http://www.surya.co.id/2010/02/22/mui-samarinda-islam-tak-kenal-nikah-siri.html

MUI Samarinda: Islam Tak Kenal Nikah Siri

Senin, 22 Februari 2010 | 21:18 WIB | Posts by: Sugeng Wibowo | 
SAMARINDA | SURYA Online - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, 
Kalimantan Timur (Kaltim), KH Zaini Naim mengatakan, dalam ajaran Islam tidak 
dikenal istilah Nikah Siri.

Hal tersebut diungkapkannya terkait rencana pemerintah memberlakukan UU Nikah 
Siri. "Mestinya, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama terlebih dahulu 
mengundang para tokoh dan alim ulama membahas tentang draft Nikah Siri itu. 
Bukan dengan melemparkan wacana itu ke masyarakat sehingga menjadi polemik," 
kata Kiai Zaini di Samarinda, Senin (22/2/2010).

"Nikah sesuai Syariat Islam dan sesuai hadist Nabi Muhammad SAW, yakni, adanya 
satu wali dan dua saksi. Jadi, nikah siri atau dalam ungkapan di Indonesia 
biasa disebut sebagai nikah sembunyi-sembunyi tidak dikenal dalam Islam sebab 
hanya ada satu nikah yakni sesuai yang disyaratkan agama," paparnya.

Namun, walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi sepanjang nikah yang 
dilakukan itu sesuai syarat agama kata Ketua MUI Samarinda itu hukumnya sah. 
"Mau dilakukan secara sembunyi-sembuyi atau terang-terangan sepanjang ada wali 
dan dua saksi, nikah itu sudah sah menurut pandangan agama. Pada perspektif 
agama Islam, nikah merupakan ikrar dengan kata-kata dan bukan surat," ujar Kiai 
Zaini.

Pemerintah dianggap terlalu mengintervensi nilai-nilai agama jika memaksakan 
pemberlakukan UU Nikah Siri tersebut, tegasnya.

"Kami (MUI Samarinda) menolak draft Nikah Siri itu karena kami menilai 
pemerintah sudah terlalu jauh mencampuri nilai agama," kata Ketua MUI Samarinda 
itu.

Masalah nikah siri, lanjut Kiai Zaini, menjadi salah satu keputusan ulama pada 
pertemuan MUI se-Indonesia di Gontor, Jawa Timur, pada 2006 silam.

"Ada dua keputusan pada pertemuan ulama terkait nikah di bawah tangan yakni, 
nikah di bawah tangan sah jika hukumnya terpenuhi yaitu seorang wali dan dua 
saksi serta pelaku nikah d bawah tangan itu diharuskan mendaftarkan diri ke 
intansi berwenang. Jadi, terkait hukum negara yakni surat nikah, orang yang 
melakukan nikah dibawah tangan itu juga harus mendaftarkan ke instansi 
terkait," ungkapnya.

Kasus penelantaran saat terjadi perceraian, lanjut Kiai Zaini, tidak hanya 
terjadi pada pelaku nikah siri tetapi juga banyak terjadi pada pernikahan resmi.

"Masalah penelantaran bukan disebabkan proses nikah itu, sebab banyak juga 
pelaku nikah resmi menelantarkan anak setelah bercerai. Jadi, saya sepakat jika 
pelaku yang menelantarkan itu dihukum, tetapi bukan prosesnya yang 
dipermasalahkan," katanya.

"Jika terkait status anak setelah bercerai, keputusan pelaku nikah siri itu 
harus mendaftarkan diri ke instansi terkait menjadi jawabannya," tandas Kiai 
Zaini.

++++

http://www.surya.co.id/2010/02/19/mui-jatim-atur-juga-pelacuran.html

MUI Jatim: Atur Juga Pelacuran
Jumat, 19 Februari 2010 | 18:46 WIB | Posts by: Sugeng Wibowo | 

SURABAYA | SURYA Online - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim), 
meminta pelacuran atau lokalisasi pelacuran juga diatur dengan UU, bila 
pernikahan "siri" (tersembunyi atau secara diam-diam) akan diatur UU.

"Prinsipnya, MUI setuju bila pernikahan siri diatur UU, tapi UU jangan hanya 
mengatur siri, poligami, atau kawin kontrak, tapi atur juga pelacuran," kata 
Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori di Surabaya, Jumat (19/2/2010).

Menurutnya, MUI sebenarnya sudah pernah membahas hukum untuk pernikahan siri 
yakni sah dan haram. "Artinya, pernikahan siri itu sah, karena syariat (hukum 
agama) Islam memang memperbolehkan, tapi pernikahan siri bisa menjadi haram 
bila 'mudharat' (berdampak negatif)," kata Kiai Shomad menegaskan.

Ia juga menegaskan, Islam memperbolehkan pernikahan siri dengan tujuan untuk 
mengurangi perzinahan atau pelacuran, tapi pernikahan siri yang berdampak pada 
terlantarnya istri dan anak dari pernikahan "siri" itu, justru dilarang Islam.

"Jadi, pernikahan siri itu boleh karena bermanfaat untuk menangkal perzinahan 
atau pelacuran, tapi pernikahan siri itu haram bila membuat anak dan istri dari 
pernikahan diam-diam itu menjadi terlantar," papar Kiai Shomad.

Tentang pernikahan kontrak, ia mengatakan istilah kawin kontrak atau "mut'ah" 
itu hanya dikenal dalam mazhab (paham) Syiah, sedangkan di kalangan Islam 
non-Syiah justru dilarang.

"Kawin kontrak itu biasanya dilakukan pria asing yang datang ke suatu negara, 
lalu setelah urusan di negara orang selesai maka pria asing itu pun pergi dan 
akhirnya anak dari kawin kontrak pun terlantar," tutur Kiai Shomad.

Mengenai "judicial review" UU Penodaan Agama, MUI dan anggota FUI (Forum 
Ukhuwah Islamiah) Jatim dari NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Masjid, dan 
sebagainya menolak rencana itu.

"Itu justru akan menimbulkan kericuhan dan NKRI akan terancam dengan adanya 
konflik SARA. Menurut kami, apa yang sudah baik melalui penghormatan kepada 
kemajemukan agama hendaknya tetap dikuatkan dan bukan justru dicabut," tegasnya 
lagi.ant








[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke