mereka.

Bukan hanya lagu, tapi puisi juga diindikasikan bisa meramalkan Tragedi 1965, 
seperti terlihat dalam uraian Taufiq Ismail (Prahara Budaya, halaman 220). 
“Enam bulan menjelang Gestapu, Mawie sudah berkata `kunanti bumi memerah 
darah’. Tepat, karena rupanya dia sudah tahu sebelumnya.” Sajak Mawie berjudul 
Kunanti Bumi Memerah Darah dimuat pada Bintang Timur, 21 Maret 1965. Sajak ini 
tentang penderitaan perempuan miskin di pinggir Ciliwung. “Diciumnya si kecil 
dalam badungan, dinantinya si mungil dalam kandungan”. Masih punya anak kecil, 
sudah hamil lagi. “Bumi memerah darah” bisa ditafsirkan sebagai saat kelahiran 
bayi berikut dari sang perempuan malang itu di pinggir sungai tanpa bantuan 
bidan.

Mawie (Ananta Joni), yang kini menjadi eksil di negeri Belanda, mengatakan 
bahwa ia pada 1964 sudah berangkat studi ke Beijing dan, setelah itu, tidak 
bisa pulang ke Indonesia. Mungkin sajak itu dia kirimkan sebelum berangkat dan 
baru dimuat pada Maret 1965. Ia tidak pernah membayangkan peristiwa G-30S 1965 
dalam puisinya seperti halnya ia tidak pernah membayangkan akan menjadi pencari 
suaka di negeri orang.

Selama 33 tahun Orde Baru, seniman Lekra ini mengalami hate crime dari negara 
(dan sebagian masyarakat) secara berkesinambungan. Namun perlu diakui bahwa 
sebetulnya, sebelumnya (terutama tahun 19631965), mereka juga telah bertindak 
berlebihan juga. Pada 1963 dicetuskan Manifes Kebudayaan oleh seniman yang 
berseberangan dengan Lekra. Maret 1964, mereka menyelenggarakan Konferensi 
Karyawan Pengarang SeIndonesia (KKPI).

Penggunaan istilah karyawan ini disengaja untuk membedakan dengan buruh yang 
sudah dipopulerkan PKI. KKPI didukung oleh Angkatan Darat, terutama Jenderal 
Nasution. Pada 11 Mei 1964, Manikebu dilarang oleh Presiden Soekarno. Penanda 
tangannya disingkirkan. H.B. Jassin dan Boen S. Oemarjati dicopot sebagai 
pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Apakah ini termasuk hate 
crime juga (walau dalam tempo relatif singkat)?

Tesis “Penyebaran Hate Crime oleh Negara terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat” 
mengungkapkan hal yang baru dari perspektif sejarah Indonesia, yakni kejadian 
masa lampau suatu organisasi ditinjau secara ilmiah dari ilmu kriminologi. 
Hanya, ketika Kejaksaan Agung melarang buku Rhoma dan Muhidin, Lekra Tak 
Membakar Buku, beberapa waktu lalu, bolehkah saya menyimpulkan bahwa hate crime 
(kejahatan berbasis kebencian) itu masih disebarkan oleh negara sampai hari ini?

*) Dikronik dari Koran Tempo, 4 Januari 2010


Sumber: http://indonesiabuku.com/?p=3489


 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke