Yang paling penting adalah bagaimana Indonesia bisa Mandiri mengelola kekayaan 
alamnya sendiri seperti Saudi Arabia, Venezuela, Qatar, dsb sehingga ribuan 
trilyun rupiah uang dari kekayaan alam Indonesia bisa masuk ke kantong bangsa 
sendiri. Qatar yang kecil, bahkan mengelola sendiri kekayaan alamnya. Untuk 
tenaga ahli, mereka impor dari berbagai negara seperti Indonesia. Cukup mereka 
gaji saja tanpa perlu menggadaikan kekayaan alam mereka.

Selama itu tidak bisa, Indonesia tidak punya cukup uang untuk mensejahterakan 
rakyatnya. Segala janji rakyat akan makmur cuma bohong belaka kalau kekayaan 
alam negara kita masuk kantong asing.

Lihat bagaimana MNC yang mengelola kekayaan alam Indonesia mendapat ribuan 
trilyun/tahun (contoh Exxon dapat Rp 4.900 trilyun/tahun):
http://infoindonesia.wordpress.com/2009/05/28/kritik-untuk-chatib-basri-neoliberalisme-memang-ada/

===

Ayo Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits

http://media-islam.or.id

--- Pada Kam, 4/6/09, kad...@gmail.com <kad...@gmail.com> menulis:

Dari: kad...@gmail.com <kad...@gmail.com>
Topik: Re: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata Neoliberalisme .
Kepada: ekonomi-nasio...@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 4 Juni, 2009, 8:53 PM











    
            
            


      
      Sebagai masukan informasi penyeimbang, semalam saya sempat nonton 
metronews kampanye perdana sby, dikatakan oleh beliau, ekonomi yang akan 
diterapkan sby adalah ekonomi jalur tengah yg pro rakyat yaitu tidak sepenuhnya 
kapitalistik (full pasar bebas) dan juga tidak sepenuhnya diatur negara 
(sebagaimana di negara komunisme).





Perlu diingat Rusia itu telah gagal dalam menerapkan komunisme, dan China 
sebagai dedengkot komunisme sudah mulai meninggalkan komunisme. Dan juga AS pun 
mengakui telah gagal menjalankan full kapitalisme. 





Jadi saat ini ekonomi yg paling cocok adalah ekonomi jalan tengah yg pro rakyat.





Dari presentasi semalam, saya lebih condong pilih SBY. Karena gagasan beliau 
lebih realistik. Dan yang tidak kalah penting dari issue2 neolib yg terlalu 
banyak dipost di millis ini, ada issue lain yg (sengaja) dibenamkan bahwa SBY 
telah terbukti cukup banyak mengadili kasus2 KKN. Issue KKN sangat penting 
dibuka disamping issue neolib yg msh banyak didebatkan mengenai definisi dan 
batasannya.





Jikalau JK-WIn tidak bersama Golkar, saya akan condong ke JK, namun sbgmana 
sama2 diketahui citra Golkar tidak bisa dihapus dari 'citra Orde Baru' yg telah 
terbukti KKN dan membuat negara terpuruk. Hingga kini masih tersisa mental KKN 
warisan orde baru di instansi2 pemerintah.





Karena sy muslim, sy tidak akan memilih  pemimpin seorang wanita.





Golput, no way.. Mana bisa negara tanpa ada pimpinan toh? Nanti yg akan muncul 
preman2 liar sok jagoan yg lebih parah.





Wassalam,








Sent from my BlackBerry®


powered by Sinyal Kuat INDOSAT





-----Original Message-----


From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo. com>





Date: Thu, 4 Jun 2009 04:53:05 


To: <ekonomi-nasional@ yahoogroups. com>; <eramus...@yahoogrou ps.com>; 
<syiar-islam@ yahoogroups. com>; <sab...@yahoogroups. com>


Subject: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata Neoliberalisme ..








Kasus Prita Mulyasari versus kasus Manohara


Pinot secara gamblang dan kasat mata memperlihatkan kepada kita semua


bahwa disadari ataupun tidak disadari pada hakikatnya neoliberalisme telah


meyusup ke seluruh sendi kehidupan bangsa kita, tak hanya di sektor ekonomi


saja.


 


Salah satu hakikat Neoliberalisme adalah tidak ada


satupun di ranah kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijadikan komoditas 
ekonomi belaka. Bahkan fungsi


relasi sosial kemasyarakatan yang sejatinya merupakan nilai dasar manusia bisa


direduksi sedemikian rupa. Sehingga tidak lebih dari urusan demand and


supply belaka dan diperlakukan seperti komoditas biasa yang bisa


diperjualbelikan.


 


Salah seorang timses pak EsBeYe, secara spontan dan


sangat jujur mengungkapnya sebagai ‘Jelita dan Jelata’. Ungkapan sederhana ini


mengandung subtansi yang begitu mendalam. Seharusnya kita berterimakasih,


bahwasanya melalui ungkapan itu secara tersirat telah mengingatkan kita tentang 
Bahaya Laten Neoliberalisme yang


telah menggurita di kehidupan bangsa kita.


 


Dunia jurnalistik media massa salah satu contohnya,


lebih menyukai menyorot kasus Manohara dan mengupasnya sampai ke hal detailnya.


Ini bisa bisa difahami, karena pemirsa itu adalah pasar, sedangkan berita itu


adalah komoditas. Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi komoditas


ekonomi belaka maka jelas konsekuensinya adalah alat ukur paling sahih dalam


hal ini hanyalah soal rating saja.


 


Tak dapat dipungkiri oleh hati sanubari kita


sesungguhnya secara inherent dalam


diri kita masing-masing tak dapat melepaskan diri dari sebuah istilah yang


banyak orang menyebutnya sebagai politik


simbol. Walau saya pribadi menganggap istilah politik simbol itu


berlebih-lebihan, karena hakikatnya itu hanyalah bahasa simbol untuk 
mengungkapkan perihal adanya unsur pembeda diantara keduanya


saja.


 


Harus diakui, Mahonara Pinot adalah seorang dara yang


sungguh cantik jelita, penampilan busananya pun trendy dan good looking, dengan 
tingkat status


sosialnya pun mendukung untuk itu. Alur ceritanya pun relatif sederhana, namun


banyak ditaburi pernak-pernik yang menghanyutkan.


 


Sedangkan disisi yang satunya, Prita Mulyasari


–bukan bermaksud merendahkan ciptaan Allah SWT, mohon maaf hanya sekedar


mencoba untuk jujur saja- tidaklah sejelita Manohara. Dandanan busananya pun


tidaklah setrendi Manohara. Kita bisa memakluminya, tingkat status sosialnya


Prita memang lebih jelata dibandingkan Manohara. Sehingga amat pantaslah jika


Prita Mulyasari tidaklah se-good


looking Manohara.


 


Kasus yang membelit Prita juga reltif lebih njlimet,


hubungan sebab akibatnya relatif abstrak sehingga


lebih susah difahami oleh publik. Dalam arti kata bagi media massa lebih mudah


menjelaskan kait mengkaitnya kasus yang menimpa Manohara daripada kasus yang


menimpa Prita. Bahasa lebih mudahnya, kasus Manohara lebih bisa dihidangkan


secara instan di


hadapan pemirsanya.


 


Saya sungguh tidak mempunyai keberanian sedikitpun


untuk mengira-ngira, apakah diskriminasi perhatian media massa ini juga


dikarenakan ada hubungannya Prita Mulyasari yang secara kebetulan juga


berbusana Jilbab. Oleh sebab itu, walaupun ini adalah salah satu unsur


pembedanya, lebih baik kita lewatkan dalam pembahasannya.


 


Namun, secara sederhana dan selintas saja, itulah


memang contasting atau


pembeda diantara Prita Mulyasari dengan Manohara Pinot. Artifisial


memang, tapi disisi itulah realitas yang akan dilihat oleh publik sebagai


pemirsa tayangan media massa.


 


Karena pemirsa ditempatkan hanya sebagai pasar, sedangkan ‘Prita si Jelata’


serta ‘manohara si Jelita’ hanya ditempatkan sebagai komoditas saja. Sehingga 
–sesuai


dengan logika tatanan Neoliberalisme- menjadi sangatlah wajar jika media massa


lebih cenderung untuk memilih mengupas tuntas soal kasus Manohara Pinot...


 


Belum lagi jika kita perdalam lagi bahwa Prita


Mulyasari ini sedang berhadapan dengan sebuah korporasi yang tentunya


mempunyai kekuatan kapital yang lebih kuat dibandingkan Prita. Ini ada juga


kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan kepastian hukum untuk


melindungi iklim investasi dan kepastian usaha.


 


Kita seharusnya tak perlu kaget soal itu. Di beberapa


waktu yang telah silam, juga pernah ada seorang ‘Petani Gurem’ yang juga harus 
meringkuk


di sel pengap sebuah penjara karena soal pembibitan tanaman palawija. Ini juga


ada kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan kepastian hukum


untuk melindungi iklim investasi dan kepastian usaha.


 


Hubungan negara dengan warganegaranya, hari ini hanya


berupa hubungan produsen dan konsumen saja.. Negara telah melepaskan


tanggungjawabnya, cukup hanya memfasilitasi korporasi (terutama juga korporasi


yang multi nasional) untuk menghasilkan produk-produk komoditas bagi rakyatnya


sebagai pasar produk itu.


Selanjutnya hubungan jual-beli inilah yang dijadikan


pola dasar dalam mengelola negara. Dengan sendiri uang adalah yang menentukan


segala-galanya. Negara pada akhirnya hanyalah sebagai pelindung korporasi saja.


 


Mengapa Prita Mulyasari juga petani gurem itu harus


dipenjara ?. Inilah ironi dan kontradiksi dari tatanan religi Neoliberalisme, 
disatu sisi negara melepaskan campur


tangan kewenangannya, namun disisi lainnya negara malahan harus menggunakan 
tangan besinya.


 


Jadi ?. Terimakasih seharusnya kita haturkan kepada Manohara


Pinot dan Prita Mulyasari. Dengan mencuatnya dua kasus yang bersamaan ini


kita menjadi lebih dewasa dalam mensikapi ‘politik simbol’. Itu tidaklah


berarti selalu berkonotasi negatif. Hakikatnya itu hanyalah  bahasa simbol


yang merupakan cerminan atas realitas yang telah ada didalam benak kita


masing-masing.


 


Selanjutnya, semoga kita menjadi terfahamkan dan


tersadarkan bahwa realitas tatanan religi baru


yang bernama Neoliberalisme itu tak hanya ada didepan pintu rumah kita, namun


dia telah menelusup masuk ke dalam ruang duduk keluarga kita, telah menjerat


kita di lingkungan luar pekarangan kita -bidang pelayanan kesehatan salah


satunya- dan hampir ke semua sendi kehidupan masyarakat kita.


 


Selamat menikmati lanjutan babak baru di era religi


baru Neoliberalisme !.


 


Artikel dapat dibaca


di :


Prita Manohara dalam Bahasa


Simbol Neoliberalisme.


http://public. kompasiana. com/2009/ 06/04/prita- manohara- dalam-bahasa- 
simbol-neolibera lisme/


 


***


 


Belakangan ini media massa


dipenuhi berita tentang kasus Prita Mulyasari, seorang pasien RS Omni


Internasional yang diduga melakukan pencemaran nama baik RS itu dengan


mengirimkan milis ke sebuah surat kabar dan juga sharing melalui email dan face


book. 


 


Bahkan di Kompasiana pun tak mau


ketinggalan dengan kasus ini yang ditandai banyaknya artikel yang membahas


tentang kasus Prita. Dukungan dan kecaman datang begitu derasnya yang ditujukan


kepada pihak RS karena telah memenjarakan Prita akibat diduga melakukan


pencemaran nama baik dan tuduhan maal praktek.


 


( lihat isi surat pembaca yang


menjadi mala petaka itu  disini dan


surat Prita melalui Email disini :  http://www.kompas. com/read/ xml/2009/ 
06/03/1112056 ). 


 


Dalam suratnya itu Prita


mengeluhkan akan ketidaknyamanan yang diterima saat berkunjung dan berobat ke


RS Omni Internasional. Karena surat itu, RS mengklaim bahwa prita telah


mencemarkan nama baik RS itu hingga ia dipenjarakan walaupun akhirnya tuntutan 
itu


ditangguhkan.


 


Hal yang menarik yaitu ketika


Megawati yang saat ini menjadi Capres dari PDIP yang didampingi oleh Prabowo


(Cawapres) dari gerindra angkat bicara. Mega menyesalkan akan kejadian ini, ia


pun mengatakan bahwa kasus yang menimpa Prita ini merupakan akibat dari


penerapan sistem neoliberalisme.  ”Kejadian yang dialami Prita merupakan


bukti kasat mata, dampak dari neoliberalisasi di mana kekuatan pasar bebas


dengan lembaga-lembaga multinasionalnya,” demikian Mega. 


 


Lembaga-lembaga multinasional itu,


lanjutnya, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang, menurut


Mega, dibuat untuk memuluskan kepentingan neolib dengan mengalahkan kepentingan


asasi masyarakat. ”Nampaknya, di era pasar bebas ini, sulit menjadi tuan


rumah di negeri sendiri,” ujarnya. (sumber  http://www.kompas. com/read/ 
xml/2009/ 06/03/18042517)


 


Sekali lagi isu neoliberal


diterbitkan kembali, kali ini bukan ekonomi yang menjadi objek tetapi pelayanan


kesehatan. seperti perdebatan yang lalu-lalu bahwa neoliberalisme merupakan


sebuah sistem ekonomi yang saat ini masih belum terdefinisi dengan “legal”,


kalaupun ada yang mendefinisikan itu hanyalah argumen pribadi dan bukan


kesepakatan bersama. 


 


Namun pada intinya neolib itu


merupakan sistem yang memberikan keleluasaan bagi pasar untuk mengontrol


dirinya sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah, bisa dibilang Neolib ini


adalah Liberalisme ekstrem. Apapun bisa dijadikan barang dagangan dan dapat


diperjual belikan termasuk kesehatan.


 


Isu kesehatan yang


disangkut-pautkan dengan neoliberalisme ini diduga merujuk kepada privatisasi


instansi kesehatan atau banyaknya RS yang dimiliki oleh swasta. Sehingga


pemerintah dalam hal ini hanya menikmati dari pajak-pajak swasta bukannya


memprioritaskan dan memikirkan masyarakatnya atas hak akan kesehatan yang


dijamin oleh negara, hal ini mirip dengan privatisasi perusahaan air minum yang


justru seharusnya dimiliki oleh negara karena air adalah sumber kehidupan bagi


makhluk hidup, seperti halnya kesehatan.


 


Yang menjadi pertanyaan, mengapa


baru saat ini isu kesehatan diperhatikan oleh pemerintah maupun elit politik


lainnya sampai dikaitkan dengan neoliberal yang mungkin terlalu berlebihan.


Bahkan isu kesehatan pun luput dari tema kampanye para pasangan Capres dan


Cawapres.


 


Kasus Prita ini hanya segentir


kasus yang telah dialami banyak masyarakat Indonesia terkait masalah kesehatan


terutama dalam hal pelayanan. Belum lagi bagi masyarakat miskin dinegeri ini


yang seakan tidak ada hak untuk sakit dan mendapatkan jaminan kesehatan oleh


negara.


 


Semoga saja dengan adanya kasus


Prita ini, pemerintah saat ini maupun yang akan datang  bisa lebih


memerhatikan isu kesehatan ini yang merupakan hak tiap warga negara untuk


mendapatkan jaminan kesehatan dan kehidupan yang layak, dan masalah kesehatan


ini bukan hanya sebagai alat berkampanye bagi Calon pemimpin negeri ini.


 


Artikel dapat dibaca


di :


Kasus Prita dan Neoliberalisme.


http://nurulloh. kompasiana. com/2009/ 06/04/kasus- prita-dan- neolib/


 


***


 


Pria kelahiran Blitar, Jawa


Timur, Boediono belakangan ini namanya menjadi sorotan publik, ini dikarenakan


SBY (Demokrat) dipastikan memilih Boediono untuk mendampinginya sebagai


Cawapres dari kalangan profesional. 


 


Keputusan ini diambil SBY karena


apabila Budiona menjadi Cawapresnya kemungkinan adanya resistensi sangat kecil


dan dengan memilih Boediono,  SBY ingin lebih menguatkan ekonomi


Indonesia, jika ia terpilih lagi.


 


Banyak partai-partai dan


masyarakat yang setuju dan pro Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY,


tetapi banyak pula yang kontra dengannya. 


 


Tak masalah bagi mereka yang pro,


tapi bagi mereka yang kontra terhadap Boediono, pasti banyak alasan mengapa


mereka kontra terhadapnya.


 


Salah satunya yaitu karena


Boediono seorang yang berasal dari non-partai (profesional) , tidak terlalu


islami, dan yang paling kritis yaitu ia seorang neoliberal (antek IMF),


kebanyakan yang kontra dengan Boediono kerena ia seorang neoliberal adalah para


aktivis dan dari kalangan LSM. 


 


Alasan kenapa Boediono dikatakan sebagai


neoliberal karena ia lulusan Business Economics, Wharton School, University of


Pennsylvania, AS dengan gelar Doctor of Philosophy. 


 


Apakah karena ia lulusan AS yang


notabene negara liberal ?. Tak sampai disitu Track Record  di bidang ekonomi 
yang juga membawanya


menjadi Internal Auditor Bank Of Amerika cabang Jakarta tahun 1969-1970, itu


yang membuat masyarakat yang menolak Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY,


mereka menilai karena ia pernah bekerja d Bank asing, langsung mencapnya


sebagai antek asing yang pahamnya (pasti) neoliberal.


 


Ada pula yang mengatakan karena


Boediono seorang neoliberal maka ia tidak islami, bukannya agama itu urusan


makhluk dengan tuhannya. Padahal dulu Boediono pernah menjadi Gubernur


pengganti Bank Pembangunan Islam untuk Indonesia sekitar tahun 1993-1998..


 


Lucunya lagi, kenapa bagi yang


menolak Boediono (mungkin bisa saya), tidak mempermasalahkan ketika ia naik


sebagai Gubernur BI, padahal BI merupakan regulator bagi perekonomian kita.


 


Neoliberal merupakan paham


pembaharuan dari liberalisme dan teman-temannya (kapitalisme dan globalisme)


semuanya ini menganut sistem ekonomi yang kekuatannya ada pada modal individu


(swasta). 


 


Mungkin karena masyarakat


Indonesia yang masih berkutat pada kemiskinan itulah yang menyebabkan paham ini


sulit diterapkan di Indonesia. Mereka takut dengan Naiknya Boediono sebagai


Cawapres nantinya bukan memajukan ekonomi kerakyatan tetapi hanya akan


memperkuat daya cengkram kaum-kaum liberal.


 


Ekonomi pasar bebas memang belum


cocok diterapkan di Indonesia, masih perlu campur tangan pemerintah untuk


mengontrol jalannya perekonomian yang berusaha agar tetap berpihak pada kaum


proletar.


 


Sebenarnya paham neoliberal masih


banyak cabang dan rantingnya, dan untuk Indonesia mungkin ada cabang atau


ranting dari liberalisme yang cocok diterapkan apabila kita ini pintar


memadukan antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi “ala” barat itu.


 


Balik lagi, apakah salah Boediono


seorang Neoliberal ???.  Jawabannya


tidak, karena itu sebuah pilihan dan merupakan hak.


 


Tetapi sekali lagi masyarakat


punya penilaian dan bukti sendiri-sendiri untuk memberikan suatu citra dan


nilai terhadap itu semua.


 


Kalau saya dan anda tidak setuju


dengan pasangan SBY-Boediono karena suatu paham ekonomi, kita masih punya


kandidat Capres dan Cawapres lain yang mungkin mempunyai pemikiran baru untuk


memajukan perekonomian bangsa ini. 


 


Yang terpenting siapapun yang


akan menjadi RI 1 dan RI 2, kita harus terima dengan legowo karena


itu pilihan rakyat dan jangan sampai hanya dengan berbeda pandangan atau paham,


kita terpecah belah, bukankah kita punya wakil rakyat yang akan mengontrol


semua kebijakan dan langkah yang akan diambil pemerintah nantinya. Jangan


saling menyalahkan dan menyudutkan siapapun, mari kita bangun sama-sama negeri


ini untuk kebaikan kita semua.


 


Artikel dapat dibaca


di :


Apa Salahnya Jika Boediono


Seorang Neoliberal ???.


http://nurulloh. kompasiana. com/2009/ 05/15/apa- salahnya- jika-budiono- 
seorang-neoliber al/#more- 131


 


***








      





[Non-text portions of this message have been removed]










[Non-text portions of this message have been removed]




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      Apakah wajar artis ikut Pemilu? Temukan jawabannya di Yahoo! Answers. 
http://id.answers.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke