Setelah Keruntuhan Candi Kata

Zen Hae

DUNIA puisi Indonesia modern adalah dunia yang hancur-lebur. Lebih dari 60 
tahun silam Chairil Anwar sudah menyatakan itu dalam sajak-sajaknya. Kehancuran 
dunia dan upaya aku untuk terus bertahan bukan hanya menjadi tema yang 
bersembunyi di balik struktur sintaksis puisi, tetapi muncul lewat frasa-frasa 
yang tegas sekaligus kikuk, padat-gerumpung, dengan bentukan kata yang bergerak 
antara kelisanan yang telah berurat-akar dan keberaksaraan yang terus 
memperkukuh diri. Chairil mengalami modernitas sebagai yang pedih dan mematikan 
tapi juga menyala-nyala, memberi daya hidup hingga seribu tahun lagi.

Sindu Putra adalah salah satu penyair Indonesia mutakhir yang memperpanjang 
gema kehancuran dunia itu. Dalam naungan gema itu, segalanya bisa tidak memberi 
harapan sama sekali, termasuk puisi itu sendiri. Baginya, puisi adalah “candi 
kata“--“Rumahku dari unggun-timbun sajak,“kata Chairil. Sebuah tempat semadi 
yang semula dipercaya bisa menyelamatkan penyair, tapi kemudian terus-menerus 
kehilangan aura mistiknya dan kelak hancur.

Tentu saja candi kata bukanlah temuan yang khas Sindu. Lebih dari delapan abad 
silam, menurut P.J. Zoetmoelder, para penyair Jawa Kuno (sang kawi) menegaskan 
puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan dewa sekaligus wadah tempat ia 
bersemayam. Dalam “yoga literer“ itu, sang penyair berharap keindahan 
syair-syairnya mampu memikat sang dewa supaya turun dan berdiam di dalam candi 
kata sebelum akhirnya ia mencapai kemanunggalan dengan dewa pilihannya itu. 
Pengantar kakawin Bhomantaka menyebut,“Semoga candinya kini didirikan di dalam 
kata-kata syair ini, sehingga merupakan suatu tempat kediaman yang pantas bagi 
dewa asmara yang menampakkan diri.“

Sindu dan para pendahulunya menempatkan candi kata sebagai sebentuk metafora.
Bedanya, Sindu mengupayakan tipografi puisi yang lebih asosiatif. Di mana pun 
dalam puisi dongeng anjing api (Arti Foundation, Juli 2008), pemenang 
Khatulistiwa Literary Award 2009, kita akan menemukan bangun puisi yang 
menyaran kepada wujud separuh candi, yang jika dicerminkan akan menjelma sosok 
candi utuh. Penyair memadukan sedemikian rupa lariklarik panjang dan pendek, di 
samping menjarangkan secara ekstrem spasi antarkata, sehingga menyerupai 
lubang-lubang pada dinding candi.

Lubang-lubang itu seakan-akan mau menegaskan bahwa sebuah tempat semadi tidak 
terputus sepenuhnya dengan dunia ramai, semacam ventilasi yang mengalirkan 
udara dan cahaya matahari. Tapi mereka bisa juga muncul akibat copotnya 
sejumlah besar batu penyusun candi tersebut. Karena itu, unsur-unsur di 
dalamnya bukan lagi “puing-puing yang saling merekatkan diri,“ sebagaimana 
dinyatakan Nirwan Dewanto dalam pengantar Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi 
Festival Seni Surabaya 2007, tetapi yang bersiap menyongsong kehancuran. Sebuah 
nujuman sang penyair menyebut pada akhirnya “candi kata itu pun 
runtuh.“Lantas,“puisi terakhir yang aku tulis di tubuhku, punah“(puisi “Akhir 
dari Puisi“).

Puisi sebagai candi telah runtuh, selaku rajah pun sirna. Maka tampillah zaman 
tanpa puisi. Zaman tanpa keindahan. Ketika manusia, dengan “tangan meleleh“, 
“tanpa aksara“, “kehilangan warna dan rambut merah“, terpenjara di dalam “rumah 
kaca“. Sedang di luarnya hanyalah dunia yang penuh luka dan kematian.Tapi dua 
makhluk yang melambangkan kebebasan dan keindahan penyair dan puisinya masih 
mencoba bertahan hidup:“kupu-kupu mendaur ulang sayapnya / di sela waktu yang 
tersobek / burung-burung mengeramkan paruhnya hingga tanpa abu“. Dalam hantaman 
samsara ini yang bisa dilakukan aku kemudian adalah semadi untuk menemukan 
kembali kaitan dirinya dengan alam ilahiah. Maka, di bait akhir puisi itu Sindu 
menulis: 

Tubuhku inilah tanah sebuah hutan terbuka ke mana pohon merapuh, burung dan 
kupu-kupu dituakan“ aku ciumkan tanah, menghormati padi menghormati segala yang 
ditanam dengan siraman air mata tubuhku pun payau, merindukan bakau puisi, 
berakhir juga ke tubuhku 

Tamatnya puisi adalah tema penting, jika bukan terpenting, dalam Dongeng Anjing 
Api.
Puisi lainnya,“Dalam Tubuh Artupudnis“, menyatakan sirnanya puisi berlangsung 
di dalam keseluruhan tubuh “artupudnis“ (anagram dari Sindu Putra). Bedanya, 
sirnanya puisi di sini tidak didahului oleh bencana. Bukan manusia, melainkan 
tuhan (dengan “t“) yang mendapati fakta itu. Apakah itu berarti penyair 
artupudnis sudah mati, sehingga puisi di tubuhnya lenyap begitu ajalnya tiba? 
Sehingga yang hadir di hadapan tuhan adalah bukan lagi penyair, tetapi “mantan 
penyair“?

Teka-teki ini bisa dipecahkan dengan menelusuri berubahnya proyeksi ujaran 
puisi. Jika pada dua bait pertama “aku lirik tersembunyi“ menempatkan 
artupudnis sebagai alter ego dalam posisi orang ketiga yang tampaknya sudah 
mati, baik harfiah maupun metaforis. Di bait-bait berikutnya aku menempatkan 
alter ego-nya itu dalam posisi orang kedua dan disebutnya “kau“: “Kau masuk ke 
dalam mimpi mereka“.

Lantas siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memburu terang yang lain 
setelah kematian penyair. Yang berpesta di bawah patung pahlawan di tengah 
keramaian kota. Sebuah pesta yang karena permainan oksimoron dan pengulangan 
subjek menjadi tak bermakna dan mengasingkan: “mereka berpesta cahaya lampu 
yang gelap / mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna“. Kau kemudian bukan hanya 
hadir dalam mimpi tapi dalam kehidupan nyata, seperti Yesus yang menampakkan 
diri di depan muridnya, yang membuat mereka “melolong / memandangimu yang tegak 
di antara mereka / bagai patung pahlawan, bagai patung garam“.

Kini yang terasing bukan hanya mereka, tetapi juga kau yang tidak bisa memahami 
perilaku mereka, karena “mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenal / yang 
belum dicipta para mantan penyair“.Tapi di mata tuhan, semua ini keheningan 
belaka; sebuah kondisi yang mendorongnya menunjukkan kuasa,“dan keheningan ini 
tuhan / mewarnai juga mimpi mereka“. Sebuah keheningan mahapanjang yang 
menandai tamatnya puisi: “dalam tubuh artupudnis / tuhan tak lagi menemui puisi 
/ sepanjang sejuta tahun keheningan ini“.

Jika tamatnya puisi membuat penyair tidak lagi punya peran dominan, kematian 
penyair berlangsung bersamaan dengan kelahiran puisi. Ia adalah pemakzulan 
terhadap hasrat yang mendewa-dewakan penyair sebagai oknum yang lebih penting 
daripada puisi itu sendiri, setelah sebelumnya otoritas kepenyairan itu 
disangsikan. Dalam puisi “Penyair dalam Diriku“ sang penyair dinyatakan 
“mati“dan puisi menjadi “epitaf nisan, tempat namaku / dilupakan, nama 
penyairku“. Sementara puisi “Batuan“merumuskan pemakzulan itu dengan pembalikan 
logika Cartesian: “karena aku menulis puisi / maka aku tak ada“.

Penyair tidak sepenuhnya sirna, sebenarnya. Ia mengepompong. Momen yang dalam 
puisi lainnya dimanfaatkan untuk “memahami gurat bunga“(puisi “Hutan Bakau“). 
Lanjutan puisi “Batuan“menegaskan bahwa sebagai patung indigo si penyair akan 
menjadi penjaga rumah kupu-kupu: 

...

dan nun di batu-batu Batuan sebuah rumah kupu-kupu berdiri setipis bayangan, 
dikelilingi pohon-pohon yang dikerdilkan yang bersikeras memanjang berbunga 
dalam redup, lebih rendah dari perdu sarang serangga malam, dengan sengat 
beracun dengan mata awan yang tumbuh rumah kupu-kupu itu kini, milikmu. tinggi.

sementara dengan sayap-sayap berlumpur aku berkepompong dari luarnya 


Kutipan ini menonjolkan setidaknya dua hal. Pertama, surutnya dominasi aku 
lirik atas ujaran puisi. Di sini ia semata-mata narator dan bukan tokoh utama. 
Ia dikendalikan, bukan mengendalikan. Ia hanya kepompong, belum lagi kupu-kupu. 
Yang dominan di sini adalah suasana liris alam yang bergerak sedemikian rupa; 
yang tak terjangkau lagi oleh kekuasaan aku. Kosongnya peran aku lirik, dalam 
contohnya yang terbaik, bisa kita temukan dalam sejumlah “puisi 
suasana“Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Kedua, pemalihan. Kepompong adalah fase yang menghubungkan “aku-yang-sudah“ 
(manusia-ulat) dengan “aku-yang-akan“(manusia-kupu-kupu). Dengan kata 
lain,“aku“akan mengalami pemalihan (metamorfosis). Bukan lagi manusia, tetapi 
segala yang bukan-manusia: hewan dan tumbuhan. Bukan hanya kupu-kupu, tapi juga 
burung, ulat, serangga, ikan, kodok hijau, batang pisang, dan seterusnya. Dalam 
Hinduisme, konsep yang berkerabat dengan fenomena ini adalah reinkarnasi. 
Yakni, seperti kata Robert Zaehner, “Kondisi di mana jiwa individu dilahirkan 
kembali merupakan akibat perbuatan-perbuatan buruk atau baik yang dilakukan 
dalam kehidupan sebelumnya.“

Bagaimana hubungan pemalihan ini dengan dengan reinkarnasi dalam Hinduisme, 
bisa menjadi telaah tersendiri.Yang bisa dicatat, pada Sindu pemalihan lebih 
menyerupai sebentuk adaptasi dalam hidup yang dirundung kehancuran, dengan 
imbuhan surealisme di sanasini, daripada “hukuman“ bagi jiwa yang buta terhadap 
jalan iman dan kitab Veda. Di awal puisi “Tentang Sebatang Pohon“, misalnya, 
aku lirik yang memasuki hutan kota dan menggenggam pohon tiba-tiba menjelma 
jadi sebatang pohon, yang di lidahnya mekar sekuntum anggrek hitam. Tapi itu 
belum cukup. Di akhir, ia benar-benar menjadi sekuntum bunga, setelah tergoda 
oleh permainan elipsis: “aku merasa (jadi) sebidang kupu-kupu“: ...

aku berulang-ulang mengeja membungkuk searah matahari merebahkan tubuh 
mengikuti sumbu bumi aku merasa sebidang kupu-kupu di antara warna-warna 
membakar seseorang memintaku memasuki kepompong waktu aku jadi setangkai 
kembang manikung yang tertanam dalam api Apakah sebatang pohon yang menjadi 
setangkai bunga sama dengan Gregor Samsa yang menjadi seekor serangga raksasa 
atau ulat yang menjadi kupu-kupu? Pemalihan ini baru tampak masuk akal jika 
permainan elipsis itu ditafsir begini: “aku merasa (kehadiran) sebidang 
kupu-kupu“. Kelak kupu-kupu yang berkomplot dengan api itulah yang mengisap 
saripati kembang manikung. Lantas ia akan layu, mati, hangus. Bukan hanya oleh 
kupu-kupu, tapi juga oleh api. Inilah fenomena yang diharapkan bisa sejajar 
dengan kematian penyair dan keruntuhan candi kata: wujud-wujud mutakhir dunia 
yang hancur-lebur itu.

Koran Tempo 21 Maret 2010

Zen Hae telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan 
kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007). Tulisan di atas adalah 
bagian pertama. Yang kedua akan termuat minggu depan. 

Kirimkan naskah Anda ke ktmin...@tempo.co.id. 



      Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih 
cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. 
Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke