TULISAN DI KOMPAS TENTANG
BUKU “PERJALANAN HIDUP SAYA”



Untuk kedua kalinya, harian Kompas muat tulisan tentang terbitnya buku
otobiografi  wartawan senior A. Umar Said, yang berjudul “Perjalanan Hidup
Saya”. Yang pertama kali pada tanggal 19 Februari 2005, dan yang kedua kali
pada tanggal 23 April 2005. Tulisan yang kedua kali ini merupakan hasil
pengamatan seorang peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
Jakarta, Ignatius Haryanto, yang tengah mempersiapkan Bibliografi Pers
Indonesia.


Bagi mereka yang kebetulan tidak sempat membacanya di harian Kompas, berikut
di bawah ini disajikan teks tulisan itu selengkapnya. Tulisan ini (yang
berjudul Episode Penting yang Luput Ditulis) juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak )






Episode Penting yang Luput Ditulis


SATU demi satu para pelaku sejarah Indonesia menuliskan catatannya. Mereka
menuturkan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka alami pada suatu masa
yang masih berkabut. Apakah catatan ini menyumbang pada suatu penulisan
sejarah bangsa, biarlah para ahli sejarah yang akan menimbangnya.





UMAR Said, penulis buku ini, adalah orang yang cukup penting pada masanya.
Ia menjadi wartawan mulai dekade 1950-an dengan bekerja di Jakarta pada
harian Indonesia Raya, lalu di Harian Rakyat (1953-1956), kemudian memimpin
koran Harian Penerangan di kota Padang, kembali lagi ke Jakarta untuk
memimpin Koran Ekonomi Nasional. Masuk ke dekade 1960-an, Umar Said masuk
dalam lingkup pergaulan yang lebih luas, dunia internasional. Tahun 1962 ia
menjadi anggota delegasi Indonesia ke kongres International Organisation of
Journalists (IOJ), di Budapest, Hongaria. Dari pertemuan ini lalu digagas
Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA) di Indonesia.



Pembaca mungkin masih ingat dengan perhelatan di kota Bandung yang
bersejarah itu, Konferensi Asia-Afrika, yang mencoba mengambil posisi di
tengah, di antara perang ideologi Barat dan Timur pada masa perang dingin
tersebut. Konferensi wartawan tersebut masih terkait dengan upaya membangun
solidaritas para wartawan dan negara-negara nonblok tersebut. Umar Said
menjadi bendahara untuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika tersebut, sementara
Djawoto, pemimpin redaksi Kantor Berita Antara kala itu, menjabat jadi
sekretaris jenderalnya. Di dalam negeri Umar Said juga pernah menjabat
sebagal bendahara PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, mendampingi
ketuanya, Karim DP dari koran Warta Bhakti.



Ketika pecah peristiwa G30S di Jakarta akhir September 1965, Umar Said yang
sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk tugas dari IOJ, memutuskan
untuk tidak kembali ke Tanah Air. Dari situ ia berpindah-pindah, mulai dari
kota Paris, ke Peking, Kuba, dan akhirnya pada tahun 1974, ia meminta suaka
politik ke Perancis. Lembar baru ditorehkan dan perjuangan hidup seorang
manusia pun terus berlanjut dalam situasi sebagal seorang eksil.



MEREKA yang tertarik dengan sejarah pers di Indonesia, mungkin akan
bertanya-tanya, mengapa orang sepenting Umar Said tak menulis sepatah kata
pun tentang pergelutan yang terjadi antara kelompok wartawan dan media kiri
kala itu dengan kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Penstiwa ini
mirip dengan pertentangan ideologis (?) di kalangan sastrawan yang terbelah
menjadi kubu Manifest Kebudayaan dengan kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat.



Seorang yang demikian penting dalam posisi di PWI, yang sening disebut masuk
dalam periode “kiri” dalam kelembagaannya, tak menulis sepotong ingatan pun
tentang peristiwa di mana kelompok BPS telah banyak menulis buku-buku. Dalam
deretan buku yang telah lebih dulu ada, bisa melihat pada karya Tribuana
Said dan DS Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI
(1983); lalu karya Sumono Mustofa dan Mohammad Chudori, Penyusupan PKI ke
dalam Media Massa Indonesia 1948-1965 (1997); dan juga polemik antara Harian
Merdeka dan Harian Rakyat yang dulu pernah diterbitkan (1965).



Sayang karena justru orang sepenting Umar Said tak mau menyinggung soal itu.
Apakah ini soal memori yang terseleksi sehingga menyingkirkan
peristiwa-peristiwa yang dianggap akan tidak menyenangkan jika terus
diingat, apalagi kalau kemudian akhirnya ia masuk dalam “kelompok yang
 kalah”. Untuk penyampaian fakta yang lebih terbuka (saya tak mau
menggunakan kata “pelurusan sejarah”) pastilah penting bagi mereka yang
memperhatikan sejarah pers di Indonesia. Episode sejarah tersebut harus
ditulis dengan lebih jernih dengan menimbang fakta dan paparan dari kedua
belah pihak. Tapi sayang Umar Said lalu lebih senang bercerita kisah
pelariannya, kisah di pengasingan, mendirikan majalah bahasa Perancis yang
menulis soal peluang bisnis di China.



Sebenarnya episode ini sendiri rasanya belum pernah ditulis sebagai kajian
oleh sarjana pemerhati sejarah pers Indonesia. Masa tersebut adalah masa
yang penuh dengan konflik ideologis, sembari disulut juga dengan
pertentangan ego dan para kelompok wartawan kala itu. Menarik karena pada
masa itu, polemik antara satu dua surat kabar dengan surat kabar lainnya
terjadi dengan marak. Misalnya antara Harian Nusantara melawan kantor berita
Antara dan Pantjawarta (lalu dibukukan pada tahun 1960), atau antara Harian
Merdeka dengan Harian Rakyat (lalu diterbitkan tahun 1965). Polemik antara
Harian Merdeka dan Harian Rakyat, misalnya, berjalan antara 2 Juni hingga 9
Jull 1964. Demikianlah setiap hari terjadi sahut-menyahut—dimulai oleh
Harian Merdeka yang menyokong gagasan politik satu partai kala itu—antara
dua koran itu dalam tak kurang dari 57 tajuk rencana, serta belasan
karikatur di masing-masing koran. Akhirnya polemik ini dihentikan oleh pihak
Kejaksaan Agung yang mengaku prihatin polemik akan memecah belah anggota
masyarakat.



Tentang Harian Rakyat sendiri, tempat di mana Umar Said pernah bekerja,
banyak pembaca di Indonesia tak pernah melihat langsung isi koran tersebut,
sementara kumpulan tulisan Taufik Ismail dan DS Moeljanto, Prahara
Kebudayaan, hanya mengutip isi Harian Rakyat yang dianggap “nista”. Padahal
ada seorang sarjana asal Australia yang pernah menulls topik Harian Rakyat
sebagai tesis masternya di Australian National University (1983), Harian
Rakjat, Daily Newspaper of the Communist Party of Indonesia: Its History and
Role. Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Njoto pernah
mengumpulkan pidato-pidatonya dalam tiap ulang tahun Harian Rakyat dalam
buku kecil berjudul Pers dan Massa (1958).



Sebaliknya, apa yang terjadi dengan mereka yang menjadi penggagas BPS,
seperti Adam Malik. Agak aneh juga, Adam Malik sendiri dalam tiga jilid
autobiografinya, entah lupa, entah tak ingin, menulis bagian soal BPS ini.
Tetapi dalam dokumen CIA (Central Intelligence of America) tentang Indonesia
pada dekade 1960-an, yang beberapa tahun lalu dibuka, baru ketahuan bahwa
Adam Malik adalah salah seorang yang pernah menerima bantuan uang dari
Kedutaan Amerika kala itu. Entah untuk apa, tapi ini menarik untuk dikaji
lebih jauh dalam kaitan ini semua.



Tentu saja, adalah hak penuh seorang penulis untuk menyeleksi mana yang ia
mau tulis dan mana yang tidak mau ditulisnya. Sayangnya bahan pustaka yang
tersedia, misalnya karya yang ditulis Togi Simanjuntak dan kawan-kawan
(Wartawan Terpasung: Intervensi Negara di Tubuh PWI, ISAI, 1998) kurang
dalam menggali episode penting dalam sejarah pers di Indonesia ini. - -



Di luar masalah itu, buku ini menarik untuk dibaca dan memberikan para
pembaca gambaran tentang dunia kewartawanan empat-lima dekade lalu. Menarik
pula bahwa penulisnya selalu berusaha menyertakan berbagai ornamen yang ia
miliki dalam buku ini, mulai dan foto paspor miliknya, visa perjalanan ke
berbagai negara, surat nikah, edisi terakhir Koran Ekonomi Nasional, dan
lain-lain.



Namun, ada sedikit kekeliruan yang Umar Said tulis daiam buku ini. Pada
halaman 71 tertulis “Semasa saya bekerja di Indonesia Raja, di Tanah Air
terjadi berbagai peristiwa yang penting... maka Kerajaan Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.”
Seingat saya, koran pimpinan Mochtar Lubis itu tak pernah ditulis dengan
menggunakan cara penulisan “Indonesia Raja”, tetapi selalu ~‘Indonesia Raya”
~ Dan. Indonesia Raya sendiri baru terbit justru setelah pengakuan
kedaulatan Belanda tersebut, tepatnya tanggal 29 Desember 1949. Jadi, mana
mungkin Umar bekerja di surat kabar yang kala itu belum lagi terbit.



Bagaimanapun juga buku tulisan pendiri restoran Indonesia di Paris, serta
pendiri kelompok Komite Tapol, yang juga telah berganti nama menjadi Andre
Aumars, menarik untuk disimak, gaya bahasanya bertutur dengan lancar,
terutama dalam masa ketika ia harus survive di luar negeri dengan status
sebagai eksil, dan keluarga sempat terpencar lama dan jauh.





IGNATIUS HARYANTO,

Peneliti di Lembaga

Studi Pens dan Pembangunan (LSPP) Jakarta,

tengah mempersiapkan buku Bibliografi Pers Indonesia.



 -------------------



Keterangan : Untuk informasi tambahan mengenai terbitnya buku tersebut di
atas  bisa berhubungan langsung dengan penerbitnya, yaitu Penerbit "Suara
Bebas", yang beralamat di jalan Gelong Baru Utara II D/11 Tomang, Jakarta
11440. Telepon 021 7090 9223 atau 0812 9659 511. E-mail : [EMAIL PROTECTED]
atau  [EMAIL PROTECTED] .



Bagi yang berminat untuk mendapatkan buku tersebut, dapat berhubungan dengan
toko buku Gramedia. Tebal buku 300 halaman dan harganya Rp 30.400  Isi buku
tersebut dapat juga disimak melalui website
http://perso.club-internet.fr/kontak/, dengan meng-klik rubrik “Perjalanan
Hidup Saya “ yang terdapat dalam halaman utamanya (home page).






[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke