Jumat, 01 Januari 2010

Setelah Membaca Gurita Cikeas 



oleh Asep Sambodja

Sebelum membaca buku ini, saya merasa penasaran: kenapa buku ini lenyap dari 
peredaran meskipun tidak dilarang? Setelah saya membaca buku ini, saya tambah 
penasaran: benarkah?

Buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro (2009) memang 
sangat mengejutkan. Isinya tidak saja mengejutkan Presiden Soesilo Bambang 
Yudhoyono (SBY), melainkan juga keluarga, konstituen Partai Demokrat, dan 
pengurus yayasan yang disebut-sebut dalam buku tersebut.

Buku Gurita Cikeas ini tidak secara langsung menyebut adanya aliran dana Bank 
Century ke Presiden SBY, melainkan ada dugaan sebagian dana dari total Rp 6,7 
triliun itu lari ke “pihak ketiga”. George menganggap wajar kalau ada dugaan 
masyarakat yang menduga dana Bank Century itu mengalir ke penyumbang dana 
kampanye Partai Demokrat saat Pemilu 2009 lalu.

Yang cukup mengagetkan pembaca adalah banyaknya nama pejabat negara, keluarga 
SBY, dan pengusaha, dan istri-istri pejabat yang terlibat dalam apa yang 
disebut George sebagai oligarki, yakni pemerintahan yang dijalankan oleh 
beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, yang dalam 
buku ini dikiaskan dengan gurita. Nama-nama yang disebut itu di antaranya Ani 
Yudhoyono, Hartanto Edhie Wibowo, Edhie Baskoro Yudhoyono, Hatta Rajasa, Boedi 
Sampoerna, Hartati Murdaya, dan masih banyak lagi.

Yang lebih mengejutkan adalah munculnya nama Arthalyta Suryani yang disapa 
Ayin—yang terlibat dalam kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan hingga 
diganjar 20 tahun penjara—yang dikatakan George dekat dengan Ani Yudhoyono 
karena kedudukan Arthalyta Suryani sebagai bendahara Yayasan Mutu Manikam 
Nusantara. Ada pula nama Sjamsul Nursalim (pemilik perusahaan Gajah 
Tunggal—yang memiliki Grand Indonesia Shopping Town) dan Djoko S. Tjandra, yang 
masuk dalam daftar pengusaha bermasalah. Dikatakan bermasalah, karena menurut 
George, Sjamsul Nursalim yang menjadi buron dalam kasus BLBI, yang masih 
merugikan uang rakyat sebesar Rp 4,2 triliun itu belum kelar..

Apa yang ditulis George dalam buku ini sangat gamblang, jelas, cetho welo-welo. 
Termasuk soal pelanggaran terhadap UU Pemilu yang dilakukan caleg-caleg dari 
Partai Demokrat dan soal aliran dana ke harian Jurnal Nasional.

Saya menduga, yang menjadi keberatan dari pihak SBY dan pendukung Partai 
Demokrat adalah tidak adanya second opinion dalam buku tersebut. Dalam 
jurnalistik kita mengenal adanya konsep cover both side, yakni adanya 
keseimbangan dalam mencari sumber data dan sumber berita. Meskipun demikian, 
kalau kita baca secara teliti, data-data atau sumber yang digunakan George 
Junus Aditjondro adalah media massa cetak dan online. Dengan kata lain, 
kemungkinan George sangat percaya bahwa data yang dikutipnya dari media massa 
itu adalah data yang valid karena telah melalui proses standar penulisan 
jurnalistik, sudah cover both side. Saya menduga juga, jangan-jangan George 
tidak mendapatkan informasi atau data yang diharapkan dari pihak Cikeas ketika 
ia ingin mengkonfirmasi data yang ia peroleh.

Agar masalah ini tidak menjadi fitnah, karena fitnah itu lebih kejam dari 
pembunuhan, maka sebaiknya pihak SBY mengklarifikasi apa yang telah diungkap 
George Junus Aditjondro itu. Saya masih ingat bahwa Presiden SBY akan berada 
pada barisan paling depan dalam berjihad melawan korupsi (dan koruptor, 
tentunya). Ini adalah kesempatan emas bagi SBY untuk membuktikan ucapannya itu.

Penilaian saya pribadi terhadap buku Gurita Cikeas hingga saat ini data-data 
dalam buku tersebut masih saya anggap sebagai data saja. Dalam arti, data 
tersebut belum dibuktikan kebenarannya. Alasannya, karena dalam buku itu belum 
ada konfirmasi dari pihak terkait, yakni pihak yang katakanlah disudutkan. 
Transparansi inilah yang sangat ditunggu-tunggu rakyat agar tidak ada fitnah di 
antara kita..

Satu hal yang pasti, Presiden SBY akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk 
memberantas mafia hukum. Di mata masyarakat awam, kasus Sjamsul 
Nursalim-Arthalyta ‘Ayin’ Suryani-Urip Tri Gunawan (yang saat ini mendekam di 
penjara karena terbukti menerima suap dari Ayin) adalah salah satu contoh 
adanya mafia hukum dalam kasus itu. Buku Goerge Junus Aditjondro itu bisa 
menjadi rujukan, siapa mafioso yang harus diberantas terlebih dulu.

George memberi contoh Presiden Korea Selatan Kim Young San yang berani 
mengadili mantan Presiden Korsel sebelumnya, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo 
terkait kasus korupsi. Kim Young San juga mempersilakan anaknya, Kim Hyon Chul, 
untuk diadili atas dugaan korupsi.
Keraguan George Junus Aditjondro mengenai kenaikan signifikan suara Partai 
Demokrat dalam Pemilu 2004 dan 2009, yakni dari 7% hingga 20%, menurut saya itu 
wajar. Ini pernah terjadi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten pada 
1925. Jumlah anggota PKI di Banten bisa meningkat tajam hanya dalam hitungan 
bulan hingga mencengangkan kolonial Belanda. Dari penjelasan Michael C. 
Williams (2003), karena PKI berhasil merebut hati rakyat (khususnya petani), 
yang menjanjikan kepada mereka kalau kolonial bisa ditumpas, maka pajak yang 
memberatkan rakyat akan dihapus. Selain itu, PKI juga berhasil merangkul ulama 
dan jawara (bandit lokal) Banten yang antiimperialisme. Jadi, kalau suara 
Partai Demokrat tiba-tiba melambung tinggi dengan politik pencitraan di 
televisi, menurut saya wajar saja. Tapi, kalau George menanyakan darimana duit 
untuk politik pencitraan itu, biarlah para think tank PD yang menjawab..

Citayam, 31 Desember 2009



Diposkan oleh Rumah Asep Sambodja



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke