IMPOR BERAS:

Keuntungan:
- Bisa mark-up dan mendapatkan keuntungan bagi pelaku
importir
- Bisa dapat komisi bagi pelaku importir
- Harga beras turun

Kerugian:
- Indonesia tidak mandiri
- Ketahanan Nasional berkurang. Diembargo/blokade
sedikit maka rakyat Indonesia kelaparan
- Menghabiskan devisa (Dollar, dsb)


TIDAK IMPOR BERAS:
Keuntungan:
- Indonesia bisa mandiri
- Menghemat devisa
- Membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia sbg
petani (kalau pemerintah mengembangkan sektor
pertanian)
- Ketahanan Nasional tinggi

Kerugian:
- Para pelaku importir tidak bisa mendapatkan untung.
- Harga beras naik (jika produk beras nasional masih
kurang)

--- cepy alhakim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Ytc rekan-rekan,
> 
> ada tulisan bagus tentang beras yang menurut saya
> sangat logis dan bisa dijadikan peritimbangan kenapa
> kita menolak import beras dan mudah-mudahan
> pemerintah kita bulog, menteri pertanian kita
> mungkin presidenya yang almuni IPB tidak Buta dan
> tuli terhadap permasalahan beras ini. masa solusinya
> cuma impor ah...masa sih...
> 
> salam hangat,
> 
> alhakimc
> 
> Tuliasn harian kompas , kamis 7 september 2006
> 
> inyal Darurat Beras, Apa Solusinya?  
> Muslimin Nasution  
> Pada akhir September yang akan datang, Indonesia
> kembali akan mengimpor beras sejumlah 210.000 ton.
> Meski beberapa pihak menyatakan jumlah tersebut
> kecil, tak diragukan lagi, impor adalah tindakan
> yang menistakan petani dan menghancurkan dunia
> pertanian jika stok beras sesungguhnya masih berada
> di level aman. 
> Karena itu, tulisan ini tidak akan menyoroti
> persoalan impor beras ketika diasumsikan stok beras
> masih cukup. Jauh lebih penting mesti dinilai pula
> tepatkah strategi impor tersebut ketika stok beras
> memang kurang. 
> Di masa depan, asumsi bahwa Indonesia akan selalu
> kekurangan beras lebih realistis dibandingkan dengan
> asumsi kebalikannya. Asumsi ini ditetapkan dengan
> mempertimbangkan empat hal. 
> Pertama, impor beras sesungguhnya bukan pekerjaan
> baru bagi Indonesia. Sejak empat dasawarsa yang lalu
> Indonesia melakukannya hampir setiap tahun. Namun,
> hanya dua kali (tahun 1984 dan 2004) swasembada bisa
> diraih. 
> Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir tidak terdapat
> peningkatan luas panen padi yang signifikan. Besar
> kemungkinan kecenderungan ini terus berlanjut karena
> usaha perluasan selalu menghadapi persoalan pelik.
> Secara umum, padi akan bagus hasilnya jika ditanam
> di Pulau Jawa dan Bali. Rata-rata produksi padi di
> dua pulau ini paling tinggi dibandingkan dengan
> pulau lain, mencapai lebih dari 5 ton per hektar.
> Sementara rata-rata produksi di pulau lain 2-5 ton
> per hektar (Badan Pusat Statistik, 2005). Namun,
> ekspansi areal persawahan di Pulau Jawa dan Bali
> harus berkompetisi dengan kepentingan lain, seperti
> perumahan dan industri. Dalam kompetisi ini,
> kepentingan penggunaan lahan untuk sawah hampir
> pasti tersisih, terutama karena pertimbangan
> untung-rugi. Maka, yang terjadi bukanlah ekspansi,
> melainkan alih fungsi lahan sawah ke nonsawah. 
> Adapun di luar Jawa, usaha untuk mengembangkan areal
> tanam padi telah dilakukan sejak lebih dari tiga
> puluh tahun lalu, mulai dari proyek rice estate di
> Palembang hingga proyek lahan gambut sejuta hektar
> di Kalimantan. Sebagaimana diketahui, semua usaha
> tersebut gagal total. Ini menunjukkan betapa
> muskilnya mengembangkan areal sawah baru di luar
> Pulau Jawa. 
> Ketiga, pertumbuhan produktivitas padi cukup rendah,
> kurang dari 2 persen per tahun dalam 15 tahun
> terakhir (International Rice Research Institute,
> 2005). Meski hampir semua teknologi yang ada di
> dunia sudah diterapkan dan diadopsi oleh Indonesia,
> yang membuat usaha tani padi di Indonesia menjadi
> terefisien di Asia Tenggara dan lebih produktif
> dibandingkan dengan produksi rata-rata Asia bukan
> pekerjaan mudah untuk meningkatkan produktivitas
> padi ini. Apalagi jika mengingat efisiensi lahan
> sawah, terutama di Jawa, sudah mendekati jenuh dan
> keletihan (soil fatique). 
> Keempat, sulit diharapkan adanya terobosan teknologi
> yang manjur, seperti Revolusi Hijau, dalam waktu
> dekat. Padi hibrida yang direncanakan menjadi
> andalan untuk menggenjot produksi juga masih penuh
> kontroversi. Butuh waktu lama untuk mengetahui
> apakah padi hibrida ini dapat memenuhi seluruh
> persyaratan teknis dan ekonomis agar bisa ditanam di
> Indonesia. 
> Dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,7 juta jiwa
> per tahun, jika diasumsikan konsumsi beras per
> kapita penduduk Indonesia di masa akan datang sama
> dengan konsumsi per kapita tahun 2004 sebesar 136
> kg, Indonesia akan membutuhkan tambahan pasokan
> beras 360.000 ton setiap tahunnya. Dengan demikian,
> sebagai contoh, pada tahun 2010 Indonesia akan
> membutuhkan suplai beras 1,4 juta ton lebih banyak
> dari kebutuhan saat ini. Dengan asumsi pertumbuhan
> produktivitas padi 2 persen per tahun dan faktor
> lainnya tetap, pada tahun itu hanya dihasilkan
> tambahan produksi 800.000 ton lebih besar dari saat
> ini. Jadi, pada tahun itu kita akan kekurangan beras
> sekitar 600.000 ton. 
> Persoalannya, jika di masa depan kita akan selalu
> kekurangan beras, bersediakah kita menjadikan impor
> sebagai satu-satunya solusi? 
> Pilihan tak layak  
> Ditinjau dari sudut pandang apa pun, impor beras
> adalah pilihan yang tak layak. Mengimpor beras dalam
> jangka waktu lama sudah pasti mengancam ketahanan
> nasional. Selain memboroskan devisa dan membebani
> anggaran negara, impor beras yang merupakan barang
> konsumsi juga tidak menghasilkan efek positif
> terhadap perekonomian, misalnya dalam menciptakan
> lapangan kerja baru. 
> Impor beras juga membuat petani khawatir akan
> menanggung penurunan harga beras produksi dalam
> negeri. Tak kurang meruginya, impor beras berpotensi
> memunculkan kembali gonjang-ganjing politik
> sebagaimana telah terjadi beberapa waktu lalu (kasus
> angket beras DPR). 
> Jika impor merupakan pilihan tak layak, dan ketika
> peningkatan produksi beras tak bisa diharapkan lagi,
> satu-satunya cara untuk keluar dari "krisis beras"
> ialah melakukan substitusi. Persoalannya, adakah
> komoditas lokal yang dapat menggantikan peran beras
> sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat? 
> Kita dapat belajar dari pengalaman Jepang untuk
> menjawab pertanyaan ini. Tahun 1960-an, konsumsi
> beras per kapita rakyat Jepang dan Indonesia hampir
> sama besarnya, yaitu sekitar 130 kg. Namun, saat ini
> konsumsi Jepang menurun hingga setengahnya,
> sedangkan Indonesia masih tetap. Sebagai pengganti
> sebagian konsumsi beras itu, rakyat Jepang
> memanfaatkan potensi tanaman pangan lain, terutama
> umbi-umbian, seperti ubi jalar dan talas. Komoditas
> yang dipilih untuk menggantikan beras disesuaikan
> dengan daerah masing-masing. Misalnya di Kagoshima
> yang cocok untuk budidaya ubi jalar, pemerintah
> mendorong pemanfaatan ubi jalar melalui banyak cara.
> Karena dukungan penuh pemerintah, Kagoshima sekarang
> dikenal dengan julukan Kerajaan Ubi Jalar karena
> penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan ubi jalar
> telah sedemikian meluas di sana. Berkembang pula
> banyak industri pengolahan ubi jalar, seperti
> industri tepung, pasta, dan makanan ringan. 
> Di negeri kita, kesadaran untuk memanfaatkan
> komoditas pangan lokal sebagai bahan pangan utama
> sumber karbohidrat sesungguhnya pernah membudaya.
> Dahulu kita mengenal Madura dengan jagungnya, atau
> Maluku dan Papua dengan sagunya. Namun, kekhasan ini
> mulai memudar terutama sejak beras dijadikan
> komoditas politik, sejak beras dicitrakan sebagai
> satu-satunya makanan terlayak bagi rakyat
> Indonesia., dan sejak bangsa Indonesia dari Sabang
> sampai Merauke telah menjadikan beras sebagai
> konsumsi sehari-hari. 
> Ketika beras menjadi anak emas, citra komoditas
> pangan lokal lain sebagai komoditas kelas dua
> semakin menguat. Sekarang kesan ini semakin
> diperparah oleh kenyataan bahwa masyarakat yang
> sedang mengalami kesulitan ekonomi dan tidak mampu
> membeli beras, dengan alasan harga yang lebih murah
> beralih ke komoditas pangan lain seperti ubi kayu.
> Fenomena demikian menyebabkan banyak orang mengambil
> kesimpulan keliru bahwa karena harga komoditas itu
> lebih murah, kualitas (nutrisi)-nya pun lebih rendah
> dibandingkan dengan beras. 
> Pangan lokal  
> Meski hambatan-hambatan itu nyata, mengembalikan
> ’kejayaan pangan lokal’ tidaklah sulit. Hanya
> diperlukan perhatian dan dukungan semestinya dari
> pemerintah. Sama dengan Pemerintah Jepang, dukungan
> itu dapat diberikan melalui banyak cara, mulai dari
> bantuan teknologi pascapanen, penyediaan bibit
> berkualitas, pengembangan teknologi pengolahan
> pangan, penyediaan infrastruktur gudang, penjaminan
> pasar, sampai promosi. 
> Potensi ketersediaan pangan lokal sangat melimpah.
> Misalnya umbi-umbian. Tidak seperti beras,
> umbi-umbian dapat tumbuh dengan baik di hampir
> seluruh wilayah di Indonesia, bahkan dapat ditanam
> di lantai hutan sebagai tanaman sela. Sebagai
> gambaran jika satu persen lantai hutan Indonesia
> ditanami ubi kayu berpotensi menghasilkan 20 juta
> ton ubi kayu segar atau setara 7 juta ton tepung ubi
> kayu. Biaya investasi untuk mengembangkan lahan
> sehingga siap ditanami umbi-umbian jauh lebih kecil
> dibandingkan dengan investasi pembukaan lahan untuk
> padi. 
> Agar dapat menggantikan beras, pengolahan
> umbi-umbian menjadi tepung adalah pilihan terbaik
> dengan beberapa alasan. Pertama, tepung adalah
> produk yang praktis dari sisi penggunaan. Dalam
> bentuk tepung, produk bisa langsung diproses sebagai
> makanan instan atau sebagai bahan baku produk pangan
> lain. Kedua, teknologi pengolahan tepung sangat
> mudah dikuasai dengan biaya murah. Karena itu, para
> pelaku usaha skala kecil-menengah juga dapat
> terlibat dalam mengembangkan usaha ini. Ketiga,
> tepung mudah difortifikasi dengan nutrisi yang
> diperlukan. Dan keempat, masyarakat telah terbiasa
> mengonsumsi makanan yang berasal dari tepung. 
> Baru-baru ini tim peneliti pangan dari sebuah
> universitas di Jawa Timur berhasil mengembangkan
> tepung ubi kayu dengan karakteristik tertentu yang
> memungkinkannya dapat menggantikan beras dan terigu.
> Tepung tesebut—yang harga pokok produksinya jauh
> lebih murah dibandingkan dengan harga pokok produksi
> terigu—telah digunakan untuk berbagai bahan
> makanan olahan, seperti roti, kue kering, kue basah,
> mi instan, dan mi basah. 
> Bisa dibayangkan, dari satu persen lantai hutan
> saja, kita dapat menghasilkan 7 juta ton tepung ubi
> kayu, suatu jumlah yang dapat menambal kekurangan
> beras secara signifikan sehingga kita tidak lagi
> harus mengimpor. Kita juga dapat mengganti
> penggunaan terigu, bahan pangan yang setiap tahun
> juga kita impor sekitar 4 juta ton. Belum lagi efek
> lain, seperti penciptaan banyak lapangan kerja baru
> di sektor budidaya—sektor ini umumnya padat karya,
> industri pengolahan dan pemasaran. 
> Hanya dengan memberi perhatian cukup ke pengembangan
> pangan lokal, kita dapat menuntaskan masalah impor
> beras.  
> Muslimin Nasution Ketua Majelis Wali Amanat Institut
> Pertanian Bogor 
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been
> removed]
> 
> 


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
http://www.media-islam.or.id

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Great things are happening at Yahoo! Groups.  See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/SktRrD/hOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke