Republika
      Selasa, 03 Mei 2005

      Pernikahan: Hukum Agama Vs Hukum Negara 




      Salahuddin Wahid 
      Ketua Majelis Pengurus Pusat ICMI




      Harian Republika (14/4) memuat tulisan berjudul Pernikahan Lintas Agama 
yang ditulis oleh Adian Husaini, seorang kawan yang telah lama tak berjumpa. 
Tulisan itu merupakan tanggapan terhadap tulisan saya di harian yang sama (1/4) 
dengan judul Perkawinan, Agama dan Negara. Menurut saya tulisan Adian Husaini 
itu kurang tepat dalam menanggapi tulisan saya. 

      Sudah saya jelaskan bahwa tulisan itu tidak membahas masalah perbedaan 
dalam hukum Islam, tetapi membahas hubungan antara hukum agama (Islam) dengan 
hukum negara. Adian Husaini membantah pendapat saya bahwa dalam masalah 
tersebut terdapat tiga pandangan. Menurutnya, seluruh ulama yang benar-benar 
mumpuni sepakat bahwa pernikahan Muslimah dengan pria non-Muslim dilarang oleh 
agama Islam. 

      Jadi dapat disimpulkan bahwa menurutnya para cendekia dan para ulama yang 
tergabung dalam Paramadina dan yang menyusun tandingan Kompilasi Hukum Islam 
(CLD-KHI) dapat dianggap sebagai ulama atau cendekia yang tidak mumpuni atau 
dipertanyakan kemampuannya. Tentu Adian Husaini punya hak untuk membuat 
anggapan seperti itu tetapi saya tidak merasa punya hak. Kita serahkan kepada 
masyarakat untuk membuat penilaian.

      Paradigma yang dipakai Adian Husaini berbeda dengan yang saya pakai. Yang 
dipakainya ialah paradigma negara berdasar Islam di mana Alquran dan Hadits 
menjadi sumber hukum yang utama dan semua hukum negara harus mengacu kepada 
kedua sumber itu. Paradigma yang saya pakai adalah negara berketuhanan 
(berdasar Pancasila di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa). 
Berarti bahwa kita tidak boleh membuat hukum positif di Indonesia yang 
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang disetujui bersama oleh 
mayoritas umat Islam di Indonesia, tetapi kita juga tidak boleh melarang 
pendapat yang berbeda yang dipunyai oleh sebagian (minoritas) umat Islam. 

      Hukum Islam hanya berlaku secara mengikat di Indonesia kalau telah 
menjadi hukum positif. Sebagai contoh ialah masalah pembagian waris antara anak 
lelaki dan perempuan di dalam keluarga Muslim, apalagi kalau di antara para 
ahli waris terdapat yang beragama di luar Islam. Mayoritas umat Islam yakin 
bahwa syariat Islam mengatur bahwa hak anak laki-laki dua kali hak anak 
perempuan. 

      Tetapi di Indonesia bisa dilakukan proses pembagian melalui pengadilan 
agama atau pengadilan negeri. Melalui pengadilan negeri bisa dilakukan 
pembagian sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jadi usul CLD-KHI 
untuk mengharuskan pembagian yang sama antara anak laki-laki dan anak anak 
perempuan tidak tepat. Apa yang berlaku sekarang di Indonesia menurut saya 
sudah tepat dan realistis, bisa dibagi sama rata atau anak laki-laki mendapat 
bagian dua kali anak perempuan. 

      Hormati pendapat minoritas
      Kembali kepada masalah pernikahan lintas agama. Secara pribadi saya 
mengikuti pendapat bahwa menurut syariat Islam, Muslimah tidak boleh menikah 
dengan pria non-Muslim. Tetapi saya tidak setuju jika hukum negara secara 
eksplisit mengizinkan pernikahan semacam itu atau secara eksplisit melarangnya. 
Itu adalah wilayah hukum Islam yang mengandung perbedaan pendapat di antara 
umat Islam dan negara tidak perlu terlibat di dalamnya. 

      Biarkan keadaan seperti sekarang berlangsung, dimana UU No 1/1974 tentang 
perkawinan mengatur bahwa perkawinan dinyatakan sah jika sesuai dengan 
ketentuan agama masing-masing. Menurut pendapat mayoritas umat Islam di 
Indonesia, pernikahan antara Muslimah dengan pria non-Muslim itu dilarang oleh 
agama Islam. Jelas negara tidak boleh mengintervensi dengan mengijinkannya 
secara eksplisit dalam ketentuan perundang-undangan, yang berarti tidak sesuai 
dengan pendapat mayoritas umat Islam. 

      Tetapi negara harus menghormati pendapat minoritas umat Islam yang 
memperbolehkan pernikahan semacam itu, dengan cara memberikan kesempatan untuk 
mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor Catatan Sipil supaya pernikahan mereka 
sah menurut negara. Untuk bisa melakukan itu tampaknya kita harus menunggu 
lahirnya UU Catatan Sipil yang mengatur keharusan untuk mencatat atau mendaftar 
semua pernikahan di Indonesia. 

      Kalau negara secara eksplisit di dalam UU melarang pernikahan itu, maka 
dapat disimpulkan bahwa pasangan Muslimah dan pria non-Muslim yang menikah itu 
melanggar hukum negara dan dapat dikenakan sanksi. Demikian pula bila UU 
melarang poligami, pria yang melakukan poligami dan pasangannya dapat dikenakan 
sanksi. 

      Tetapi bagaimana bila pernikahan pria poligami itu dilakukan di bawah 
tangan? Apakah pernikahan di bawah tangan itu dapat dianggap sebagai 
pelanggaran hukum negara dan dapat dikenai sanksi? Atau pernikahan di bawah 
tangan itu secara hukum negara dianggap tidak ada dan tidak dapat dikenai 
sanksi apapun? Kalau demikian keadaannya, maka pihak perempuan dan keturunannya 
akan mengalami perlakuan yang diskriminatif, karena ada kemungkinan mereka 
tidak akan mendapatkan hak yang sama dengan istri pertama dan keturunannya. 
Isteri pertama dan keluarganya juga akan dirugikan tetapi si suami tidak bisa 
dikenakan sanksi apa-apa. 

      Kekhawatiran
      Di atas dikatakan bahwa Adian Husaini memakai paradigma negara berdasar 
Islam dan saya memakai paradigma negara berketuhanan. Apakah paradigma yang 
dipakai oleh tim yang mengusulkan CLD-KHI? Tampaknya paradigma mereka cenderung 
ke arah negara sekuler. Tentu saja saya bisa keliru. Bahkan bagi Adian Husaini 
dan kawan-kawan, saya pun mungkin dikatakan mempunyai paradigma negara sekuler. 
Ukuran yang pasti tentang masalah itu memang tidak pasti. 

      Sejauh pemahaman saya dalam konteks negara Indonesia, negara sekuler 
ialah negara yang tidak memberi kesempatan sama sekali untuk masuknya ketentuan 
syariat Islam yang partikular. Yang diterima ialah syariat Islam yang bersifat 
universal. Bagi mereka sumber hukum adalah hukum internasional yang bersifat 
universal, dan hanya ada satu hukum untuk suatu masalah tertentu yang berlaku 
untuk semua warga negara Indonesia tanpa memandang agama dan suku. Padahal di 
Indonesia bagi banyak kalangan, sumber hukum itu bisa hukum internasional, 
hukum adat dan hukum Islam.

      Contoh yang terbaik ialah bagaimana kita menyikapi pemakaian jilbab. 
Ketika Dr Daud Yusuf menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, pernah ada 
larangan bagi siswi SMAN/SLTA untuk memakai jilbab ke sekolah dan yang 
bersikeras memakainya harus keluar dari sekolah mereka. Itu adalah salah satu 
bentuk penerapan paradigma sekulerisme di negara kita. Sekarang kita lihat 
bahwa pemakaian jilbab ke sekolah sudah bebas.

      Dalam masalah jilbab, paradigma negara berdasar Islam tentu mengharuskan 
semua Muslimah memakai jilbab (contohnya di NAD). Dalam paradigma negara 
sekuler, dilarang untuk memakai jilbab di lembaga negara. Contohnya: Turki 
melarang mahasiswi universitas negeri memakai jilbab dan Prancis melarang siswi 
memakai jilbab di sekolah negeri. Tetapi Amerika Serikat mengizinkan tentara 
Muslimah memakai jilbab. 

      Di Indonesia yang berparadigma negara berketuhanan, Muslimah boleh 
memakai jilbab sesuai kehendak dan keyakinannya. Tidak ada larangan dan tidak 
ada keharusan. Memakai jilbab karena kesadaran tentu lebih afdol daripada 
karena keharusan. Di sini kita lihat negara tidak mencampuri pendapat pribadi 
dan menghormatinya. 

      Adian Husaini khawatir bila kita memperbolehkan pernikahan Muslimah 
dengan pria non-Muslim akan berakibat terlalu jauh sampai memperbolehkan 
pernikahan pria dengan pria atau perempuan dengan perempuan, dengan dalih 
menghormati hak asasi manusia. Kita harus memperhatikan dan menghormati adanya 
kekhawatiran itu. 

      Kalau dalam masalah pernikahan Muslimah dengan pria non-Muslim kita masih 
memberi toleransi kepada (minoritas) umat Islam yang mengizinkan pernikahan 
Muslimah dengan pria non-Muslim, saya yakin tidak ada ulama atau cendekiawan 
Islam yang berpendapat bahwa Islam mengizinkan pernikahan sesama jenis. 

      Pertanyaannya, apakah kita juga akan memberikan toleransi serupa kepada 
pernikahan sesama jenis demi menghormati HAM? Tentu tidak karena semua agama di 
Indonesia melarang pernikahan semacam itu. Nilai moral bangsa kita juga 
menolaknya. Kalau kita tidak menyetujui pernikahan semacam itu, bagaimana cara 
kita melarangnya? Apakah dengan cara tidak memberi izin untuk mendaftar atau 
kita menyatakan bahwa pernikahan semacam itu merupakan pelanggaran atau tindak 
pidana dan harus dikenakan hukuman. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu 
dan kita tidak punya cukup ruang dalam tulisan ini.


     
      Kolom Opini Sebelumnya 
      Selasa, 03 Mei 2005

      Rezim Baru, Resistansi, dan Prospek Perdamaian Irak 

     
      Senin, 02 Mei 2005

      Dilema Buruh dan Tantangan Bagi Agamawan 
      (Refleksi Hari Buruh se-Dunia) 
     


     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke