Refleksi: Pansus diujung tanduk kerbau Sibuya? http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=7b672a4ef6b0fe8b994efa382c5a53c3&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0
Pansus Di Ujung Tanduk Kamis, 11 Februari 2010 | 11:50 WIB Oleh: DR. DJUWARI, M.Hum Dosen STIE Perbanas Surabaya Jika diamati dari kacamata kebenaran dan kebajikan maka posisi Pansus BankCentury saat ini justru berada di ujung tanduk. Posisinya pada awal dengan skor dua lawan tujuh itu akan menjadi taruhan mencari kebenaran dalam kebajikan dan nafsu pribadi atau kelompok partai. Kesimpulan akhirnya nanti jelas terdapat pada ukuran konsistensi mereka. Anggap saja skor itu benar benar adanya. Kemudian kita berpikir positif bahwa kerja pansus sejak diprakarsai untuk dibentuk sampai akhir kerjanya hanya untuk kebenaran dan kebajikan.Tiada lain hanya dua unsur itu. Jika dua unsur itu bercampur dengan nafsu serakah dan kepentingan pribadi serta kelompok, maka justru merekalah yang akan menerima "hukuman" dari rakyat. Sebab, rakyat sudah muak dengan perdebatan disertai berbagai nada keras dan kata-kata buruk disaksikan oleh rakyat se negeri selama ini Di tengah-tengah hiruk pikuk perdebatan untuk mencari kebenaran di antara anggota pansus bank century, rakyat semestinya haus akan kebajikan pemimpin. Kebajikan itu tidak ditunjukkan namun disimpan dalam hati pemimpin dan wakil rakyat. Entah itu skornya dua lawan tujuh atau nanti justu berubah karena berbagai spekulasi politis, maka rakyat hanya bisa melihat secara jernih. Ini merupakan momen yang tepat bagi pemimpin dan wakil rakyat untuk membuktikan konsistensi perjuangan demi kebenaran. Jika nanti ada perubahan skor akibat proses bargaining, maka di sinilah awal nurani setiap pejuang dalam pansus bank Century dikenang rakyat karena tidak ada kebenaran. Yang ada hanya nafsu dan kehausan kekuasaan serta kepentingan perutnya sendiri. Kebajikan saat itulah yang akan secara jelas disaksikan oleh rakyat. Bahwa di balik kegiatan pansus itu ada muatan politis yang mencerminkan kebenaran semu. Kebajikan pemimpin dan wakil rakyat juga dipertanyakan. Jika kebenaran itu diperjuangkan dengan kebajikan dan keluhuran hati nurani, maka kebenaran itu akan kelihatan jelas sebagai kebenaran sejati perjuangan anggota dewan sebagai wakil rakyat. Salah satu tanda lenyapnya kebajikan adalah nafsu serakah para kapitalisme. Dengan kata lain, nuansa kapitalisme bisa ditandai dengan lenyapnya kebajikan. Apapun perbuatan harus ditunjukkan untuk mendapatkan reward sebagai prestasi yang diraih. Semua harus diangkakan. Inilah gejalah-gejalah yang menjangkit dalam kehidupan kapitalis. Tanda-tanda itu bahkan tidak hanya ada dalam kehidupan kapitalis tetapi sudah merambah ke dunia pendidikan. Semua harus diindikatorkan. Karena itu, jika masih abstrak, maka jasad apa pun harus dikonkretkan. Sesuatu yang samar harus diungkapkan meskipun dalam bentuk kata-kata. Bila perlu sesuatu yang hampa (intagible) dalam kehidupan diekpresikan dalam bentuk materi. Tanpa diekspresikan secara nyata seseorang tidak akan eksis. Fenomena hilangnya kebajikan juga terjadi pada kisah Oemar Bakrie. Sejarah lama saat itu, guru mendapat predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Penonjolannya pada perbuatan mendidik dan mengajar. Guru cinta pada anak didiknya. Guru sepenuhnya menaruh perhatian pada siswa-siswinya. Catatan harian guru diliputi kisah dan perkembangan anak didik. Setiap saat guru memantau perkembangan anak didiknya. Lalu penghargaan yang diterima meski tidak seimbang dengan perbuatannya mereka tetap bersemangat. Ini juga pernah digambarkan oleh seorang guru, Muslimah, pada film Laskar Pelangi. Oleh sebab itu, mereka saat itu layak mendapat predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Masih adakah Muslimah Muslimah saat ini? Itulah nuansa dulu dan beda dengan kehidupan masa kini. Ini akibat desakan tuntutan pribadi karena apa pun dalam kehidupan harus dindikatorkan. Serifikasi harus ada dokumentasi. Perbuatan mendidik dan mengajar harus diindikatorkan. Pernah ikut seminar harus didokumentasikan. Pernah ikut lokakarya harus dicatat. Semua serba indikator. Mudah-mudahan masih banyak Muslimah Muslimah yang lain saat ini. Sekarang para wakil rakyat dalam pansus tidak perlu indikator pujian atau kue kekuasaan. Jika mereka benar-benar memperjuangkan kebenaran, maka kebenaran itu bukan karena makna kebenaran subjektif. Kebenaran itu bukan karena motif-motif pribadi dan kelompok. Kebenaran lahir dari kebajikan akan menghasilkan kebenaran hakiki. Oleh sebab itu, pansus bank century juga dijadikan tonggak sejarah dalam meningkatkan citra anggota dewa. Kalau ujung-ujungnya kompromi dan negosiasi kekuasaan itu sudah bukan kebajikan. Jika natinya hanya sekadar pembagian "kue" di pemerintahan, maka skor dua lawan tujuh saat ini hanya gertak sambal sebagai umpan. Sekali lagi, momen ini bisa dijadikan taruhan. Mengaangkat harkat nama harum anggota dewan atau hanya sebuah drama dengan skenario yang tanpa keyakinan pelakunya? Kebenaran itu sesuai dengan niat pansus bank Century itu dibentuk. Jika niatnya untuk membuka seterang-terangnya, maka kebenaran itu bukan kebenaran semu. Di sinilah akan dipertanyaan sejauh mana kebajikan para pemimpin dan wakil rakyat bisa ditonjolkan. Kerja pansus tidak ada pamrih dan berbagai intrik politik yang mengarah pada kepentingan kelompok atau partai. Niatnya demi kepentingan rakyat. Momen inilah sebagai kesempatan memperbaiki citra dewan demi masa sekarang dan mendatang. Di Ujung Tanduk Dari kebajikan dan kebenaran sosok pemeimpin dan wakil rakyat dipertanayakan seperti di atas, maka saat seperti ini, justru Pansus sendiri berada di ujung tanduk. Dari ulasan tentang kebenaran dan kebajikan itulah, pansus bersiaga mendapat dua kemungkinan. Pertama kemungkinan prestasi kebenaran. Kedua kemungkinan mendapat prestasi kemunafikan. Predikat pertama itu jika mereka tidak menonjolkan berbagai bargaining yang menghapus nilai-nilai kerja selama ini. Makna dari niat membuka seterang terangnya itu bisa menjadi tolok ukur sejauh mana mereka dalam mempertahankan istikomah mereka. Jika mereka salah mengambil sikap sesuai dengan skor yang disaksikan publik, maka di situlah publik seluruh nusantara ini akan mememoloti perilaku mereka secara gamblang. Di mana dan kapan saja, serta detik demi detik dalam menhgambil sikap paling akhir ibarat memosisikan mereka berada di ujung tanduk. Mereka akan etrgelincir ke mana dan kapan tergelinrinya itu akan disaksikan oleh publik bersama-sama. Mampuslah anggota pansus bank century ini jika momen seperti ini tidak disikapi secara hati-hati. Mereka dalam kondisi "perang batin" antara nafsu dan kebenaran yang sejati. Celakanya, antara nafsu dan kebenaran itu sudah jelas dilihat oleh raakyat. Mampukah mereka istikomah? Mampukah mereka menjadi pemimpin sekaligus wakil rakyat memperjuangkan kebenaran dan berbuat kebajikan? Tanduk itu sangat lancip dan oleh sebab itu mereka dalam keadaan genting. Genting dalam arti mereka sendiri yang menciptakan skor dua lawan satu. Benarkah skor dua lawan satu itu merupakan kebenaran dan kebajikan mereka demi rakyat. Kita tunggu saja sampai kapan mereka mampu memperjuangkan kebenaran yang sejati. Jika tidak maka kesimpulan yang terjelek adalah justru merekalah yang memprakarsai dan bersemangat berdebat dalam kegiatan pansus itu yang serakah dan penuh kepentingan pribadi dan kelompok mereka. [Non-text portions of this message have been removed]