fw fyi--- 
--- 



Tiga Tahun Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia  

SETARA Institute, Jakarta, Januari 2010 

 
RINGKASAN EKSEKUTIF  




Laporan Pemantauan SETARA Institute
selama 3 tahun berturut-turut merekam bahwa pelanggaran kebebasan beragama/
berkeyakinan yang terjadi di Indonesia bermula dari jaminan setengah hati
atas hak untuk bebas beragama/ berkeyakinan. Politik pembatasan hak asasi
manusia yang diadopsi oleh UUD Negara RI 1945 (Pasal 28 J ayat 2) telah membuat
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan jaminan hak-hak konstitusional
warga negara lainnya terabaikan dan tidak serius ditegakkan.   Sambil terus 
menerus mengupayakan perubahan
Konstitusi RI yang lebih tegas menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan,
implementasi jaminan konstitusional dan konsekuensi ratifikasi instrumen hukum
HAM internasional, SETARA Institute berupaya menyajikan data fakta-fakta 
pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeya-kinan setiap tahunnya. Laporan ini adalah laporan
ketiga yang dipublikasikan oleh SETARA Institute.  

Di tingkat praksis, penyediaan database
nasional mutakhir yang bisa menjadi rujukan tentang situasi kehidupan beragama/
berkeyakinan di Indonesia, sebagai landasan menyusun peraturan
perundang-undangan dan kebijakan telah mendorong SETARA Institute melakukan
pemantauan reguler semacam ini. Kondisi demografi agama dan sosiologi
masyarakat Indonesia mutakhir yang menggambarkan kecenderungan mencemaskan bagi
kokohnya keberagaman Indonesia, yang berpotensi terjadinya pengabaian jaminan
kebebasan, upaya monitoring dan advokasi untuk memastikan jaminan kebebasan itu
terpenuhi menjadi amat relevan dan sebuah kebutuhan kolektif bangsa. 

Pemantauan
dan publikasi laporan tahunan bertujuan untuk
[1] mendokumentasikan dan
mempublikasikan fakta-fakta pelanggaran dan terobosan/ kemajuan jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia; [2] mendorong negara untuk
memenuhi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan termasuk melakukan perubahan
berbagai produk perundang-undangan yang membatasi kebebasan beragama/
berkeyakinan dan pemulihan hak-hak korban; [3] menyediakan baseline data
tentang kebebasan beragama/ berkeyakinan; dan [4] memperkuat jaringan
masyarakat sipil dan memperluas konstituensi untuk turut mendorong jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan. 

SETARA Institute melakukan pemantauan
di 12 Propinsi, yaitu: Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.  

Pengumpulan data dilakukan dengan [1] pemantauan oleh
12 pemantau daerah; [2] diskusi terfokus (FGD); [3] pengumpulan data dari
institusi-institusi kegamaan/ kepercayaan dan institusi pemerintah; dan [4]
wawancara otoritas pemerintahan di tingkat daerah di 12 wilayah propinsi. Selain
4 metode pengumpulan data, SETARA Institute juga melakukan pemantaun melalui
media untuk daerah-daerah yang tidak menjadi lokus pemantauan.  

Pemantauan ini menggunakan parameter
hak asasi manusia, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU. No.
12/ 2005. Parameter lain yang digunakan juga adalah Deklarasi Penghapusan
Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan 
(Declaration
on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On
Religion Or Belief) yang dicetuskan
melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November 1981. 

   

1.  Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan 2009  

Pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291
jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu,
Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa),
Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan,
Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).  

Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai
aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 
tindakan pembiaran yang dilakukan oleh
negara (by omission). Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran
aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan
15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga
negara yang melakukan tindak pidana. Untuk pelanggaran yang melibatkan negara
sebagai aktor, kerangka legal pertanggungjawabany a adalah hukum hak asasi
manusia, yang mengikat negara akibat ratifikasi kovenan dan konvensi
internasional hak asasi manusia. Institusi negara yang paling
banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama 
(14
tindakan), Walikota (8 tindakan), Bupati 6 (tindakan), dan pengadilan (6
tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di
bawah 6 tindakan.  

Dari 291 tindakan pelanggaran, sejumlah 152
merupakan tindakan yang dilakukan warga negara dalam bentuk 86 tindakan 
kriminal/
perbuatan melawan hukum, dan 66 berupa intoleransi yang dilakukan oleh
individu/ anggota masyarakat. Kategori tindakan kriminal/ perbuatan melawan
hukum dan intoleransi merupakan bentuk pelanggaran hukum pidana yang
pertanggungjawabann ya melekat pada individu-individu sebagai subyek hukum.
Pelaku tindakan pelanggaran terbanyak pada kategori ini tercatat, Masyarakat (46
tindakan), MUI (29 tindakan), Individu Tokoh Agama (10 tindakan), Front Pembela
Islam (9 tindakan), dan Forum Umat Islam (6 tindakan).  

Pelanggaran kebebasan beragama/
berkeyakinan di tahun 2009 paling banyak masih menimpa Jemaat Ahmadiyah (33
tindakan pelanggaran) , individu (16 tindakan), dan Jemaat Gereja (12 tindakan).
Pelanggaran yang berhubungan dengan Ahmadiyah antara lain meliputi upaya
pembakaran masjid, intoleransi, dan pembatasan akses untuk melakukan ibadah.
Sementara individu yang menjadi korban umumnya adalah korban penyesatan.
Sedangkan Jemaat Gereja mengalami pelanggaran dalam bentuk pelarangan pendirian
rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan, dan intoleransi. 

Di
aras nasional, konsentrasi Pemilu telah membuat pemerintah dan institusi negara
sama sekali tidak melakukan langkah progresif apapun, dan tidak memenuhi
tuntutan apapun dari berbagai pihak terkait kehidupan beragama/ berkeyakinan.
Desakan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan jaminan
kebebasan beragama/ berkeyakinan tidak berbalas dengan kebijakan yang kondusif
bagi pemajuan pluralisme di Indonesia. Pada 2009, pemerintah memilih sikap 
status
quo dengan menahan diri tidak memasuki arena pelik soal kebebasan beragama/
berkeyakinan. Tidak ada legislasi di tingkat nasional yang konstruktif bagi
penguatan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 

   

2.
Tiga Tahun Laporan Kondisi
Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan  

Prakarsa SETARA Institute menyusun laporan kondisi kebebasan
beragama/ berkeyakinan telah memasuki tahun ketiga dan tiga laporan telah
dipublikasikan. DI tahun III ini, SETARA Institute menyajikan gambaran
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, analisis, dan
rekomendai bagi institusi-institusi negara.  

Pada tahun 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 185
jenis tindakan; pada tahun 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367
tindakan, dan pada tahun 2009 terjadi 200 peristiwa dengan 291 tindakan.
Sedangkan komposisi pelaku pelanggaran selama tiga tahun adalah: pelaku negara
92 tindakan (2007), 188 tindakan (2008), dan 139 tindakan (2009); sedangkan
pelaku non negara adalah 93 tindakan (2007), 179 tindakan (2008), dan 152
tindakan (2009).  

Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama tiga tahun
meliputi isu-isu dominan sebagai berikut: [1] pendirian rumah ibadah; [2]
penyesatan keyakinan/ aliran keagamaan; [3] pengrusakan tempat ibadah; dan [4]
peraturan perundang-undangan dan kebijakan diskriminatif. 

Tiga tahun laporan kebebasan beragama/ berkeyakinan yang
dipublikasikan SETARA Institute menunjukkan bahwa pelanggaran kebebasan
beargama/ berkeyakinan masih terus terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Baik
negara maupun warga negara sama-sama berpihak dan bertindak intoleran
sebagaimana terlihat pada sajian angka-angka di atas. Perundang-undangan dan
kebijakan yang diskriminatif warisan masa lampau dan yang diproduk
pascareformasi, masih terus dipelihara oleh rezim saat ini dan telah menjadi
pemicu dan pemacu pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan.  

Realitas legal diskriminatif adalah
lapangan terbuka bagi terjadinya pelapisan pelanggaran; baik violation by
judicial maupun tindakan persekusi yang didasarkan pada realitas produk
hukum yang diskriminatif. Kekeliruan berikutnya adalah pilihan negara yang
hadir tanpa pembatas yang tegas di tengah kehidupan beragama/ berkeyakinan.
Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, kebebasan beragama/ berkeyakinan
adalah negatif rights, di mana negara tidak boleh mencampuri dengan
tindakan-tindakan yang mengurangi, membatasi, dan mencabut kebebasan itu. Tugas
negara adalah menjamin kebebasan. Konstruksi hukum yang diskriminatif menjadi
pemicu sekaligus landasan berbagai persekusi masyarakat atas setiap pandangan,
keyakinan, dan agama, yang dianggap berbeda dari mainstream atau dari sudut
pandang negara. 

Tiga laporan SETARA Institute juga mencatat bahwa silent
majority dan masyarakat yang rentan turut berkontribusi bagi terjadinya
pelanggaran kebebasan beragama. Silent
majority adalah sikap memilih diam dari sebagian besar masyarakat yang
belum teridentifikasi keberpihakannya. Sementara kerentanan masyarakat adalah
kondisi sosial yang tidak immun atas berbagai doktrin dan rangsangan sosial
akibat ketidaberdayaan dan keterbatasan pilihan yang dihadapkannya. Kerentanan
masyarakat ini bisa terjadi oleh berbagi sebab sosial, ekonomi, politik, hukum,
dan ketidakpercayaannya pada institusi negara maupun pranata sosial di
sekitarnya. 

Di aras sosial, kecemasan akan
menguatnya barikade sosial yang membentengi masing-masing komunitas berdasarkan
bangunan etnisitas dan agama, telah mengabaikan berbagai paradigma nasional dan
mengancam bangunan kebangsaan Indonesia. Laporan ini juga merekam keresahan
publik terhadap potensi politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas,
yang memanifes dalam berbagai persekusi massa dan pembentukan peraturan 
perundang-undangan,
baik di tingkat nasional maupun di daerah. 

Kondisi sosial mutakhir warga negara Indonesia terjadi karena
negara gagal menjalankan mandat konstitusionalnya untuk mendesain sistem
pendidikan nasional yang mencerdaskan bangsa. Sistem pendidikan nasional
lebih mengutamakan supremasi kasalehan personal dengan tujuan menciptakan
insan beriman dan bertakwa (imtak); bukan kecerdasan berbangsa dan bernegara.
Konsep kewargaan Indonesia telah dikikis oleh orientasi utama penciptaan insan
yang saleh secara personal tapi tidak memiliki citra diri sebagai warga bangsa.
Fakta-fakta penguatan fundamentalisme Islam di berbagai sekolah dan kontradiksi
pikir generasi muda yang terbuka tapi mendukung positivisasi agama dalam tubuh
negara, telah menguatkan kegagalan sistem pendidikan nasional Indonesia.  

Tiga tahun laporan SETARA Institute menyimpulkan bahwa kondisi
masyarakat Indonesia mutakhir lebih menampilkan perilaku intoleran. Keguyuban,
saling menghormati,  menghargai, gotong
royong, dan seterusnya telah menjadi terkikis oleh fakta-fakta mutakhir
praktik-praktik intoleran.  

Secara nasional, dalam konteks
ketatanegaraan, fallacy kebangsaan Indonesia terjadi disebabkan oleh
kegagalan pemerintahan mengedarkan rasa aman bagi warga negara untuk menikmati
kebebasannya dalam beragama/ berkeyakinan, atau bahkan sekadar untuk berbeda
sekalipun. Kepemimpinan nasional hingga kini tetap menggantung dan menunggangi
isu kebebasan beragama dan kondisi rentan masyarakat untuk memelihara
konstituen dari berbagai lapis, meski mengorbankan hak kelompok minoritas dan 
marginal.
Akibat
kelemahan politik personal presiden, kepemimpinan SBY yang pada Oktober 2009
memasuki periode kedua, gagal memanfaatkan peluang suatu rezim di bawah
kepemimpinannya untuk mengambil tindakan politik menunjukkan keberpihakan
serius dan konsisten pada jaminan-jaminan konstitusional hak warga negara. Tiga 
tahun laporan SETARA Institute menunjukkan kepemimpinan
nasional gemar menjadikan isu kebebasan agama/ keyakinan sebagai kapital
politik yang prospektif. 

Tiga tahun laporan kondisi
kebebasan beragama/ berkeyakinan juga menunjukkan bahwa seluruh pelanggaran
kebebasan beragama/ berkeyakinan tidak memperoleh penyelesaian hukum.
Negara tidak pernah bertanggung jawab untuk melakukan policy reform
sebagai bentuk pertanggungajwaban pemenuhan HAM; aparat hukum juga pelit dan
tidak mampu menjangkau pelaku tindak kriminal dan perbuatan melawan hukum
lainnya yang dilakukan warga negara; demikian juga hukum nasional Indonesia yang
tidak mampu menagih pertanggungjawaban seseorang yang melakukan tindakan
intoleransi.  

Intoleransi dalam berbagai
bentuknya, termasuk condoning (pernyataan pejabat negara dan tokoh-tokoh
berpengaruh yang menyulut potensi kekerasan dan pelanggaran) belum memiliki
landasan hukum untuk mempersoalkannya dan menambah daftar panjang impunitas
pelaku.  

Fakta realitas legal diskriminatif dan impunitas
praktik persekusi masyarakat atas kebebasan beragama/ berkeyakinan menuntut 
NEGARA
HARUS BERSIKAP dengan melakukan tindakan politik sebagai berikut: 

1.   Pencabutan seluruh Peraturan Perundang-undangan yang diskriminatif,
baik di tingkat nasional maupun di daerah.  

2.  Amandemen UUD Negara RI 1945, khususnya terkait dengan
pembatasan yang tercantum di dalam Pasal 28 J (2). 

3.  Penyusunan RUU Anti Intoleransi, bukan RUU Kerukunan Umat
Beragama, sebagaimana tercantum dalam Prolegnas 2009-2014.  

4.  Integrasi Kurikulum Toleransi dan Pluralisme dalam Sistem
Pendidikan Nasional diikuti dengan penyediaan sumber daya manusia yang memadai. 

   

*** 




    
     

    
    


 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke