Refleksi :  Bukankah SBY dapat doktor dari IPB, mosok paduka tidak tahu. Kalau 
dianggap penting tentu diperhatikan dan dikembangkan. Agaknya yang dipenting 
hanya kelapa Sawit, cukup menjadi negara ekspor minyak sawit terbesar sudah 
cukup. 

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/quo-vadis-peran-keagrariaan-perguruan-tinggi/

Sabtu, 19 Juni 2010 12:20 
"Quo Vadis" Peran Keagrariaan Perguruan Tinggi?
OLEH: USEP SETIAWAN



Salah satu kekuatan penting yang cukup lama absen perannya dari percaturan 
keagrariaan ialah dunia perguruan tinggi. Seolah ingin bangkit dari tidurnya, 
Dewan Guru Besar Universitas Indo­nesia menggelar simposium na­sional bertema 
"Tanah untuk Ke­adilan dan Kesejahteraan Rak­yat" (12/5/10) yang meng­ang­kat 
urgensi pelaksanaan pem­baruan agraria di Indo­nesia. 

     

Simposium yang dibuka pidato Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri telah 
memberikan angin segar bagi meningkatnya perhatian kampus atas dunia 
keagrariaan kita. Selama 30-an tahun terakhir, perhatian kalangan kampus 
terbilang minim dan kering.
Forum ini dihadiri tak ku­rang dari 500 insan aka­demis dari sekitar 17 
perguruan tinggi se-Indonesia. Seolah ingin ditegaskan, pentingnya dunia 
akademik turut mengurai persoalan dasar agraria, sekaligus merumuskan formula 
jalan keluar keruwetan agraria secara ilmiah, objektif, sistematis, ideal, 
namun realistis. 

Pandangan Para Guru 
Dalam ceramah umum di bagian awal simposium ini, Joyo Winoto, Kepala Badan 
Perta­nahan Nasional RI, me­nga­barkan bahwa pemerintah sedang melakukan 
persiapan dan mulai melaksanakan pembaruan agraria, dalam pengertian penataan 
sistem politik dan hukum pertanahan. Selain itu, juga pembaruan agraria dalam 
makna penataan pemilikan, pe­nguasaan dan pemanfaatan ta­nah serta penyediaan 
berbagai akses yang dibutuhkan rakyat (landreform plus access reform).
Winoto-yang dalam forum ini menyebut diri "Guru Kecil" di tengah para Guru 
Besar- mendorong tujuh agenda stra­tegis, yakni: (1) Mem­bang­kitkan pemikiran 
kritis keagrariaan, (2) Mengisi tuntutan keagrariaan, (3) Mem­per­luas dan 
memperkaya pemikiran mengenai keadilan dan kesejahteraan, (4) Menggugat 
paradigma dominan, (5) Reposisi intelektual dan akademisi da­lam perjuangan, 
pemikiran, penegakan keadilan, dan tuntutan publik akan kesejahteraan, (6) 
Membangun kesadaran baru keagrariaan di dunia kampus melalui pendidikan dan 
penelitian, dan (7) Me­lakukan gerakan intelektual dalam pembenahan sistem 
ke­adilan dan kesejahteraan.


Selanjutnya, dalam presentasi Prof Arie Sukanti Huta­galung (Guru Besar Hukum 
Agraria UI), ia mencatat bahwa secara akademik timbulnya dis­harmoni UU agraria 
seha­rusnya tak perlu terjadi jika UUPA dilaksanakan secara konsisten. Ini 
dilakukan dalam wujud pengaturan sektor-sektor agraria yang mengikutinya 
kemudian, dengan berpegang pada doktrin hukum "lex priori derogat legi 
apriori". Hutagalung lantas memberikan saran sekaligus usul untuk strategi 
jangka pendek berupa kajian akademik terhadap sinkronisasi pelaksa­naan 
tugas-tugas pemerintahan dalam sektor keagrariaan. Ia juga memberikan solusi 
ke­pada presiden agar lebih maksimal dalam menjalankan ama­nat Pasal 33 Ayat 3 
UUD 1945.


Berbicara tentang kesejahteraan sosial, Prof Suse­tiawan (Guru Besar 
Ant­ropologi UGM) menekankan perlunya membangkitkan kembali kekuatan komunitas. 
Mem­bangun institusi sosial yang dianggap mendukung kesejahteraan bagi 
komunitas jadi sangat penting artinya un­tuk pembangunan bangsa. Bukannya 
menghilangkan ins­titusi tradisional yang berbasis komunitas jadi berbasis 
individu. 


Susetiawan menambahkan, diperlukan kajian mendalam mengenai institusi macam apa 
yang sekarang ini masih tersisa dan efektif untuk menjamin ketahanan sosial 
masyarakat, termasuk apa yang mereka pikirkan tentang sejahtera dan 
mengutamakan kembali cara komunitas untuk menjaga kehidupan bersama. Sementara 
itu, Prof Maria SW Sumardjono (Guru Besar Hukum Agraria UGM) me­mandang 
pentingnya komitmen pemerintah dan lembaga legislatif untuk melakukan 
sinkronisasi antarberbagai peraturan perundang-undangan sektoral dengan 
berlandaskan pada prinsip "hukum sebagai suatu sistem." 


Selanjutnya, Sumardjono merekomendasikan perlunya kejelasan instansi yang 
berwenang untuk mengoordinasikan kebijakan di bidang sumber daya alam dan 
implementasinya. Secara khusus, dewasa ini masih ditunggu cetak biru politik 
hukum pertanahan nasional yang akan memberikan arah bagi pembangunan hukum 
pertanahan nasional ke depan untuk mengacu pada UUD 1945, UUPA, UU RPJM, dan 
lain-lain.


Terakhir, Prof Robert MZ Lawang (Guru Besar Sosiologi UI) menawarkan pikiran 
sosiologis untuk pembangunan yang butuh alternatif habitus baru. Lawang 
menyadari bahwa sosiologi pedesaan tidak antikebijakan pemerintah yang 
memperhatikan skala pembangunan ekonomi makro, tetapi tak setuju kalau 
kebijakan tersebut mengabaikan pembangunan ekonomi mikro di pedesaan. 
Cendikiawan perlu memihak negara dan rakyat tanpa memihak salah satunya. 


Menurut Lawang, kita harus menyusun habitus baru yang tak mengganggu NKRI, tapi 
juga memberi peluang kepada orang desa untuk berkembang sesuai struktur 
sosialnya, agar jadi struktur alternatif. Dibutuhkan konsistensi dalam menatap 
masa depan bangsa. 

Kampung dan Kampus
Penulis memandang pentingnya pertemuan dan kolaborasi kritis tiga aktor utama 
pembangkit reforma agraria, yakni akademisi, birokrasi, dan aktivis. Melalui 
kearifan, para akademisi kita dapat memahami situasi dan kondisi agraria di 
lapangan secara relatif lebih jernih, sehingga solusinya pun dapat ditemukan 
dengan relatif tepat dan akurat. 
Dengan kewenangan yang ada di tangan para birokrat, kebijakan pelaksanaan 
reforma agraria dapat dirumuskan dan dijalankan secara masif dan legal. Segenap 
perangkat hu­kum, program, anggaran, dan infrastruktur lainnya dari pusat 
hingga daerah diarahkan untuk memastikan penataan struktur agraria dapat 
efektif dialirkan.


Sementara itu, aktivis atau pegiat agraria menjadi jembatan kreatif 
pengembangan pemahaman massa rakyat atas masalah agraria, menggali akar-akar 
penyebabnya, dan merumuskan solusinya melalui gerakan bersama. Pendidikan, 
pelatihan, dan pengembangan organisasi rakyat dapat di­galang bersama kalangan 
aktivis, pegiat, dan lembaga pendukung lainnya.
Menghubungkan aspirasi "kampung" dengan peran oto­ritatif keilmuan "kampus" 
juga diperlukan. Memper­tautkan ge­rakan kampung dan kampus niscaya dapat 
mengurai benang kusut dunia keagrariaan, pertanian, dan pedesaan kita secara 
mendasar dan ilmiah. Kaum cerdik cendikia ditantang untuk segera mengembangkan 
berbagai kajian, publikasi, jejaring, dan kerja sama guna mengembangkan konsep 
dan praktik reforma agraria yang memihak rakyat miskin.
Setelah simposium UI tuntas, itu perlu dilanjutkan de­ngan segenap langkah yang 
lebih nyata dan bermakna, guna menjawab pertanyaan: quo vadis peran keagrariaan 
per­guruan tinggi?

Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke