http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010012903195615

      Jum'at, 29 Januari 2010 
     
      BURAS 
     
     
     
Publik Bangun Oposisi Nonformal! 

       
      H. Bambang Eka Wijaya



      "PUBLIK--direpresentasikan massa kritis dari berbagai elemen masyarakat 
dari mahasiswa sampai buruh, tani dan warga miskin kota--lewat Gerakan 28 
Januari di seantero negeri terbukti mampu membangun barisan oposisi nonformal 
bagi pemerintahan SBY-Boediono yang monolitis!" ujar Umar. "Kekuasaan monolitis 
dengan koalisi partai berkuasa 76 persen suara di parlemen--lebih tiga 
perempat--itu, membuat kekuatan pengimbang di parlemen jadi kurang efektif, 
publik harus membangun kekuatan pengimbang di luar struktur formal!"

      "Dari jumlah demonstran dan keanekaragaman elemen masyarakat yang ikut 
demonstrasi pada 28 Januari 2010--100 hari pemerintahan SBY--Boediono--jauh 
lebih besar dibanding demo Hari Antikorupsi 9 Desember 2009, usaha publik 
membangun barisan oposisi nonformal cukup berhasil!" timpal Amir. "Untuk itu, 
makna oposisi nonformal perlu dipahami, hal yang hadir sebagai tuntutan 
realitas justru untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dari monolitisme 
absolut!"

      "Pertama layak diperhatikan, mahasiswa dan beraneka elemen masyarakat 
yang ikut Gerakan 28 Januari merupakan pihak penegak perjuangan reformasi, 
sehingga barisan oposisi nonformal ini bangkit sebagai kewajiban mengawal 
kelanjutan perjuangan reformasi!" tegas Umar. "Kewajiban itu muncul sebagai 
tuntutan sejarah, setelah reformasi hasil perjuangan mereka itu kemudian lebih 
didominasi partai politik, yang oleh partai-partai politik itu dikembalikan 
menjadi monolitis lebih parah dari era Orde Baru dengan mayoritas tunggal 66-70 
persen--kini malah 76 persen!"

      "Artinya, sistem formal demokrasi telah terjebak dalam kapsul kekuasaan 
elite menjurus monolitis!, menyimpang dari semangat reformasi dan bahkan 
kembali ke pola lebih buruk dari Orde Baru yang sebelumnya dikoreksi oleh 
reformasi! Maka itu, perjalanan sejarah memang harus diluruskan dengan gerakan 
ekstraparlementer seperti yang dipakai sebelumnya!" timpal Amir. "Bertolak dari 
situ, pemaknaan gerakan oposisi nonformal ini juga harus kembali pada hakikat 
semula, yakni sebagai kekuatan moral--moral forces!"

      "Itu sejalan kebangkitan kembali gerakan moral forces tersebut, yang 
utamanya dibidani oleh memuncaknya ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, 
mulai kasus Prita Mulyasari, kasus cicak lawan buaya, dan skandal Bank 
Century!" tegas Umar. "Terpenting, orientasi moral forces bukan kekuasaan, tapi 
kualitatif pada tuntutan! Karena itu, membesar atau mengecilnya gerakan moral 
forces tergantung pada akomodasi politik formal dalam mengakomodasi 
tuntutannya! Jika tuntutannya semakin banyak diakomodasi, akan mengecil 
gerakannya! Sebaliknya, jika tuntutan terutama esensi moralitasnya ditindas, 
gerakan bisa membesar tak kepalang, kekuatan setangguh rezim Orde Baru pun bisa 
tumbang!" ***
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke