SUARA KARYA 


            Krisis Air Tanah
            Oleh Sofyan Bakar 


            Rabu, 3 Mei 2006
            Krisis air tanah, khususnya di Ibu Kota, sudah terjadi. Cadangan 
air tanah di kota yang dihuni hampir 12 juta penduduk ini konon hanya cukup 
untuk keperluan sembilan tahun ke depan. Sementara pelayanan air bersih dari 
perusahaan air minum (PDAM Jaya) belum maksimal. 

            Di Jakarta Utara, misalnya, baru 50 persen warganya yang terlayani 
dengan air bersih dari perusahaan daerah tersebut. Selebihnya, "dipaksa" untuk 
membeli air bersih dari para tukang air keliling, dengan harga mencekik. Survei 
Bank Dunia yang berlabel Livable Cities for the 21st Century menunjukkan, untuk 
mendapatkan air bersih, penduduk miskin di Jakarta harus membayar 20 kali lebih 
mahal dibanding penduduk kaya. 

            Ketidakmampuan PDAM itu terus memicu warga Jakarta untuk tetap 
mengusahakan air tanah. Belakangan sejumlah perusahaan besar yang sangat 
membutuhkan air dalam jumlah besar juga menyedot air tanah. Mereka sebagian 
pemilik hotel serta gedung yang berada di sepanjang Jalan MH Thamrin dan Jalan 
Jenderal Sudirman. 

            Pengambilan air tanah secara besar-besaran tersebut jelas berdampak 
pada kekosongan air di dalam tanah. Akibatnya, air laut merembes masuk dan 
mengisi kekosongan air tanah tersebut hingga jauh ke dalam. Dan memang, 
rembesan air asin dari Teluk Jakarta kini telah menjangkau Monas. 

            Hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan 
menyebutkan, intrusi air laut kini hampir merata di seluruh wilayah Jakarta. 
Wilayah dalam radius 10-15 kilometer di Ibu Kota pada umumnya telah dilanda 
intrusi air laut. Misalnya, air laut telah merasuk ke daerah Kebun Jeruk 
(Jakarta Barat) dan wilayah Segi Tiga Emas Setiabudi, Kebayoran Baru, 
Cengkareng, dan Senen (Jakarta Pusat). Padahal, 20 tahun lalu luas daratan yang 
terkena intrusi air laut baru sekitar dua kilometer dari garis pantai, 
khususnya di daerah Kota. 

            Menurut Sutrisno (1987), pada 1880 komunitas penduduk Jakarta (dulu 
Batavia) hanya ratusan ribu orang. Pada saat itu, kebutuhan air minum cukup 
disediakan 10 buah sumur artesis. Semua sumur itu mengalirkan sendiri air tanah 
(free flowing) tanpa dipompa sekalipun. Ini terjadi karena muka air tanah 
berada di atas permukaan tanah sekitar 8-10 meter dari daerah Tanjung Priok. 

            Namun, akibat ulah manusia, terutama gencarnya pemompaan air tanah 
tersebut, telah terjadi perubahan drastis terhadap kondisi air tanah. Lini muka 
air tanah makin dalam di bawah muka air tanah dangkal. Ini menyebabkan 
terjadinya imbuhan air tanah dangkal ke dalam sistem akuifer air tanah dalam, 
lewat bocoran ke bawah. Wajar pula jika sistem cekungan air tanah dalam di 
Jakarta menjadi daerah imbuhan air tanah dangkal. Padahal, orang tahu bahwa 
kondisi air tanah dangkal di Jakarta sudah amat tercemar berbagai zat kimia 
berbahaya seperti timbal, seng, amoniak, dan kloroform. Maka, selain intrusi 
air laut, air tanah dalam juga terancam pencemaran lewat "bocoran" tersebut. 

            Sketsa tersebut mengantarkan kita pada pemahaman betapa kritisnya 
air tanah (air bersih) yang disediakan alam. Bukan saja tanah sudah tidak 
banyak memiliki air, air yang tersisa pun sudah tercemar, baik oleh air laut 
maupun oleh racun yang berasal dari sungai Jakarta yang amat kotor. 

            Krisis air ini diperparah oleh rusaknya lingkungan, terutama akibat 
permukaan tanah yang makin tidak memungkinkan terinfiltrasinya air hujan yang 
turun ketika musimnya tiba. Padahal, musim hujan adalah waktu yang tepat untuk 
mengatasi krisis tersebut. 

            Menurut Sinukaban, secara alami jumlah air hujan itu dari dulu 
hingga sekarang sama saja. Di wilayah DAS Ciliwung, misalnya, jumlahnya tetap 
antara 3.500-4.000 ml setahun. Masalahnya, dulu air hujan yang jatuh ke bumi di 
wilayah ini meresap (infiltrasi) ke dalam tanah hingga 85%. 

            Tapi sekarang persentase itu sudah terbalik. Meskipun belum 
didapatkan data persis persentase itu sekarang, dapat diduga air hujan yang 
meresap ke dalam tanah justru tinggal 15%, atau malah lebih kecil. Ini bisa 
dilihat dari indikasi bahwa hujan sedikit saja air sudah membanjiri Jakarta dan 
jika kemarau datang krisis air langsung terjadi. 

            Jadi, krisis air, termasuk di Ibu Kota, sebenarnya persoalan 
rendahnya daya infiltrasi tanah terhadap air hujan akibat gundulnya permukaan 
tanah dan minimnya permukaan tanah terbuka hijau karena habis dibangun untuk 
rumah dan gedung-gedung. Karena itu, penyelesaian masalah ini, seperti 
ditegaskan juga oleh Sinukaban, adalah meningkatkan daya infiltrasi air hujan 
ke dalam tanah ini. 

            Dan untuk ini ada banyak metode, antara lain (di perkotaan) 
meningkatkan luas area terbuka hijau; meminimalisasi tutupan tanah, khususnya 
dengan jenis yang tidak bisa ditembus air, seperti beton dan aspal; membuat 
sumur resapan; (di pedesaan) menghindari penggundulan dengan melakukan 
penghijauan, membuat undak-undakan (terasering) di permukaan tanah miring, 
membuat dam (gully plagh) di sungai-sungai untuk memperlambat arus, membuat 
sumur resapan. 

            Sayangnya, upaya ini belum terlaksana dengan baik, meski tidak saja 
sudah dianggap penting, tapi juga sudah cukup banyak dan telah sejak lama 
diupayakan. Dalam hal upaya membuat sumur resapan -- yang merupakan solusi 
paling mudah, murah, dan sederhana, namun dinilai berdampak positif bagi 
penyelesaian krisis air tanah sekaligus dapat mengurangi ancaman banjir -- 
sudah dianjurkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama daerah yang 
lingkungannya nengalami masalah krisis air. 

            Pemerintah DKI malah sudah membuat perda sejak 1992 mengenai 
anjuran membuat sumur resapan bagi setiap bangunan yang didirikan, yaitu SK 
Gubernur DKI Jakarta No 17 Tahun 1992. Dan pada tahun 2001 diperbaharui dengan 
SK Gubernur DKI Jakarta No 115 Tahun 2001 dengan lebih menekankan lagi 
pentingnya membuat sumur resapan bagi setiap pembangunan yang dilakukan dan 
rumah-rumah atau bangunan lain yang belum memiliki sumur resapan. 

            Namun, anjuran itu tak banyak dipatuhi. Tak salah kemudian pengamat 
lingkungan menyebutkan peraturan itu tinggal peraturan. Apalagi, di dalam perda 
itu, khususnya di Jakarta, hanya sekadar mewajibkan, tak ada pasal sanksi bagi 
yang tidak mematuhi. Akibatnya, ya itu, jumlah sumur resapan dari tahun ke 
tahun tak pernah mencukupi, bahkan jumlahnya sangat tidak signifikan. Krisis 
air, mungkin juga "banjir tiba-tiba", akan makin parah. Dan bisa jadi tak 
sampai sembilan tahun, sebagaimana diramalkan, stok air Jakarta akan habis.*** 

            Penulis adalah mahasiswa S3 Studi Lingkungan IPB.  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke