http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/sosok-perempuan-tak-dibatasi-zaman/

Selasa, 02 Maret 2010 13:44 
Yo Paramita Abdurachman

Sosok Perempuan Tak Dibatasi Zaman


Jakarta - "Tak akan pernah ada yang tahu jawabannya apa, selama mereka yang 
benar-benar tahu. 

     
Perempuan itu sendiri hampir tak pernah angkat suara dan yang mau pun segera 
dibungkam." Itulah yang dikatakan John Stuart Mill dalam bukunya yang 
diterbitkan University of Chicago Press pada 1970, On the Subjection of Women. 
Untungnya hal itu tidak berlaku pada Yo Paramita Abdurachman, ­mantan 
Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia (PMI) yang menjabat pada 1954-1964. 
Yo, panggilan akrabnya, dianggap perempuan yang melampaui zamannya. Ia adalah 
perempuan yang sarat dengan pemikiran yang modern, yang tidak ragu-ragu untuk 
­­meng­ungkapkannya pada masyarakat, pada dunia.


Demikian dikatakan wartawan ­senior Aristides Katoppo ketika menjadi moderator 
dalam diskusi dan pelun­curan buku Yo Paramita Abdurachman, Perempuan Melampaui 
Zaman, In Search of Living Tradition and Art, di Widya Graha LIPI Jakarta, 
Senin (1/3). Hadir sebagai pembicara adalah mantan Ketua LIPI Prof Dr Taufik 
Abdullah dan peneliti LIPI spesialis TNI, Jaleswari Pramodhawardani, M.Hum.


Buku itu merupakan buku kedua yang diterbitkan oleh LIPI mengenai sosok Yo 
Paramita Abdurachman. Sebe­lum­nya, pada Maret 2008, LIPI menerbitkan buku 
Bunga Angin Portugsi di Nusantara. Buku kedua ini merangkum testimoni 
orang-orang terdekat Yo tentang kepribadiannya dan menampilkan tujuh tulisan 
karya Yo.
Yo lahir di Bogor pada 29 Februari 1920. Meski tidak memiliki gelar, Yo ­pernah 
kuliah di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri. Jiwa 
sosialnya sangat tinggi. Dia turut serta dalam pembentukan PMI dan memelopori 
berdirinya Palang Merah Remaja pada 1950. 


Yo bergabung dengan LIPI sejak lembaga itu berdiri pada 1967. Saat itu, Yo 
seringnya meneliti sejarah, khususnya hubungan Portugal dengan Indonesia. Ia 
meninggal pada 23 Maret 1988.


Kebebasan Yo dalam berpikir, yang dianggap melampaui zaman, tercermin dari 
karya-karyanya yang juga ditam­pilkan dalam buku itu. Tulisan-tulisannya 
menunjukkan bahwa sebagai perempuan, ia tidak terkekang oleh batas-batas budaya 
yang kaku, bahkan mampu ­menembus dimensi ruang dan waktu.


"Tujuh tulisan itu berbicara tentang penelitiannya. Bagi saya, Yo adalah 
­seorang spesialis yang generalis. Tulisan-tulisan Yo lebih ramping daripada 
pemikirannya yang begitu luas," kata Jaleswari.Taufik mengenang Yo sebagai 
sejarawan yang romantis. Menurutnya, Yo lebih tertarik untuk berkisah tentang 
pergumulan manusia dengan nasibnya. Selain itu, menurut Taufik, Yo merupakan 
tokoh feminis jika dilihat dari tindakan-tindakan semasa hidupnya.


"Dengan membaca tulisannya tanpa tahu siapa yang menulis, akan terasa sekali 
bahwa tulisannya adalah karya perempuan. Ia bisa menguraikan warna dan bentuk 
dengan kehalusan perasaan tanpa ada percikan kebosanan berkisah dan berberita. 
Feminisme pada Yo tidak terpantul pada ucapan, tetapi pada perbuatan dan cara 
wacana yang dipakai," ujar Taufik.
Dalam kata pengantar buku itu, sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam menyebut Yo 
sebagai duta budaya dan kemanusiaan. Yo menjadi perempuan yang melampaui zaman 
melalui tulisan-tulisannya, penelitian dan kegiatannya pada seminar 
internasional, kiprahnya di bidang sosial dan budaya, kepeduliannya pada 
warisan budaya leluhur, interaksi yang sangat dinamis dengan peneliti asing, 
serta pengabdiannya yang lama pada organisasi palang merah. (mg-2)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke