Yah pak Merza, WTO, World Bank, IMF, ADB, dan kaum
Neoliberalis selalu mendengung-dengungkan korupsi di
birokrasi untuk akhirnya menyerahkan seluruh BUMN yang
dikelola negara diserahkan ke swasta lewat Go Public
di Bursa Saham atau diambil-alih oleh mereka.

Dengan cara itu akhirnya kekayaan alam Indonesia
seperti Migas, batubara, emas, wilayah udara/frekuensi
dikuasai oleh segelintir pengusaha swasta.

Padahal justru merekalah yang mendorong pemerintah
mengganti uang yang dikorupsi oleh pengusaha swasta
sebesar rp 600 trilyun lewat skema BLBI/KLBI.

Belum lagi pemerintah harus mensubsidi pemilik uang
sekitar rp 80 trilyun lebih per tahun dalam bentuk SBI
mau pun obligasi negara agar rupiah stabil.

IMF dan Bank Dunia juga berperan menekan Indonesia
sehingga perusahaan asing seperti Exxon dapat menguras
gas di Indonesia seperti di Natuna tanpa memberikan
bagi hasil sesen pun ke negara Indonesia.

Oleh karena itu saya agak sebal melihat seorang
petinggi Bank Dunia bicara soal pemberantasan korupsi
padahal dia sendiri justru mengeruk kekayaan alam
Indonesia bersama konco2nya.

________________________________

        From: Merza Gamal [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
        Subject: [ekonomi-nasional] PRIVATISASI KORUPTOR
(Bag.1)
        
        

        PRIVATISASI KORUPTOR
        
        
        Sebelum era ekonomi baru, istilah koruptor hanya di
kenal untuk kalangan birokrat pemerintah. Menurut
Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2000), di mana
kekuatan berada, ia dapat disalahgunakan. Pada era
ekonomi baru korporasi-korporasi global telah
merupakan konsentrasi kekuatan ekonomi yang luar
biasa. Sebagaimana sebuah institusi besar dan
berkekuatan, korporasi global dapat bersikap dengan
cara-cara yang korup, arogan, dan secara sosial tidak
bertanggungjawab.
        
        Menurut Joseph E. Stiglitz (2003), seharusnya seorang
CEO (Chief Executive Officer) dan eksekutif korporasi
lainnya melakukan tindakan terbaik demi kepentingan
korporasi, pemegang saham, dan para pekerjanya. Akan
tetapi akibat insentif yang berbeda dari era
sebelumnya, membuat CEO bertindak mewakili kepentingan
pribadi dan seringkali tidak melakukan tugasnya
sebagai wakil dari pihak yang diwakilinya dengan baik.
Ironinya, perubahan struktur gaji yang menjadi akar
sebagian besar permasalahan ini dibela sebagai
perbaikan insentif. Di samping itu terdapat pula
praktek ganjil korporasi dalam memberikan stock option
(hak opsi saham) kepada para eksekutif perusahaan.
Para eksekutif perusahaan mempunyai hak membeli saham
perusahaan sendiri di bawah harga pasar, bahkan
seolah-olah tidak ada nilai yang berpindahtangan.
        
        Berdasarkan catatan Stiglitz, pada tahun 2001 hak
opsi mencapai sekitar 80 persen kompensasi manajer
korporasi Amerika yang mempunyai dampak yang tidak
ringan pada neraca keuangan. Bila sebuah korporasi
diminta mengakui nilai opsi saham yang dikeluarkannya
pada tahun tersebut, maka laba perusahaan bisa
berkurang sepertiganya. Dengan demikian, kontroversi
opsi saham, sebenarnya adalah soal kejujuran dalam
membeberkan informasi. Melalui logika tersembunyi dan
berbahaya, opsi saham berperan penting dalam
menyebarkan bentuk-bentuk lain penyelewengan keuangan.
Para eksekutif yang nakal, makin lama menunjukkan
energi dan kreativitasnya bukan untuk menghasilkan
produk-produk dan layanan baru, tetapi malah membuat
cara-cara baru untuk memaksimalkan pendapatan
eksekutif yang dibebankan kepada para investor yang
lengah.
        
        
        Bersambung...................................
        
        Merza Gamal ([EMAIL PROTECTED]
<mailto:merzagamal%40yahoo.com> )
        


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
http://www.media-islam.or.id


 
____________________________________________________________________________________
Sponsored Link

Mortgage rates near 39yr lows. 
$420k for $1,399/mo. Calculate new payment! 
www.LowerMyBills.com/lre

Kirim email ke