http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=214121&kat_id=16

Rabu, 21 September 2005


Di Balik Impor Beras 
Oleh : Sapto Waluyo
Center for Indonesian Reform

Kebijakan pemerintah yang membuka kran impor beras menyembulkan kepentingan 
tersembunyi. Dua kepentingan yang berseberangan saling berhadapan. Kepentingan 
pertama mewakili kalangan ''pengusaha'' yang ingin mengontrol harga beras agar 
tetap menguntungkan bagi mereka.

Kerena itu, melalui Perum Bulog, mereka mendesak pemerintah supaya mencabut 
larangan impor beras yang berlaku sejak Juni-Desember 2005. Kemudian, dalam 
rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin Wapres, Jusuf Kalla, Jum'at (9/9), 
keinginan itu mencuat kencang. Akhirnya, Menteri Perdagangan, Mari Pangestu, 
menyetujui izin prinsip impor beras sebanyak 250 ribu ton untuk tahun ini.

Sayangnya, rakor itu tak lengkap dihadiri pihak berkepentingan yaitu Menteri 
Pertanian, Anton Apriantono. Padahal, boleh dikata dia mewakili kepentingan 
kedua, yaitu khalayak ''petani''. Anton sedang mengikuti pertemuan menteri 
pertanian negara-negara G-20 di Karachi, Pakistan. Mengapa rakor tiba-tiba 
dipaksakan mengambil keputusan strategis tanpa kehadiran menteri yang 
bertanggung jawab langsung mengurus ketahanan pangan, terutama komoditas beras? 

Mengapa Wapres yang memimpin rapat mengintrodusir suatu agenda tertentu dengan 
pernyataan yang tendensius?Di sinilah kontroversi bermula. Kira-kira, 
mukaddimah rapat itu menyebutkan: ''Di Indonesia tak boleh ada dua komoditas 
yang harganya naik bersamaan, yaitu BBM dan beras. Karena itu, harus segera 
dicari akal agar BBM tetap naik sesuai target Oktober nanti, tapi harga beras 
harus dikontrol agar tetap terjangkau rakyat'' (Koran Tempo, 16/9). Standar 
yang ditetapkan pemerintah sebelumnya untuk harga beras adalah Rp 3.500 per 
kilogram. 

Karuan saja, pengantar itu direspons antusias Perum Bulog yang diwakili 
Direkturnya, Widjanarko Puspoyo. Menurut satu sumber, Bulog bahkan mendesak 
jatah impor yang lebih besar, sekitar satu juta ton. Fakta bahwa cadangan beras 
di masyarakat masih tersimpan 1,6 juta ton plus cadangan pemerintah sebanyak 
350.000 ton, serta produksi nasional yang stabil 31 juta ton, untuk sementara 
dikesampingkan.

Yang berlaku adalah asumsi bahwa kenaikan tarif BBM akan mengatrol kenaikan 
harga barang, termasuk beras. Akibatnya, stok Bulog akan terkuras 180.000 ton 
per bulan untuk program raskin (beras bagi keluarga miskin). Itu berarti 
720.000 ton sampai akhir tahun ini. Nah, bagaimana caranya menjaga cadangan 
beras Bulog agar berada di atas satu juta ton? Jalan pintas impor beras 
diusulkan, tanpa menghiraukan kemungkinan membeli beras domestik yang sama baik 
kualitasnya.

Skenario kiamat
Deptan yang semula ngotot menolak impor beras jadi terpojok. Mereka tak pernah 
memimpikan ''skenario kiamat'' macam itu. Soalnya produksi beras nasional 
sedang meningkat. Menurut data BPS, produksi padi dalam lima tahun terakhir 
terus menguat, mulai dari 50,5 juta ton (2001), 51,5 juta ton (2002), 52,1 juta 
ton (2003), 54,3 juta ton (2004), hingga 54,5 juta ton (2005). Sementara 
permintaan masyarakat sebanyak 52,9 juta ton. Jadi terdapat surplus 1,6 juta 
ton.

Sementara itu, harga gabah petani juga sedang bagus. Gabah kering panen (GKP) 
dihargai sekitar Rp 1.330-Rp 1.470 per kilogram. Sedang gabah kering giling 
(GKG) sekitar Rp 1.740 per kilogram. Itu berarti di atas harga patokan 
pemerintah. Mengantisipasi kenaikan BBM nanti, Mentan telah menetapkan akan 
menaikan harga GKP sekitar Rp 1.500 per kilogram, serta GKG masih dihitung dan 
tentu lebih besar lagi.

Kenaikan harga gabah yang menguntungkan petani tentu mempengaruhi kenaikan 
harga beras, yang entah mengapa justru dipandang akan memberatkan masyarakat. 
Harga beras di pasar untuk ukuran medium sekitar Rp 3.100 sampai Rp 3.200 per 
kilogram. Harga itu ditaksir melonjak sampai Rp 3.500 per kilo yang merupakan 
batas psikologis. Sesuai Inpres No 2/2005, Bulog diizinkan mengimpor beras, 
apabila harga beras domestik untuk ukuran medium menembus angka Rp 3.500 per 
kilogram dan cadangan nasional kurang dari satu juta ton. Semua kondisi itu 
belum terjadi saat ini, tapi diasumsikan akan berubah drastis akibat kenaikan 
BBM.

Apakah kebijakan impor beras murni urusan domestik? Ternyata tidak. Ada 
kepentingan luar negeri di balik kebijakan kontroversial dan inkonsisten itu. 
Dalam kunjungan Presiden SBY ke Thailand, beberapa waktu lalu, lobi pengusaha 
beras dari Negeri Gajah Putih itu amat gencar. Pejabat tinggi di Thailand telah 
memasukkan agenda terselubung permintaan untuk membuka kran impor ke Indonesia. 
Bahkan, eksportir beras Thailand telah mengantongi kontrak jangka panjang untuk 
mengirim jutaan ton beras ke pengusaha Indonesia (Kompas, 15/9).

Bila kepentingan bisnis telah mengalahkan kepentingan publik, maka pertimbangan 
kebijakanpun jadi amburadul. Membeli beras impor berarti menguras cadangan 
devisa yang semestinya harus dihemat. Dengan jatah impor 250.000 ton dan harga 
beras dunia sekitar 270 dolar AS per ton, maka dana yang dibutuhkan Bulog 
sekitar 67,5 juta dolar AS, atau Rp 675 milyar (dengan kurs Rp 10.000 per 
dollar AS). Dari kalkulasi itu, masuk akal melihat Bulog begitu bernafsu 
mengimpor beras.

Sementara kegairahan untuk membeli beras petani domestik sebagai cadangan 
nasional tidak terlihat sama besarnya. Bahkan, skenario untuk memantapkan 
produksi dan cadangan beras, lalu merintis upaya ekspor sama sekali tak 
terpikirkan. Swasembada beras dan peluang ekspor beras hanya mimpi di mata 
pengusaha, karena mereka tak pernah mau bersusah-payah dan bersaing dengan 
pengusaha mancanegara. ''Kearifan dan keseriusan'' mereka hanya sebatas 
keuntungan jangka pendek.

Deptan mengalah dan Mentan akhirnya memahami (legowo) dengan ''kebijakan baru'' 
pemerintah --lebih tepat disebut inisiatif kebijakan Bulog yang didukung Wapres 
dan Mendag. Tapi, ''perlawanan'' tetap berlangsung. Sejumlah kepala dinas 
Pertanian di berbagai daerah melaporkan kepada Mentan dan diliput luas oleh 
media massa, bahwa produksi beras mereka akan surplus tahun ini, dan kebijakan 
impor sama sekali tak perlu.

Daerah yang akan surplus itu adalah Jawa Timur (dua juta ton), Jawa Tengah, 
Sulsel, Jawa Barat, Sumut, Sumbar, Sumsel, dan Lampung. Bahkan Ditjen Tanaman 
Pangan Deptan menjelaskan daerah lain yang juga surplus adalah Kalbar, Kalteng, 
Kalsel, Sulteng, Gorontalo dan NTB. Daerah yang dikenal rawan pangan seperti 
NTT saja menolak impor beras, karena pasokan dari daerah surplus tadi sudah 
mencukupi untuk kebutuhan selama enam bulan ke depan (Suara Pembaruan, 14/9). 
Jadi, apalagi yang harus dikhawatirkan? Mengapa harus didramatisasi lonjakan 
kebutuhan pada saat Ramadhan dan Idul Fitri, atau Natal dan Tahun Baru 2006? 
Mengapa dibuat skenario kiamat (krisis beras) akibat kenaikan BBM? Padahal, 
kenaikan BBM sendiri dipandang masih bisa disiasati, jika pemerintah mau 
bekerja keras meningkatkan penerimaan pendapatan negara dan melakukan efisiensi 
anggaran.

Aneh sekali, dalam rapat kabinet melalui telekonferensi dengan Presiden SBY di 
New York, AS, Mendag Mari Pangestu menyatakan: ''Departemen Perdagangan telah 
menyiapkan langkah-langkah untuk menjaga ketersediaan pasokan komoditas pokok 
dan menjaga kestabilan harga. Salah satu di antaranya mengimpor 800 ribu ton 
beras sebagai persiapan kebutuhan Lebaran, Natal, dan tahun baru'' (Indopos, 
15/9). Apa Mendag tidak salah ucap ataukah wartawan yang salah kutip? Impor 
beras itu 250.000 ton atau 800.000 ton sebenarnya? Presiden SBY harus mengecek 
langsung akurasi kebijakan menteri pembantunya itu.

Slip of tongue macam itu telah menjadi anekdot yang buruk bagi birokrasi, bahwa 
pejabat boleh menetapkan suatu kebijakan, tapi praktik di lapangan akan 
berlangsung lebih dahsyat. Impor beras yang dimaksudkan untuk memperkuat 
cadangan nasional, bisa bocor di lapangan, karena mekanisme pengawasan yang 
masih lemah. Bahkan, realisasi impor bisa membengkak ditunggangi kepentingan 
bisnis lain.

Karena itu, Mentan segera pasang palang pintu, bahwa realisasi impor beras 
harus melalui persetujuan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang bukan kebetulan 
diketuainya sendiri. Jika benar dibutuhkan, impor beras akan dilakukan secara 
bertahap, dan setiap tahapan akan dievaluasi. Bukan tidak mungkin kebijakan 
impor baru akan dikoreksi atau dianulir, bila dalam praktik terjadi 
penyimpangan atau kebocoran.

Bulog sendiri mulai mencari akal baru, setelah izin prinsip mereka dapatkan. 
Apakah impor akan dilakukan dengan sistem G to G, artinya meminjam otoritas 
pejabat tinggi lagi (Presiden atau Wapres) untuk menentukan kerjasama dengan 
negara tertentu (misalnya, Thailand)? Atau, impor beras itu akan dilakukan 
dengan tender terbuka, dengan jaminan perusahaan yang sudah punya komitmen 
jangka panjang (dari dalam dan luar negeri) tetap terjaga kepentingannya?

Sosok akademisi yang terkenal sederhana seperti Anton Apriyantono, yang 
didukung secara politik oleh PKS dengan slogan ''Bersih dan Peduli'', tentu 
tidak mudah menyerah dan gampang berkompromi. Anggota Fraksi PKS di Komisi IV 
DPR, Suswono, telah bersuara keras dalam rapat dengar pendapat dengan Mentan, 
pekan lalu. Keputusan membuka kran impor dinilai gegabah dan berbahaya, karena 
akan memukul harga beras di tingkat petani yang saat ini sedang membaik.

Suswono juga mempertanyakan sikap pemerintah yang sudah menyatakan bahwa 
produksi beras nasional surplus, tapi tiba-tiba mengizinkan impor, sehingga 
membingungkan dan membuat masyarakat curiga. Perum Bulog juga terkesan 
menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa Indonesia akan kekurangan beras, 
sehingga memaksa harus impor, seperti dilaporkan media (Suara Pembaruan, 15/9).

Pergulatan kepentingan itu akan terus berlanjut, karena masing-masing pihak 
harus memastikan keinginannya terpenuhi. Para elite akan menakar, apakah 
kebijakannya cukup menenteramkan pemegang saham terbesar mereka: pengusaha atau 
petani? Di balik itu semua, lobi mancanegara telah melumpuhkan daya tahan 
pangan nasional, karena orientasi para pejabat negara tidak lagi berpihak 
kepada rakyat banyak


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke