Mahalnya Biaya Pendidikan
Keluhan
tingginya biaya pendidikan tinggi bukan hal baru. Yang baru adalah
pengakuan publiknya, sementara selama ini dianggap taken for granted. 
Terasa
mencekik ketika lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi negeri
(PTN), didorong jadi komersial. Ketika Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan
(UU BHP) dibatalkan, napas komersialisasi mulai
hinggap di beberapa PTN. Ada kepanikan karena harus
mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan.
Kalau sarjana
yang dihasilkan harus bermutu, butuh biaya besar. Untuk fakultas
eksakta, satuan biayanya lebih besar daripada noneksakta. Ada masa di
mana kita kebanjiran lulusan jurusan ilmu sosial politik dan hukum.
Mengapa? Sebab, biaya untuk menyelenggarakan pendidikan ilmu sosial
lebih murah daripada ilmu eksakta.
Jumlah sarjana jadi salah satu
kriteria kemajuan. Ada periode keharusan setiap provinsi setidaknya
punya satu PTN. Karena potensi dan kesiapan daerah berbeda-beda, mutu
sarjana yang dihasilkan pun berbeda-beda. Banyak PTN lebih jelek mutu
lulusannya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta di wilayah yang
sama.
Napas komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan digenjot
antara lain di bidang otonomi pembiayaan. Mereka dipaksa bisa
menghidupi diri. Tridarma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian,
pengabdian kepada masyarakat—dititikberatkan untuk menghasilkan uang.
Penelitian
pesanan diburu, tidak untuk pengembangan ilmu, tetapi demi uang yang
dibungkus sebagai tanggung jawab sosial akademik. Pragmatisme Anglo
Saxon yang menjadi napas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
berbeda dengan mazhab kontinental.
Tampaknya Indonesia cenderung
ke mazhab pragmatisme AS. Lembaga pendidikan analog sebagai kegiatan
komersial. Mutu dinomorduakan demi mengejar pemasukan lewat penelitian
pesanan dan pencarian dana dengan nama pengabdian kepada masyarakat.
Batalnya
UU BHP jadi kesempatan memurnikan kembali konsep pendidikan dari yang
komersial ke yang pemanusiaan. Tuntutan anggaran 20 persen perlu
dibarengi pembenahan birokrasi departemen pendidikan nasional agar dana
bisa diserap dan digunakan sebaik-baiknya.
Kegiatan pendidikan
adalah investasi manusia. Karena itu, perlu biaya dan jadi hak semua
warga negara. Yang kaya lewat pemajakan dibebani tanggung jawab dana
lebih besar daripada yang miskin. Pemerintah pun wajib memenuhi hak
asasi warga negaranya. Dengan tidak direcoki pragmatisme, yang ingin
dihasilkan masa depan penerus yang pintar, terampil, dan berkarakter.
Keluhan publik beberapa PTN perlu ditanggapi serius dalam hal
menyelenggarakan pendidikan sebagai hak asasi sekaligus menempatkannya
sebagai proses humanisasi dan bukan komersialisasi.
Titik krusial
perubahan paradigma adalah mendidik itu berinvestasi. Artinya,
membangun infrastruktur. Wajar perlu dana besar. Sekali kita pelit,
apalagi dibungkus akal berkelit, artinya kita menggali kubur generasi
penerus.


http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/05/04123846/tajuk.rencana

http://finance.groups.yahoo.com/group/media-soloku/
http://groups.google.com/group/suara-indonesia/
http://media-klaten.blogspot.com/
http://businessandfinance-bikini.blogspot.com/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke