Mengapresiasi Pidato Megawati: Kembali Ke Jalan Ideologis Kita

Oleh: Rudi Hartono**)

Pidato Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saat
membuka kongres partainya di Denpasar, Bali (6/4), memang pantas untuk
mendapat apresiasi dan pujian. Sejumlah tokoh politik dan akademisi
telah memberikan apresiasi, namun sebagian besar memandang sangat
positif. Di harian Media Indonesia, edisi hari ini, Rabu, 7 April 2010,
transkrip pidato Megawati menempati dua halaman penuh. Saya sendiri
menganggap, pidato Megawati ini sangat bermakna di tengah kekosongan
pidato berisi muatan ideologis dalam demokrasi liberal saat ini.

Bagi mereka yang menganggap bahwa Mega hanya "jual kecap",
pidato tersebut hanya pemanis yang dibuat-buat untuk memulihkan citra
politik PDIP. Sebagian lagi menganggap, Pidato putri Bung Karno ini tak
lebih dari sebuah melodrama politik. Namun apapun tudingan itu, bagi
saya, segala sesuatu itu harus diletakkan pada konteksnya dan ditimbang
sesuai ukurannya.
Megawati sendiri, sepanjang pengetahuan saya, bukan seorang tipe orator
yang baik seperti ayahnya, Bung Karno. Nada dan tempo suaranya pun
seringkali terlontar apa adanya, tidak dibuat-buat seperti kebanyakan
tokoh politik berkaliber professor. Pilihan kata-katanya juga kadang
kurang bagus.

Akan tetapi, pidato ini menjadi bermakna karena beberapa hal. Pertama,
dari segi isi, pidato ini menyiratkan banyak sekali
argumentasi- argumentasi ideologis, seperti kritikan pedas terhadap model
demokrasi liberal dan kritikan terhadap sistim kapitalisme itu sendiri.

Dalam pidato Mega dikatakan, jalan kapitalisme dari Negara-negara
adidaya akan membawa pada krisis yang mendalam. "Kapitalisme
mengandung kontradiksi- kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti
akan memakan anaknya sendiri," kata Megawati mengutip Bung Karno.
Kedua, dari segi momentum, pidato yang sangat menyengat di telinga
penguasa ini disampaikan bersamaan dengan munculnya "pinangan"
partai berkuasa untuk bergabung dan keinginan sejumlah kadernya untuk
masuk dalam bagian kekuasaan. Megawati telah menegaskan, bahwa cita-cita partai 
ini, yakni tetap konsisten sebagai partai ideologi yang mengabdi
kepada kepentingan rakyat, jauh lebih besar dari urusan kursi di
Parlemen atau sejumlah menteri atau sampai jauh melangkah ke Istana
Merdeka.
Ketiga, karena ini disampaikan dihadapan ribuan kadernya sendiri, di
tengah pembukaan kongres partai, maka pidato ini harus dianggap pertama
sekali sebagai self-kritik. Ini harus diposisikan sebagai bentuk
evaluasi internal, karena PDIP sendiri bukan partai yang bersih dari
korupsi dan berbagai kejahatan politik lainnya.

Dalam demokrasi liberal, Politik yang ditampilkan adalah politik yang
terlepas dari perdebatan-perdebat an soal konsep dan gagasan ideal
masyarakat, kemudian digantikan dengan transaksi-transaksi politik ala
pasar. Sudah menjadi lazim dalam situasi sekarang, kompetisi pemilu
hanya mempersaingkan figur personal kandidatnya, sementara pertarungan
gagasan telah dikesampingkan. Dalam pidatonya, Megawati telah
mempersalahkan demokrasi liberal sebagai biang kerok dari hancurnya
sistim politik dan fondasi demokrasi kita. Ini semua terjadi, menurut
penjelasan dia, karena demokrasi liberal telah menyuburkan karakter
berpolitik yang buruk seperti kemerosotan militansi, munculnya
pertimbangan untung rugi, dan menguatnya spirit pragmatisme,
transaksional untuk kepentingan individual berjangka pendek.

Ada banyak yang menyatakan, perdebatan soal ideologi telah berakhir dan
tema-tema mengenai nasionalisme sudah usang. Ini seringkali ditiupkan
oleh tekhnokrat dan pemikir-pemikir liberal, kendati jarang sekali
berkesesuaian dengan fakta. Meski dianggap sumbang, namun nyanyian
Megawati soal pentingnya ideologi bagi sebuah partai dan menegaskan
Pancasila 1 Juni 1945 sebagai rumusan ideologi partai, menegaskan bahwa
ideologi dan gagasan masyarakat masa depan masih merupakan obat sehat
bagi rakyat kita.

Soal kritiknya terhadap kapitalisme, meskipun ini masih dikesankan
sangat verbal dan dangkal, tetapi ini "menggetarkan" bangunan
politik Indonesia yang dikenal sangat tabu dengan kritik terhadap sistim
kapitalisme, apalagi ini disampaikan di kongres partai terbesar ketiga
di Indonesia, PDI-Perjuangan.
Namun, ada pihak yang langsung menimpali, "itukan disampaikan oleh
Mega setelah lengser dari kekuasaan. Saat menjabat sebagai presiden, dia
juga menjadi pengikut sistim neoliberalisme, " begitu katanya. Iya,
saya tidak menyangkal fakta itu dan tak bermaksud mengaburkannya, namun
sekali lagi harus dilihat secara objektif, harus dilihat korelasi
kekuatannya. Megawati naik kekuasaan dengan memamfaatkan sebuah aliansi
luas dengan berbagai kekuatan politik tradisional dan sisa-sisa orde
baru di parlemen, sehingga berpengaruh dalam imbangan kekuatan saat
mengambil kebijakan.

Tambah lagi, pidato yang disampaikan saat ini, adalah pidato yang
disampaikan di saat PDIP sudah dua periode berada di luar kekuasaan.
Meskipun kita perlu mengeritik bentuk oposisi PDIP yang kurang
konsisten, namun keputusan untuk memilih di luar rumah kekuasaan adalah
pilihan sulit dalam tradisi umum partai-partai di Indonesia yang identik
dengan pencari atau pengejar kekuasaan. Terhadap kekalahan PDIP dalam
pertarungan pemilu, Mega telah berusaha membesarkan hati kader partainya
dengan kata yang tepat; "Menang secara terhormat, kalah secara
bermartabat. "

Ada banyak pengamat politik yang terkesan sangat hebat, memberikan
penilaian bahwa kebutuhan partai ini adalah regenerasi. Pengamat itu
seperti komentator bola, seolah-olah lebih hebat dari pemain dan
kesebelasan itu sendiri, namun belum tentu si komentator bisa bermain
bola dengan baik. Kritik-kritik terhadap partai ini, bahwa ini didirikan
seolah-olah berdasarkan trah Bung Karno, lebih mirip dengan sebuah
partai keluarga.

Secara pribadi, saya tidak sependapat sepenuhnya dengan kritik para
pengamat politik itu, karena mereka telah melepaskan objek kritik dari
factor histories partai ini. Pertama, Harus diingat dan diakui bahwa
partai ini merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh Orba---PNI, IPKI,
Murba, Parkindo, dan Partai Katholik, bukan fusi atau merger karena
kesamaan ideologi atau kepentingan. Karena factor itu, proses awal
partai ini adalah perjuangan menciptakan keseimbangan. Kedua, partai ini
didirikan dalam proses de-soekarnoisasi yang sangat massif dilakukan
orde baru, sedangkan kekuatan inti dari partai ini berasal dari PNI yang
mengagumkan pesona politik Bung Karno. Ketiga, karena kedua hal itu,
maka partai seperti ini membutuhkan tokoh sentral atau tokoh pemersatu,
dalam hal ini Megawati dianggap mewakili peran itu karena berasal dari
keluarga Bung Karno. Sedangkan Soekarnoisme telah menjadi konsepsi
psikologis untuk mengikat massa dan keseimbangan di dalam partai.
Kalau mengabaikan hal-hal tersebut, kita akan sulit membayangkan PDIP
seperti sekarang ini. Ini juga menjelaskan kenapa partai-partai sempalan
PDIP, seperti PNBK dan PDP, tidak bisa berkembang pesat dan gagal
merebut massa tradisional PDIP.

Lagipula, demokrasi tidak selalu identik dengan periodeisasi jabatan,
sedangkan regenerasi tidak selalu bermakna penggantian ketua umum. Apa
pula gunanya sebuah partai yang begitu sering berganti-ganti ketua umum,
namun keputusan dewan Pembina seperti keputusan absolut para dewa yang
tak bisa ditantang.

Tipikal partai semacam ini bukan hanya di Indonesia, tetapi menjadi hal
umum di negeri-negeri dunia ketiga yang tradisi berpolitiknya sangat
dipengaruhi oleh nilai kharismatik dan ikatan-ikatan
tradisional- komunalistik. Kita bisa melihat keberadaan partai perionis
dalam bingkai politik Argentina, dan pengaruh peronisme terhadap rakyat
Argentina. Terlepas dari berbagai kekurangan dan retorikanya, tetapi
kenyatannya bahwa pemerintahan Peronis telah menjadi sekutu penting
pemerintahan kiri di Amerika Latin.
Terkait peranan figur kharismatik, Marta Harnecker mengatakan,
kemenangan politik pemerintahan progressif akhir-akhir ini bukan karena
partai politik, tetapi karena, salah satunya, faktor tokoh-tokoh
kharismatik yang mencerminkan sentimen popular yang mulai menolak
sistim, selain faktor dukungan gerakan sosial. Di Indonesi sendiri,
faktor kefiguran SBY juga berkontribusi sangat besar untuk kemenangan
dan pembesaran partainya, Demokrat.

Akan tetapi, bagaimanapun, faktor kharismatik hanya berguna di proses
awal, tetapi proses lebih lanjut harus menempatkan rakyat sebagai
protagonis dari proses emansipasi dan perubahan sosial. Tanpa demokrasi
dan partisipasi rakyat, semua itu akan menjadi gelembung gas yang
menguap. Untuk itu, sebagai catatan kritis kita, bahwa pidato Megawati
ini akan kehilangan makna dan arti ideologisnya ketika dia berakhir
menjadi naskah atau transkrip belaka, tidak menjadi "pijakan" yang hidup
bagi gerak dan aktivitas PDIP ke depan.

Kita sangat berharap, sebagai konsekuensi dari pidato Megawati tersebut,
bahwa PDIP di masa depan akan menjadi sekutu penting gerakan
anti-neoliberalisme , baik di medan parlemen maupun gerakan
ekstra-parlemen. Dalam memberantas korupsi, misalnya, PDIP di masa depan tidak 
lagi menyediakan ruang bernaung bagi koruptor di dalam partai.

Kita akan menunggu PDIP di medan perjuangan anti-neoliberalisme dan
anti-neokolonialism e!

*) Artikel ini mewakili pendapat pribadi penulisnya.




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke