MANUSIA: TO BE AND TO BECOMING
OLEH: AUDIFAX e-mail: <[EMAIL PROTECTED]> It is our choices, that show what we truly are, far more than our abilities (Albus Dumbledore) Kutipan yang saya ambil dari Harry Potter and the Chamber of Secrets itu adalah salah satu kutipan favorit saya. Manusia memang memiliki kebebasan memilih, dan justru pada pilihannyalah kualitas seorang manusia ditentukan. Pada kualitasnya itulah keber-Ada-an manusia. Ada dua pilihan untuk meng-Ada bagi manusia, yaitu To Be (menjadi) atau To Becoming (menjadi seperti, menjadi dalam suatu keselarasan dengan). To be adalah gambaran bagi mereka yang menemukan otentisitas dalam pilihan-pilihan hidupnya. Sebaliknya, to becoming adalah pilihan bagi mereka yang memilih mengikuti arus kepantasan, apa yang menjadi trend, tanpa memiliki pemaknaan atas apa yang dilakukannya. Keduanya adalah pilihan yang sah-sah saja. Seperti memilih untuk menjadi Soeharto atau Habibie atau Gus Dur atau Megawati atau SBY, bebas saja. Bebas juga mau menjadi Socrates, Tuhan, ataupun Bapak Tua Pengangkut Sampah yang tak pernah mengeluh dalam menjalankan rutinitasnya itu. Itulah pilihan hidup manusia yang bebas-bebas saja dilakukan, justru dalam pilihan itulah tergambar kualitas manusia seperti apa dia. what we truly are seperti kata Dumbledore. Kualitas itu dengan demikian tak lepas dari konteks bagaimana manusia menghadapi pilihan-pilihan hidupnya, tak lepas pula dari bagaimana memahami secara mendalam hal-hal dalam hidupnya, bahkan hal yang sepintas tampak remeh sekalipun. Saya jadi teringat pada pemikiran James Redfield yang dituangkan dalam novel Celestine Prophecy. Wawasan pertama dalam Celestine Prophecy menjelaskan bahwa manusia hendaknya menyadari bahwa kehidupan merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh kebetulan-kebetulan misterius. Bahwa ada sesuatu yang mesti disadari dan dimaknakan di balik kejadian-kejadian kebetulan dalam hidup manusia. Suatu ketika, kita mungkin punya firasat atau intuisi mengenai sesuatu yang ingin kita lakukan, arah yang ingin kita tempuh, dan meragukan bahwa hal itu mungkin terjadi. Namun ketika kita telah agak lupa tentang hal itu, kita tiba-tiba bertemu seseorang atau membaca sesuatu atau pergi ke suatu tempat yang ternyata menuntun kita ke arah kesempatan yang kita impikan[1]. Wawasan pertama mengajarkan kepada kita bahwa ketika peristiwa-peristiwa dalam hidup dapat kita maknakan maka peristiwa-peristiwa itu akan menyemangati kita, sebaliknya bila peristiwa-peristiwa itu kita anggap sebagai sesuatu kebetulan belaka, maka peristiwa-peristiwa itu tidak dapat menyemangati hidup kita. Wawasan pertama merupakan kesadaran tentang peristiwa-peristiwa kebetulan yang misterius yang mengubah hidup seseorang, perasaan bahwa suatu proses yang lain tengah berlangsung[2]. Wawasan pertama mengajak manusia untuk tak melenyap dalam arus, dalam banalitas, namun lebih merenungkan hidupnya. Membuat pemaknaan-pemaknaan yang tak sekedar pra-reflektif melainkan masuk dalam tataran pemaknaan reflektif. Pemaknaan reflektif ini bisa dimulai dari peristiwa-peristiwa keseharian. Bahkan hal-hal yang sepertinya cuma kebetulan, maka tak salah jika kedalaman justru dapat ditemukan dari kedangkalan. Pada titik ini, manusia diajak untuk menyadari bahwa tak ada hal yang kebetulan. Hal-hal remeh, pertemuan-pertemuan, peristiwa keseharian, adalah hal-hal yang sebenarnya membawa pesan bagi pertumbuhan masing-masing manusia. Konsekuensinya, apapun yang berada di hadapan manusia, terutama apa yang tengah menjadi minatnya, akan coba dipahami dalam kedalamannya. Orang tak sekedar bergenit-genit dengan suatu hal, tapi memang menekuni, mempelajari dan berusaha memahami hingga akarnya. Martin Heidegger, mengungkapkan pemikiran bahwa barangsiapa mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat kedangkalan dengan tatapan yang cermat dan dalam, maka kedalaman itu akan muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan itu. Heidegger melihat bahwa manusia adalah entitas yang bergerak dalam pemahaman tentang Ada. Maka dalam keseharianpun, manusia dapat memetik pemahaman tentang Ada. Heidegger mengatakan ini dalam Sein an Zeit sebagai mistik keseharian, yaitu bersikap mistis dalam keseharian; yang berarti menghayati keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri, dengan cara menanyakan Ada[3]. Apa yang dimaksud dengan menanyakan Ada? Maksudnya tak lain adalah tidak sekedar menjalani hidup, melainkan bergumul dengan diri sendiri dan bertanya mengapa dia ada[4]. Di sinilah proses meng-Ada (Being) berlangsung, dalam suatu tataran yang reflektif terhadap apa saja yang ditemui di dunia ini. Manusia, memang akan larut dalam keseharian, mengambil identitas demi identitas, bergerak dalam jaman; tapi bukan itu yang penting, di atas itu semua, manusia tak boleh melenyap dalam pergerakan itu. Dalam keterseretan arus itu, manusia tak boleh tenggelam, apalagi mati; Manusia diajak untuk menyembul ke permukaan melalui perenungan-perenungan. Ini karena manusia seringkali larut dalam keseharian, larut dalam kegenitan tawaran-tawaran hal baru. Bergenit-genit dalam hal baru itu sembari bersembunyi pada premis mayor bahwa itu adalah sesuatu yang sah-sah saja. Heidegger menyebut manusia yang larut dalam keseharian sebagai dasman, yang berarti orang. Dalam bahasa Indonesia, kata orang bersifat impersonal dan tidak menunjuk pada hidup pribadi seseorang. Kata orang begini, orang bilang begitu, tak jelas siapa yang berkata dan bilang. Manusia keseharian tidak mengenal dirinya[5]. Pada titik ini, manusia mengenal Ada hanya karena emblem sosialnya. Emblem sosial macam ini dangkal dan tak mencerminkan diri sejati penyandangnya. Celakanya, manusia sendiri kerap terhanyut dalam identitas keseharian ini dan lupa akan Ada-nya[6]. Makna hidup memang tak selalu ditemui pada para pemikir atau orang-orang perlente. Tak pula selalu ditemui pada ilmuwan-ilmuwan psikologi yang bergenit-genit dengan berbagai emblem psikologi. Orang-orang seperti Bapak Tua pengangkut sampah yang melaksanakan tugas kesehariannya tanpa mengeluh, mungkin lebih menawarkan suatu pesan mengenai makna hidup. Saya jadi teringat pada salah satu percakapan di milis alumni dari salah satu Fapsi di Surabaya beberapa bulan lalu. Ketika itu kebetulan ada seorang alumni yang curhat di milis itu: dear : mba' nina ass.wr.wb Mba' nin, saya lagi sedih nih! tahu ngga' mba', saya tidak diterima masuk S2 ubaya! Rasanya benar2 nggak percaya, saya seperti orang yang paling bodoh di dunia. Saya benar2 bingung dan saya benar2 nggak bisa menginformasikan tragedi ini kepada orang2, termasuk ke-2 orangtua saya. Kenapa semua ini terjadi sama saya, mba'?! Tahun ini saya merasa Allah sedang mencoba saya. Padahal sholat saya tidak pernah putus, saya juga selalu mengaji. Tetapi kenapa?! Dari 43 orang calon mahasiswa yang mendaftar, hanya 33 orang yang diterima, dan 2 diantaranya adalah mahasiswa Untag...(dibusek)[7] Lebih menarik lagi jawaban dari rekan milis itu yang kebetulan saya tahu saat ini tengah menempuh studi S-2 di Fakultas yang sama: aku bukan nina, tapi tergoda juga sih baca surat cinta kamu buat nina.btw, karena itu dikirim via milis yang bisa dibaca oleh semua anggotamilis, aku pikir ga dosa deh kalo aku memuaskan ketergodaanku. hihi..hihi.. (dibusek) . kalo aku sih... jalanin idup ini dengan satu prinsip aja.yaitu: kunfayakun. karena kamu muslim (aku simpulin gitu dari tulisanmu), aku pikir kamu tau apa maksud dari kunfayakun walo aku ga jelas juga tulisannya bener gitu apa ga. so... kalo kamu mempertanyakan apa yang terjadi atas dirimu kepada tuhanmu, mm.. aku tanya deh: seberapa kenal sih kamu dengan tuhanmu? (dibusek) ..[8] Mungkin untuk memberi jawaban Kun Fayakun itu tak perlu harus kuliah S-2 Psikologi. Mungkin bapak tua pengangkut sampah yang tiap hari melakukan pekerjaannya tanpa mengeluh itu akan terasa lebih kompeten untuk mengatakan Kun Fayakun ketimbang seorang mahasiswa Magister Psikologi yang belum tentu tahu menjalani hidup yang Kun Fayakun. Lalu untuk apa bergenit-genit dengan menjadi magister psikologi? Sekali lagi saya tekankan, di sini bukan masalah pilihan menjadi apa. Atau boleh tidak boleh, atau salah tidak salah. Atau Perlu disembuhkan atau tak perlu disembuhkan. Atau Positif atau negatif. Apalagi mengangkat ke dalam peran menjadi Tuhan. Sunguh naif ketika mengangkat fenomena seperti ini ke arah hal-hal itu, karena mengaburkan dari pesan sebenarnya. Kasus di ataspun jika diangkat dalam oposisi-oposisi biner seperti yang saya sebutkan di atas, juga akan membuat pemaknaan sebenarnya menjadi lenyap. Orang akan sampai pada jawaban ya terserah mau jadi apa. Tapi mau ditutupi dengan premis apapun, dalam kasus itu, pertanyaan atas pilihan menyandang magister di atas jawaban Kun Fayakun itu sendiri bukannya tak layak dikemukakan dan jawaban atas pertanyaan itupun bukan sesuatu yang layak dinafikkan. Inilah fenomena menarik yang selalu saya temui. Celakanyanya cermatan saya kebetulan justru bermula dari psikologi karena kedekatan saya dengan ranah ini. Bagi saya, fenomena jawaban curhat itu adalah bagian dari kegenitan-kegenitan dengan gelar tanpa pemahaman mendalam akan apa yang disandangnya. Sama dengan kegenitan-kegenitan dengan berbagai hal seperti NLP, OCB, EQ, dsb. Ini, seperti saya contohkan dalam tulisan saya berjudul Psikologi Positif: Sebuah Kegenitan Baru?[9]. Sebuah pertanyaan yang saya kira wajar setelah melihat sederetan kegenitan. Sebuah pertanyaan yang mestinya bisa menjadi refleksi bagi peminat psikologi positif atau hal-hal baru lainnya. Refleksi memang bisa muncul dari banalitas, saya setuju itu. Tapi itu dengan catatan refleksi itu memang dicari dalam banalitas itu, jika tidak manusia akan tetap terseret dalam arus banalitas. Mirip dengan upaya mencari dan terus mencari sesuatu yang berbeda, layaknya ABG-ABG yang suka mengucapkan kalimat-kalimat seperti Kasihan dech loe, So What Gitu Loh?, atau yang sekarang meniru Tora Sudiro: orang yang aneh untuk kemudian diderivasi menjadi berbagai yang aneh lain (bisa Psikolog yang aneh, mahasiswa yang aneh. Soeharto yang aneh, dosen yang aneh, guru besar yang aneh dsb). Kalimat-kalimat semacam itu dijadikan identitas, meski sebenarnya tak ada maknanya. Hal yang penting adalah bisa membedakan diri dari yang lain. Kecenderungan untuk terus mengarah pada pencarian perbedaan murni (pure difference) sehingga sampai pada sebuah pengertian, bahwa perbedaan itu dibangun bukan untuk menunjukkan penguasaan kualifikasi, melainkan sebagai perbedaan untuk perbedaan itu sendiri. Gilles Deleuze & Felix Guattari melukiskan hal seperti ini sebagai prinsip spesies-identitas yang melepaskan diri dari fondasi-fondasi pembentuknya (genus), dalam rangka membangun ruang bagi pengembangan perbedaan murni identitas, yang disebut ruang nomadisme (nomadism). Nomadisme identitas adalah kebalikan dari identitas dalam pengertiannya yang konvensional, yaitu kecenderungan yang merayakan perpindahan, ketakberakaran (rootlessness) dan diskontinuitas murni. Tidak diperlukan lagi keterikatan pada sebuah genus-identitas, dalam rangka merayakan proses perpindahan tanpa henti dari satu posisi (tanda, citra, gaya hidup) ke posisi (tanda, citra dan gaya hidup) lainnya, tanpa perlu menetap (sedentarity) dan mempunyai ketetapan (foundation). Di dalam ketiadaan fondasi, nomad identitas selalu berpindah: berpindah identitas, berganti penampakan, bertukar citra, berpindah konsep diri (self) secara tanpa henti[10]. Yang ada adalah proses deteritorialisasi ilmu pengetahuan dalam pengertian tidak ada teritorial ilmu pengetahuan yang didalami, tetapi lebih pada penyediaan berbagai kemungkinan dunia ilmu pengetahuan untuk menghasilkan emblem sosial serta lebih terbukanya ranah eksplorasi berbagai hal untuk kegenitan tanpa batas. Di sini tidak diperlukan sistem, konsistensi, pendalaman, penguasaan hingga ke akarnya dan kontinuitas pembelajaran, sebab yang dirayakan adalah perpindahan, permainan, serta produktivitas tanda, emblem, citra dan obyek-obyekdeterritorialisation of knowledge . Diri kita adalah sesuatu yang tak terjelaskan. Ia bak bulan sabit yang tak pernah purnama. Selalu berkekurangan. Citraan imajiner dan simbolik menutup secara semu kekurangan itu. Pemicunya adalah hasrat atas identitas[11]. Kesejatian manusia memang dalam kesementaraan dan pencariannya itu. Manusia adalah entitas yang terlempar (faktizitat) dalam suatu ranah. Begitu ia lahir, saat itu pula ia berada pada perjalanan menuju kematiannya. Dalam perjalanan ini, mansuai berusaha mencari kepenuhan diri yang tak pernah bisa dicapainya itu. Heidegger menyebut manusia yang bergumul dengan diri dan mencari pemenuhan diri sebagai Dasein. Dasein menyadari dirinya sebagai entitas yang terlempar dan berupaya memahami keterlemparannya. Dasein mempertanyakan Ada-nya karena memiliki keterhubungan dengan Adanya. Dasein adalah suatu mengada yang harus memikul nasib tertentu. Nasibnya inilah keberhargaannya, seperti keberhargaan seorang Bapak Tua yang mengangkut sampah setiap harinya tanpa mengeluh; yang mungkin tak pernah didengarnya secara langsung bahwa ada orang di milis yang mengaku bahwa bapak itu berjasa baginya. Bapak itu lebih mengerti filosofi hidup ketimbang dosen-dosen filsafat yang hanya mengajar berdasarkan text book. Fenomena bapak tua itu, mengingatkan saya akan penjelasan Albert Camus dalam Mite Sisifus. Manusia berada dalam absurditas. Manusia layaknya Sisifus yang dihukum oleh dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri, lalu Sisifus akan mengangkatnya lagi ke puncak gunung, begitu seterusnya[12]. Seluruh kegembiraan bisu Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya. Batunya adalah bendanya. Begitu pula manusia absurd, ketika ia merenungi kepedihannya, membuat semua patung berhala membisu. Dalam dunia yang tiba-tiba dikembalikan pada kebisuannya, bermunculanlah suara-suara kecil dari bumi yang terkagum-kagum. Panggilan-panggilan tak sadar dan rahasia, undangan dari semua wajah, semua itu adalah suatu pembalikan dan ganjaran kemenangan[13]. Esensi Dasein terletak dalam eksistensinya. Mengacu pada karakteristik ini, maka bisa terlihat bahwa sebagai entitas, Dasein bukan properti yang bisa terpegang; karena entitas ini lebih merupakan kemungkinan dalam setiap kasusnya. Maka ketika kita meletakkan entitas dalam kerangka Dasein maka kita bukan tengah mengekspresikan apa (yang bisa dijawab dengan meja, rumah, atau pohon) tetapi lebih pada menunjukkan Being[14]. Inilah titik krusialnya. Bukan masalah merasa menjadi Soeharto, merasa menjadi Tuhan, merasa menjadi dosen, merasa menjadi Bapak Tukang Sampah atau merasa menjadi apapun; tapi bagaimana dalam kemenjadian itu sendiri manusia menemukan otentisitasnya. Inilah sebuah eksistensi di mana dalam kekosongannya manusia menemukan kepenuhannya. Dalam kenegativannya manusia menemukan kepositivan. Hal-hal seperti inilah yang kerap terlupakan ketika manusia terlarut dalam utopia mengenai hal-hal baik dan positif. Dalam segala hal Dasein juga tak memiliki apa-apa (in each case mineness). Pada titik inilah mode atau arah kemenjadian, baik otentisitas maupun inotentisitas harus diletakkan pada fakta bahwa Dasein tak memiliki apapun (mineness). Tetapi inotentisitas Dasein tidak ditandai dengan kerendahan derajat being atau kekurangbernilaian Being. Ini lebih pada pemahaman bahwa dalam kepenuhan konkretnya Dasein bisa pula dikarakterisasi dengan inotentisitasnyaketika sibuk, ketika gembira, ketika mengalami ketertarikan, ketika menikmati[15]. Kembali pada pilihan bebas untuk menjadi Dasein atau dasman. Maka di situlah yang menentukan kualitas dan keberhargaan kita. Memang bebas-bebas saja mau menjadi berharga atau tidak. Dan memang masalahnya bukan pada bebas atau dilarang. Bukan pula harus mengacu pada tokoh filsafat tertentu atau mempunyai orang yang bersedia menjadi tutor privat. Masalahnya lebih pada bagaimana manusia mempunyai refleksi terhadap apa yang dijalaninya dan apa yang ditemui dalam perjalanannya itu. Setiap manusia, pada dasarnya memiliki tutor privat yang berada dalam dirinya, hanya manusia kerap tak menyadari dan larut dalam banalitas. Bagaimana cermatan anda? CATATAN-CATATAN: [1] James Redfield; (1998); The Celestine Prophecy Manuskrip Celestine; saduran Alfons Taryadi, Jakarta:Penerbit Gramedia; hal.20-21. [2] Ibid; hal. 42 [3] F. Budi Hardiman; (2003); Heidegger dan Mistik Keseharian Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit; Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia; hal. 43 [4] Ibid ; hal. 46-47 [5] Ibid; hal 62 [6] Ibid [7] Posting pada tanggal 28 Jun 2005 pukul 19:19:59; online documents: http://groups.yahoo.com/group/alumni_psiubaya/message/612 [8] Posting pada tanggal 29 Juni 2005 pukul 5:25 pm; online documents: http://groups.yahoo.com/group/alumni_psiubaya/message/613 [9] Audifax; (2005); Psikologi Positif: Sebuah kegenitan baru?; Online documents: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/1909 [10] Lihat Gilles Deleuze & Felix Guattari, Nomadology: The War Machine, Semiotext(e), New York, 1986. [11] Donny Gahral Adian; (2005); Hiperfilsafat [12] Albert Camus; (1999); Mite Sisifus-Pergulatan dengan Absurditas; saduran Apsanti D.; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; hal. 154 [13] Ibid; hal. 158 [14] Martin Heidegger; (1962); Being and Time; saduran John Macquarrie & Edward Robinson; New York: Harper & Row; hal. 67 [15] Ibid; hal. 68 Email ini disebarluaskan oleh jaringan Vincent Liong. Isi adalah tanggung jawab penulis di luar tanggung jawab forwarder. Pembahasan/ tanya-jawab lebih lanjut harap dilakukan di maillist: * JOIN Psikologi Transformatif : http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/join http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/1993 Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe: [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe: [EMAIL PROTECTED] List owner: [EMAIL PROTECTED] * JOIN Vincent Liong : http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/join http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/11662 Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe: [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe: [EMAIL PROTECTED] List owner: [EMAIL PROTECTED] Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery. http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/