http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

 Rabu, 24 Maret 2010 ] 

NU dan Gerakan Islam Kontemporer 
Oleh: Laode Ida 


PADA suatu acara diskusi di Taman Ismail Marjuki (TIM) dengan tiga tokoh yang 
berminat menjadi ketua umum Tanfidziah PB NU dalam muktamar ke-32 saat ini, Dr 
H Andi Jamaro mengisahkan seorang temannya yang memperoleh keluhan dari 
beberapa warga NU lantaran suatu masjid milik ahlussunnah waljamaah telah 
diambil oper oleh komunitas lain. Pihak yang mengeluh tersebut mencermati bahwa 
imam masjid itu bukan lagi dari kaum sarungan. 

Reaksi sahabat yang menerima ''pengaduan'' tersebut bukannya merespons dengan 
menyesalkan, melainkan justru menyatakan kesyukuran. Sebab, berdasar 
pengalamannya, jamaah yang belakangan ini mengisi setiap waktu salat di masjid 
itu hanya dia yang warga NU, selebihnya jamaah dari non-nahdlyin. 

Intinya, warga NU tidak boleh hanya mengeluh, tapi juga harus berbuat untuk 
memelihara dan mengembangkan tradisinya dengan, antara lain, secara langsung 
memanfaatkan fasilitas warisan, termasuk masjid-masjid yang kerap hanya diklaim 
sebagai milik kaum nahdlyin. 

Kisah nyata tersebut boleh jadi merupakan kecenderungan yang terjadi dewasa 
ini. Yakni, NU hanyalah ''besar dalam nama'', sedangkan basis kultural berikut 
massanya sudah memudar dan mengempes. Pada tingkat tertentu, NU bahkan boleh 
merupakan organisasi yang jadi milik para elitenya, sedangkan massa arus bawah 
sudah secara perlahan meninggalkan atau mengabaikan wadah tempat bermain para 
elitenya itu. Tepatnya, tidak mustahil kebesaran NU yang secara kuantitas kerap 
disebut sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, 
hanya merupakan klaim politis. 

Kalau fenomena atau kecenderungan seperti itu terjadi, kendati memprihatinkan, 
sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Mengapa? Pertama, konsentrasi para elite 
NU dalam sejarahnya lebih menonjol pada dimensi politiknya daripada orientasi 
kultural. Massa yang organik dengan basis pesantren-pesantren di Pulau Jawa 
memang tetap eksis. Namun, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari upaya 
mempertahankan orientasi kekuasaan para elitenya.

NU memang pernah secara formal mengambil jarak dengan dunia politik praktris 
melalui kesepakatan dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984. Konsepnya, kembali 
ke garis pesan substantif pada awal pendiriannya alias kembali ke Khitah 1926. 
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai ketua umum tanfidziah 
selama tiga periode (1984-1999) awalnya relatif mampu menjalankan amanah itu. 

Yakni, menjaga jarak dengan dunia politik seraya menjadikannya sebagai gerakan 
sosial untuk perubahan. Baik dalam NU maupun di tingkat negara (di mana NU 
selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan yang otoriter). Nama NU pada era itu 
memang sangat menonjol dan disegani. Para elite NU giat melakukan pemberdayaan 
umat, termasuk menggalang kekuatan lintas komunitas dalam semangat kebangsaan.

Namun, posisi seperti itu tidak berlanjut pada era reformasi lantaran NU 
kembali masuk dalam kancah politik yang didahului dengan pendirian PKB dengan 
Gus Dur sebagai tokoh utamanya. Gerbong NU yang sebelumnya berisi para aktivis 
pelaku gerakan sosial mulai berhamburan masuk ke arena politik, baik melalui 
PKB maupun parpol lain, menikmati kekuasaan dan materi yang menyertainya.

Karena itu, sejarah pun kembali mencatat, orientasi dan fokus para elitenya 
adalah perebutan kekuasaan, bukan lagi pada pemberdayaan umat. Parahnya, 
konflik di antara para elite nahdliyin itu menjadi bagian yang lekat dalam 
tubuh NU yang berisi politisi, termasuk hingga wafatnya Gus Dur masih 
menyisakan luka konflik politik keluarga inti NU. Warga arus bawah pun, boleh 
jadi, tidak hanya mulai kehilangan para patron yang bisa menjadi acuan, 
melainkan juga bisa kehilangan simpati terhadap NU.

Kedua, gairah syiar tradisi berislam, kalau mau jujur diakui, jauh lebih gencar 
dilakukan komunitas non-NU daripada para elite ahlussunnah waljamaah. Fenomena 
tersebut bisa dicermati dalam masyarakat, termasuk di kampus-kampus dan bahkan 
sekolah menengah, sehingga gairah berislam para mahasiswa dan siswa pun turut 
meningkat. Bahkan, gerakan syiar berislam itu sekaligus membangun basis politik 
oleh jaringan parpol tertentu.

Para elite NU sebenarnya harus menyadari bahwa masyarakat Islam tidak akan 
merasakan manfaat dari sebuah organisasi Islam yang hanya mengandalkan 
kebanggaan sejarah dan atau nama besar. Nama besar NU, tepatnya, tidak lagi 
menjadi jaminan eksistensi untuk dipihaki dan terus diikuti sebagai tradisi 
yang berkelanjutan. Masyarakat kita sedang dan terus akan berubah, mencari 
model yang tepat untuk menjawab segala persoalan hidup yang dihadapi.

Gambaran tersebut memang merupakan realita objektif berdasar perkembangan 
kontemporer gerakan syiar dan termasuk politik Islam di Indonesia. Sementara 
itu, selain terjebak dalam politik praktis seperti yang sudah dijelaskan, NU 
dan gerakannya lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan pesantren-pesantren. Di 
pulau dengan jumlah penduduk mayoritas itulah para elite NU merasa mapan, 
sehingga tidak lagi bersikap progresif dan proaktif.

Sementara itu, luar Jawa dianggap sebagai kekuatan NU pinggiran yang mungkin 
dianggap tidak penting untuk diperhatikan. Tepatnya, NU sebenarnya lebih 
menganggap dirinya atau diposisikan sebagai ''organisasi Islam Jawa''.

Kondisi seperti itu sebenarnya harus disadari akan menjadikan NU berada pada 
posisi stagnan dan menyalahi roh dasar berdirinya. Sebab, munculnya organisasi 
tersebut awalnya dimaksudkan mewadahi masyarakat Islam yang mempraktikkan 
ajaran ahlussunah waljamaah, sebuah praktik berislam yang umumnya dianut 
masyarakat Indonesia jauh sebelum berdirinya NU sebagai organisasi.

Hanya, karena dalam perjalanannya, ''diselewengkan'' seolah-olah hanya menjadi 
milik para kiai dan atau elite Islam sarungan di Jawa. Karena itu, tidak heran 
kalau masyarakat Islam ahlussunah waljamaah di luar Jawa tidak memperoleh 
sentuhan NU.

Generasi Islam yang hadir belakangan pun, baik di Jawa maupun di luar Jawa, 
tidak peduli lagi pada NU sebagai sebuah wadah. Mereka semua menemukan jati 
diri berislam tanpa sebuah identitas kelompok. (*)

*). Laode Ida, sosiolog dan pengamat NU 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke