http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010022201161046

      Senin, 22 Februari 2010 
     
      OPINI 
     
     
     
Menekan Laju Penghancuran di Area Tambang 

      Ansel Alaman

      Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM



      Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur adalah tiga 
dari 20 kabupaten di NTT, terletak di Flores Barat, dengan wilayah yang luas. 
Ketiga kabupaten yang luas seluruhnya satu setengah kali Pulau Bali itu, 
memiliki potensi andalan di bidang pertanian antara 55%--70%. Struktur 
pertanian memang masih timpang karena didominasi pangan khususnya beras, selain 
jagung dan ubi-ubian. Komoditas perdagangan yang menonjol ialah kopi, kakao, 
cengkeh, kemiri dan lain.

      Komoditas-komuditas ini belum cukup dikembangkan secara diversifikasi 
atau pola intensifikasi lain. Pemda malah membidik sumber ekonomi baru yang 
eksklusif, yakni pertambangan. Sejak tahun 2005 Pemkab Manggarai, misalnya, 
telah mengeluarkan izin usaha pertambangan kepada 11 dari 17 perusahaan yang 
melamar, dengan dasar legal pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan 
Mineral dan Batubara (Minerba). Pasal 37 UU itu mengatur kewenangan bupati/wali 
kota untuk memberi izin usaha, apabila WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) 
berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota.

      Sejak 2005, dua dari 11 perusahaan yang mengantongi izin Pemkab Manggarai 
ialah PT Sumber Jaya Asia, bekerja sama dengan PT Istindo Mitra Perdana, 
mengeksploitasi pertambangan di kawasan hutan lindung Kecamatan Reok 
(Manggarai), dan PT Arumbai Mangabekti telah mengeksplotasi pertambangan biji 
besi di Kecamatan Lambaleda, sekarang Kabupaten Manggarai Timur. Sedang 
perusahaan lain lagi mengeksploitasi tambang di Manggarai Barat, yang semua 
mendapat tentangan masyarakat setempat.

      Penghancuran

      Persoalan pokok yang membuat banyak pihak menolak eksploitasi tambang di 
daerah tandus seperti NTT adalah penghancuran lingkungan dan matra sosial. 
Tambang besar di Manggarai ada dalam wilayah hutan lindung, dengan reklamasi 
yang amburadul memaksa Menhut saat itu, M.S. Kaban gerah dan kemudian 
memerintahkan untuk membekukan usaha di wilayah tambang Reo. Warga mengakui 
mata air tercemar, limbahnya dibuang begitu saja merusak tanaman dan ekosistem 
sekitar hutan. Rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaan khususnya menyangkut 
hak, nilai-nilai dan lingkungan mereka, tetapi malah "dipaksa" menerima, jika 
tidak mau dipukul polisi.

      Perusahaan memperlakukan warga sekitar sebagai kuli di tanah mereka 
sendiri sebagai pekerja kasar, sementara tenaga skill adalah orang-orang luar 
(Jawa) atau asing yang didatangkan langsung dari China atau Korea. Upah sangat 
rendah, kesehatan dan keselamatan kerja tidak diperhatikan. Penataan hubungan 
industrial sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian 
Perselisihan Hubungan Industrial, tidak mendapat perhatian. Perusahaan tidak 
peduli hak buruh membentuk serikat pekerja yang dilindungi UU No. 13 Tahun 2003 
tentang Ketenagakerjaan. Anak-anak sekolah sekitar wilayah pertembangan sering 
mengeluh sesak napas akibat debu-debu, dan penyakit kulit.

      Selain itu, interaksi kosmologik penduduk dengan tanah semakin pupus. 
Tanah bagi masyarakat agraris tidak lagi dipandang secara co-existen dengan 
manusia karena berubah menjadi lembaran rupiah. Transaksi moral sosial berubah 
menjadi capital transaction yang tidak mengubah posisi tawar petani. Celakanya, 
dana untuk reklamasi seharusnya bernilai ratusan juta malah miliaran per tahun, 
hanya diberikan Rp25 juta kepada Pemkab. Lebih buruk lagi, sumbangan untuk PAD 
dari sektor ini (perlu dikonfirmasi) hanya Rp83 juta per tahun, bentuk 
penghambaan ekonomi dan penggadaian nasionalisme kita.

      Perubahan Paradigma

      Mineral dalam perut bumi adalah aset negara untuk kesejahteraan rakyat, 
tidak terbantahkan. Persoalannya, apa itu skala prioritas dan sesuai dengan 
perinsip daerah otonom sesuai Pasal 1 angka 5, UU No. 32/2004, yang 
pengelolaannya berdasarkan aspirasi rakyat? Haruskah pertambangan di daerah 
pertanian, dieksploitasi sekarang?

      Alat bantu selisik kita ialah pendekatan fungsional berciri Parsonian 
(dipelopori Talcot Parson) yang membenarkan adanya stratifikasi sosial dalam 
masyarakat, tidak terkecuali dalam konteks pertanian. Menurut dia, kita perlu 
memberi posisi tepat untuk penguatan fungsi-fungsi. Orang/kelompok yang 
menempati posisi itu harus memiliki kompetensi. Sementara pendekatan struktural 
menempatkan individu/komunitas sebagai aktor perubahan sosial. Antropolog 
Claude Levi-Strauss memelopori relasi sosial individu dengan kekuasaan (bdk 
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Sociological Theory, 2004).

      Artinya, jika secara kualitatif rakyat belum disiapkan, mereka akan 
menjadi "alat produksi" yang pada akhirnya menyebabkan--meminjam analisis Marx, 
terjadi "alienasi diri dari produksi" yang dipaksakan. Kalau secara teknis 
industrial mereka belum siap bahkan cendrung menjadi "korban/victim", haruskah 
kita memaksakan tambang itu, atas dalih menerapkan Pasal 33 UUD 1945 tentang 
bumi, air, dan kekayaam alam yang terkandung di bumi Indonesia dipergunakan 
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

      Eko-politik

      Jika tidak, mengapa tidak sebaiknya kita melakukan terobosan teknologi 
pertanian, yang memungkinkan demokrasi lokal dan kualitas partisipasi rakyat, 
karena sesuai dengan potensi dan nilai berbasis lingkungan (ekologi). Inilah 
langkah eko-politik lokal yang serius diperhatikan: Pertama, agregasi 
kepentingan politik. Sebagai "wakil rakyat" hasil pilihan langsung, kebijakan 
harus mendapatkan kesepakatan daerah. DPRD dan bupati/wabup harus menghadirkan 
wakil lembaga agama, lembaga pendidikan, LSM, pers, suku/ adat, dalam sebuah 
rembug daerah merencanakan makro pembangunan kabupaten/kota. Kedua, bentuk tim 
kajian untuk memastikan bidang dan langkah operasional, apakah pertanian atau 
pertambangan dengan segala keuntungan dan kerugiannya dan diprediksi keuntungan 
maksimal dengan menekan kerugian seminimal mungkin.

      Ketiga, memastikan bentuk partisipasi masyarakat secara konkret. 
Misalnya, jika fokus pada pertanian, disepakti sektor riil berdasarkan potensi 
sebagian besar warga. Tetapi jika tambang yang menjadi prioritas, antisipasi 
apa saja yang dibuat agar hak-hak warga, nilai budaya dan ekologik, biaya-biaya 
dan satuan harga serta upah kerja untuk rakyat dengan standardisasi yang tepat 
sesuai jenis pekerjaan. Keempat, sumber dana dianggarkan/ dialokasikan dalam 
APBD, melalui dana perimbangan, pinjaman, BPHATB/bagi hasil dan lainnya. 
Demikian pun penentuan pelaksana/perusahaan disepakati dengan memperhatikan 
rekam jejaknya selama ini.

      Semua kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk Perda jenis galian A atau 
B, serta keputusan bupati sebagai instrumen operasionalnya. Semua langkah ini 
disampaikan dan dikontrol oleh publik: pers, audit oleh akuntan independen.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke