Refleksi : Dimana saja di kepulaun Nusantara, otus-otus ini tidak terbukti membawa keuntungan bagi rakyat yang daerahnya diotuskan, selain bagi raja-raja kecil yang diciptakan oleh penguasa kleptokratik di pusat kekuasaan. Raja-raja kecil ini mempunyai fungsi utama seperti pada kerajaan feodal di zaman bahula, yaitu menjilat ke atas dan menginjak-injak ke bawah agar upeti berjalan lancar ke tangan penguasa pusat kekuasaan. Yang di jilat ialah penguasa yang berkedudukan lebih tinggi bersamaan dengan itu yang dinjak-injak ialah rakyat.
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/uu-otsus-papua-dikembalikan-lagi/ Sabtu, 19 Juni 2010 12:21 UU Otsus Papua Dikembalikan (Lagi) HARI Jumat (18/6) kemarin, Majelis Rakyat Papua dengan disertai ribuan anggota masyarakat "melanjutkan" hasil Musyawarah MRP dan Masyarakat Asli Papua. Mereka menyerahkan hasil musyawarah mereka kepada DPRP, Pemerintah Provinsi Papua, dengan harapan "diteruskan" ke Pemerintah Pusat. Ini mengulang kejadian yang sama lima tahun lalu. Sebelumnya, telah berlangsung Musyawarah Masyarakat Asli Papua yang "difasilitasi" oleh MRP, 9-10 Juni 2010. Keputusan Musyawarah itu terdiri dari 11 butir rekomendasi dan merupakan hasil evaluasi masyarakat asli Papua selama sembilan tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Adapun benang merah rekomendasi itu adalah: kembalikan UU Otsus Papua ke Pemerintah Pusat, dialog, dan referendum melibatkan masyarakat internasional, bebas dari Republik Indonesia, hentikan seluruh proses pemilihan kepala daerah di Papua dan Papua Barat, hentikan program transmigrasi ke Tanah Papua, pembebasan para tahanan politik Papua, dan demiliterisasi di Papua. Tentu saja kalau melihat rekomendasi itu, ini lebih jelas sebagai tuntutan pemisahan diri dari Republik Indonesia, karena orang asli Papua menyimpulkan pelaksanaan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah gagal. Kegagalan itu dilihat dari tidak terjadinya peningkatan kemajuan pada kesejahteraan dan keadilan pada orang asli Papua. Otsus dinilai makin mengabaikan eksistensi dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua. Selama pemberlakuan UU Otsus telah terjadi ketimpangan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang, 30 persennya adalah penduduk asli, sementara masyarakat pendatang berjumlah 70 persen. Berbagai program pemerintah juga justru lebih banyak menyentuh kepentingan penduduk pendatang. Tentu saja kita bisa paham atas "kemarahan" itu, karena yang mereka kemukakan memang realitas yang sangat menyedihkan. Untuk itu, kita harus menyamakan perspektif terhadap makna pengembalian UU Otsus tersebut. Artinya, apakah kita akan memandangnya sebagai sebuah gerakan makar menentang pemerintah, atau memandangnya sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya atas tidak berjalannya UU Otsus Papua tersebut? Akan tetapi, secara kritis kita harus menerima bila ada tuduhan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah kerap "berkhianat" pada rakyat Papua. Misalnya, soal pemekaran yang menjadi instrumen tarik ulur, karena buat Jakarta hal itu dimanfaatkan sebagai alat untuk memecah entitas yang pro merdeka. Sementara itu, buat elite lokal di Papua, pemekaran adalah peluang untuk memperoleh posisi dan kekuasaan, yang berarti juga anggaran. Untuk itu, langkah yang harus diambil adalah bagaimana mengembalikan semangat pemberian otonomi khusus Papua, yakni untuk meredam kehendak sebagian besar masyarakat di sana untuk merdeka. Mereka begitu karena ketidakadilan yang dialami selama menjadi bagian dari Republik Indonesia. Selanjtnya, pelaksanaan Otonomi Khusus Papua mengandung banyak kelemahan. Dari sisi anggaran sejak Otsus diterapkan dan mengeluarkan dana triliunan rupiah, ternyata sebagian besar masyarakat di sana tidak menikmati buah otonomi tersebut. Pembangunan hanya membuat mereka yang punya kekuasaan bertambah kaya. Penikmat dana otonomi khusus adalah para birokrat, atau yang terkait. Jadi, pengembalian secara simbolis UU No 21/2001 yang untuk kesekian kali ini akan makin mengkristalkan sebuah proses politik untuk memerdekakan Papua dari Republik Indonesia. Pada 2005 lalu, Departemen Dalam Negeri menanggapinya dengan mengatakan tidak ada istilah "dikembalikan" dalam terminologi hukum dan politik, yang ada adalah "dicabut" atau "disempurnakan." Namun, bentuk penyempurnaan itu setelah lima tahun (sejak 2005) tidak ada hasilnya. Yang jelas, jumlah pejabat di Papua yang ditahan KPK dan kejaksaan bertambah. Pembangunan hanya sedikit yang berjalan, karena diperkirakan situasinya tetap sama, yakni lebih 60 persen dana otsus Papua itu kembali ke bank-bank besar di Jakarta dalam bentuk deposito dan tabungan, selain yang dikorupsi para birokrat dan elite lokal. Jadi, aksi kemarin itu adalah peringatan yang lain akan kerawanan bila tidak ada keseriusan membangun Papua. Jakarta harus mengubah paradigma dan pendekatan terhadap Papua. Kita berharap, jangan tutup pintu dialog, seraplah aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, tetap jangan mengedepankan pendekatan keamanan. Bagaimanapun, masyarakat internasional terus mengamati dengan cermat setiap perkembangan politik di sana, karena proses politik integrasi Irian Barat ke Indonesia memang khas. Hindari mengulang kebodohan masa lalu. n [Non-text portions of this message have been removed]