http://www.gatra.com/artikel.php?id=135245



Investasi
Menjaring Devisa Orang Sakit


Gita Wirjawan punya kegiatan baru tiap akhir pekan. Didampingi stafnya, dia 
selalu menyempatkan diri ke luar kota. Wilayah yang dikunjungi Kepala Badan 
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu pun berganti-ganti, dari satu kota ke 
kota lain di seantero Indonesia.

Kesibukan ini dijalani pria kelahiran Jakarta 1965 itu setelah dia resmi 
dilantik menjadi Kepala BKPM dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, pertengahan 
November lalu. "Dari kunjungan itu, kami punya gambaran bagaimana mendatangkan 
investasi ke daerah maupun pusat," kata mantan Senior Vice President JP Morgan 
Indonesia itu.

Gambaran tersebut setidaknya dituangkan dalam revisi daftar negatif investasi 
(DNI). Program revisi ini merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 
Tahun 2007, yakni perubahan atas Perpres Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bidang 
Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 
Gita menjelaskan, DNI sudah lama terkatung-katung. Karena itu, perlu direvisi. 
Revisi DNI ini merupakan tindak lanjut revisi-revisi yang sempat direalisasikan 
pada kepemimpinan sebelum dia.

Namun kali ini, Gita melanjutkan, lebih intensif dan fokus. Meskipun draf 
revisi DNI itu baru diterbitkan Maret nanti, substansi isinya telah 
dipublikasikan jauh-jauh hari. Sebab, kata Gita, instansi terkait sudah 
menyatakan oke. Bahkan menteri koordinator dan wakil presiden telah 
membicarakannya. Setelah itu, barulah draf diajukan kepada presiden untuk 
disahkan.

Dalam revisi itu, yang berubah mencakup lima sektor, yakni kesehatan, 
pendidikan, logistik (jasa kurir), industri kreatif (terutama film), dan 
telekomunikasi. "Untuk mengeliminasi ketidakpastian dan multitafsir bagi 
investor asing, lima sektor itu sudah cukup," ujar Gita, yang juga seorang 
musikus jazz.

Dari lima sektor itu, tanpa menafikan sektor lainnya, yang menarik dicermati 
adalah sektor kesehatan. Sebab, pada sektor kesehatan ini, investor asing 
dibatasi kepemilikan sahamnya hingga 67%. Ini lebih besar daripada revisi 
sebelumnya yang hanya 49%. Artinya, peluang asing makin terbuka untuk 
berinvestasi di Indonesia.

Selama ini, kata Gita, bisnis kesehatan berupa rumah sakit dan perangkat 
lainnya yang telah lama beroperasi di Indonesia, dengan penanaman modal asing 
(PMA), hanya diperbolehkan di Surabaya dan Medan. Rumah sakit yang sahamnya 
didominasi pihak asing di Medan itu bernama Nusautama Medicalindo. Sedangkan di 
Surabaya, berdiri Rumah Sakit Surabaya Internasional (RSSI) atau akrab disebut 
HCoS (Health Care of Surabaya).

Setelah revisi DNI itu, Gita memastikan, di tiap kota di Indonesia bakal 
bermunculan rumah sakit PMA. Dengan begitu, diharapkan orang Indonesia tak lagi 
berobat ke luar negeri. Sebab kehadiran rumah sakit itu membuka transfer 
teknologi, manajerial, dan mendatangkan dokter dari luar. Kualitasnya pun 
kemungkinan tak diragukan. "Kita sudah kehilangan devisa ratusan juta dolar per 
tahun, karena banyak orang Indonesia mencari rumah sakit ke luar negeri. Ini 
harus segera dibendung," ujarnya.

Bagi Chief Executive Officer RSSI, Sulung Budianto, ada atau tidaknya revisi 
DNI itu belum tentu meningkatkan atau menurunkan minat investor untuk 
berinvestasi di Indonesia. Terlebih para investor asing. Dia tidak yakin, 
revisi DNI yang membuka peluang kepemilikan saham oleh asing di bidang 
kesehatan itu bakal mendorong pembangunan rumah sakit sebanyak mungkin di 
negeri ini.

Sebaliknya, Sulung melanjutkan, belum tentu pula ada investor asing yang tak 
mau berinvestasi di Indonesia setelah revisi aturan itu selesai. Menurut dia, 
"Kalau mereka (para investor) memang ingin menanamkan uangnya di sini 
(Indonesia), pasti akan mereka lakukan."

Agar investor asing tertarik, kata Sulung, selain harus ada kepastian hukum, 
juga harus jitu menghitung untung-rugi. Hitungannya dengan melihat potensi 
pasar yang ada. Yang terpenting bagi investor, bagaimana uang yang ditanamkan 
di Indonesia dapat mendulang keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini berlaku di 
dunia usaha apa pun.

Namun, menurut Sulung, dalam bisnis jasa pelayanan seperti rumah sakit, tak ada 
persaingan kotor dan saling menjatuhkan. Yang dijual oleh rumah sakit berupa 
pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan bahkan nyawa seseorang. Segala 
bentuk persaingan itu bisa diredam lantaran rumah sakit mengacu pada induk 
organisasi (asosiasi) yang menaunginya.

Selama ini, Sulung melanjutkan, antar-rumah sakit saling mengisi kekurangan 
yang ada di rumah sakit masing-masing. Kebiasaan bekerja sama dalam mengobati 
pasien pun masih dipertahankan. Tak jarang, tatkala melakukan operasi, rumah 
sakit satu merujuk pada rumah sakit lainnya yang memiliki fasilitas lebih 
lengkap. Para dokter ahlinya terkadang turut bergabung dalam sebuah tim 
terpadu. "Inilah kerja tim, contoh riil kerja sama antar-rumah sakit. Semua 
bisa saling melengkapi," kata salah satu pendiri rumah sakit yang sebagian 
besar sahamnya dimiliki asing itu.

Menurut Sulung, RSSI berada di bawah kendali manajemen Ramsay Health Care Group 
di Australia. Belakangan, bertambah dua rumah sakit yang beroperasi di Jakarta. 
Yakni Rumah Sakit Mitra Internasional di Jakarta Timur dan Rumah Sakit 
Internasional Bintaro. RSSI banyak diminati pasien dari kalangan menengah ke 
atas.

Rumah sakit yang beralamat di Jalan Nginden Intan Barat Blok B, Surabaya, itu 
dikenal khusus menangani penyakit akut, emergency, bedah jantung, dan liver. 
Tapi pihaknya mengaku tidak dapat berdiri sendiri. Rumah sakit yang berdiri 
sejak 1998 itu tetap butuh bantuan rumah sakit yang ada di Indonesia. 
"Bagaimanapun, sebuah rumah sakit yang lengkap pasti masih punya kekurangan," 
katanya.

Faisal Oloan Nasution tak merasa khawatir atas revisi DNI itu. Pemilik Rumah 
Sakit Supina Aziz, yang banyak dijejali kalangan masyarakat menengah ke bawah 
di Medan, itu menyatakan bahwa bisnis rumah sakit sudah ada pasarnya 
masing-masing. Orang kaya pasti memilih berobat ke rumah sakit mewah. Sedangkan 
kaum miskin atau menengah ke bawah hanya sanggup berobat ke rumah sakit 
sederhana. "Banyaknya orang Indonesia berobat ke luar negeri bisa menggerus 
rumah sakit modern dan mahal. Sedangkan pasien di rumah sakit kami tidak 
terpengaruh," ujarnya kepada Sutan Saleh dari Gatra.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, menilai bahwa 
pemerintah selama ini terkesan setengah-setengah dan sulit menarik investor 
asing. Buktinya, hingga kini masih sedikit investor asing yang berinvestasi di 
sektor rumah sakit.

Akibatnya, banyak warga Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri, seperti 
Singapura dan Malaysia. "Yang penting sekarang, bagaimana devisanya masuk ke 
Indonesia. Tentu mereka (investor asing) masuk dengan membayar pajak, membuka 
lapangan kerja. Termasuk transfer dokter, perawatan, dan peralatan rumah sakit. 
Jadi banyak, manfaatnya," kata Sofyan.

Deni Muliya Barus, Anthony Djafar, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)
[Ekonomi, Gatra Nomor 15 Beredar Kamis, 18 Februari 2010] 

  

KOMENTAR PEMBACA

  
 wong cilik (wongci...@ym..., 28/02/2010 20:32)
silahkan liberalisasi kesehatan biar rakyat kecil/miskin ga ada tempat untuk 
berobat.
selanjutnya akan kita saksikan korban seperti prita prita mulyasari cs ditahun 
tahun mendatang.
  

  
 JanganKalah Sama Negara tetangga ! (mrd...@we..., 28/02/2010 05:02)
Umpanya di Thailand banyak Dr Dr dari German yang membuka Praktek , dari Dr 
Gigi hingga Dr ahli Bedah untuk kecantikan dan sebagainya . dan Pasiennya 
banyak orang German yang berobat sekalian berlibur . juga sekarang Thaliand dan 
Malaysia membuka Rumah Jompo untuk orang orang tua dari Europa . dan banyak 
sekali peminatnya .
  

  
 Kita mesti malu (hansi...@gm..., 28/02/2010 01:57)
Sekarang kita mengharapkan PMA dibidang kesehatan, sedangkan kemampuan diri 
kita sendiri tidak pernah di tingkatkan. Akhirnya toh hanya orang asing yg bisa 
mengambil untung atas keadaan ini. Bangsa kita berobat ke LN karena kualitas dr 
kita merosot. Mayoritas pejabat egois. Banyak WN kita yg mau ambil specialis, 
lulus ujian, tapi gak diluluskan karena gak ada backing dan gak bisa nyogok. 
Pantas saja ahli 2x dari Indo exodus ke LN. Sungguh memalukan.
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke