http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=251948
Senin, 16 Okt 2006, Pasal Penghinaan Presiden, Pasal Karet yang Kini Digugat Menggugat Warisan Kolonial Kehormatan presiden dilindungi pasal penghinaan presiden. Parameter penghinaan tidak pernah dirumuskan secara jelas dalam KUHP. Karena itu, pasal tersebut biasa disebut pasal karet karena ketidakjelasan unsur-unsur di dalamnya. Dalam dua tahun pemerintahan SBY, sekurang-kurangnya ada lima orang yang didakwa dengan pasal karet tersebut, bahkan satu di antaranya telah diputus (in khract). Pada 24 Maret 2005, I Wayan Gendo Suardana, terdakwa kasus pembakaran foto presiden dan wakil presiden, divonis enam bulan penjara oleh PN Denpasar. Aktivis Pandapotan Lubis ditangkap 18 Mei 2006 dengan alasan membawa poster yang menuntut SBY dan Kalla mundur dari jabatannya saat berdemonstrasi di Bundaran HI pada 16 Mei 2006. Nasib yang sama menimpa Fahrur Rohman alias Paung. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) tersebut ditangkap saat berdemonstrasi di depan Kampus Universitas Nasional Pejaten. Terdakwa ditangkap karena membagikan poster SBY dan Kalla yang wajahnya diberi tanda silang dan tulisan Kami Tidak Tahan. Tindakan itu dianggap menghina presiden dan wakilnya. Yang terbaru adalah Eggi Sudjana. Dia didakwa menyebarkan rumor pemberian Jaguar oleh pengusaha Harry Tanoesudibyo kepada salah seorang anak SBY, sekretaris negara, dan dua juru bicara SBY. Pengacara itu pun didakwa menggunakan pasal penghinaan terhadap presiden. Saat ini, Eggi menggugat pasal karet itu ke Mahkamah Konstitusi. Pengacara yang juga dikenal sebagai politikus tersebut menilai pasal 134 dan 136 KUHP yang menjeratnya sudah tak relevan pada era demokrasi. "Bahkan di Belanda, asal pasal tersebut, sudah dilarang," ujarnya. Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Effendi Gazali sependapat dengan Eggi. Dia menilai, pasal karet tersebut saat ini tidak relevan lagi. Bagaimana tidak? Secara historis, pasal itu digunakan penjajah Belanda untuk menindak siapa pun yang menghina Ratu Belanda, representasi Kerajaan Belanda. Tidak hanya itu, penerapan pasal tersebut tentu saja kontraproduktif dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut Indonesia saat ini. "Seharusnya, pasal tersebut telah dibatalkan karena bertentangan dengan amandemen UUD 1945 pasal 28 F yang menjamin setiap orang berkomunikasi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia," ungkap Effendi saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Pria yang juga memandu sebuah acara humor sarat kritik itu berpendapat, kebebasan yang dijamin pasal 28 F tersebut akan diekspresikan dengan cara berbeda, bergantung pada lingkungan sosial masyarakat. "Cara mahasiswa menyampaikan kritik tentu saja berbeda dengan pelawak atau masyarakat biasa. Ini bergantung lingkungan sosial masing-masing," tambahnya. Soal batasan kesopanan dan mana yang boleh dan tidak boleh, presiden dan pengadilan tidak berwenang menginterpretasikannya. Presiden justru seharusnya arif menanggapi esensi kritik yang disampaikan masyarakat. "Daripada menanggapi kritik yang tidak pernah akan habis, lebih baik presiden fokus dengan visinya," ungkap Effendi. Cara berekspresi tentu saja bergantung pilihan masyarakat. Meski demikian, tambah Effendi, semakin elegan komunikasi politik yang disampaikan, itu semakin baik. Yang tidak boleh dimungkiri, pemerintahan SBY berada di era pencitraan bebas. Citra pemerintahan, termasuk SBY sebagai presiden, tidak bisa dipaksakan seperti saat Orde Baru. Pencitraan tersebut tentu saja terkait erat dengan kebijakan pemerintah, termasuk pembuktian janji-janji presiden yang pernah disampaikannya. "Presiden boleh berjanji setinggi-tingginya sampai tak terbatas, orang lain juga boleh dong marah dalam bentuk apa saja jika janji itu tidak terbukti," ungkap Effendi. Tidak hanya SBY, siapa pun presiden di sebuah negara demokrasi memiliki tantangan untuk menghadapi kritik dari masyarakat. Misalnya Amerika Serikat, hampir setiap hari presiden diprotes dan dicaci-maki dengan cara apa pun, termasuk membakar foto presiden, mengejeknya melalui lagu dan film, bahkan membuat karikatur yang kadang sarkastis atas diri presiden. Bedanya, hal tersebut dihadapi dengan sikap wajar oleh presiden dan dianggap sebagai risiko dari demokrasi. "Jangan hanya bisa berjanji, SBY juga harus mau menghadapi rakyatnya yang protes terhadap kebijakannya dan mungkin kecewa atas performanya," tambah Effendi. Di lain pihak, anggota DPR Benny K. Harman berpendapat, meski pasal penghinaan presiden itu tidak relevan dengan kondisi saat ini yang relatif demokratis, selama masih menjadi hukum positif dan belum dicabut, pasal-pasal tersebut masih dapat digunakan. "Meski demikian, hal tersebut kontra dengan proses demokratisasi yang saat ini kita jalani," ungkapnya. Politikus Partai Demokrat itu mengungkapkan, pasal tersebut harus segera dicabut dengan mekanisme uji materiil di Mahkamah Konstitusi atau merevisi KUHP. Meski putusan MK tidak berlaku surut ke belakang (retroaktif), tidak menutup kemungkinan orang-orang yang didakwa dengan pasal tersebut bebas.(ein) ++++ http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=251947 Senin, 16 Okt 2006, Presiden seperti Rakyat Biasa Pakar ilmu hukum Universitas Indonesia Mardjono Reksodiputro, berpendapat pasal-pasal penghinaan presiden dalam KUHP tidak perlu lagi diberlakukan. Dalam negara republik, apalagi yang mengklaim demokratis, delik penghinaan khusus untuk presiden dan wakil presiden tidak lagi diperlukan. Jika merasa terhina, presiden dan wakilnya harus berperan sebagai pribadi dan mengadukan pihak-pihak yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Itu tidak seperti pasal penghinaan presiden, yang siapa pun dapat menggunakan pasal tersebut untuk mendakwa orang lain melakukan penghinaan, meski presiden sendiri tidak merasa keberatan. Hal tersebut diatur pada pasal 310Ðpasal 321 KUHP. "Apa yang untuk orang lain tidak dapat dianggap sebagai penghinaan juga bukan penghinaan oleh presiden. Sebaliknya juga demikian," ungkap Mardjono saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materiil pasal 134 dan 136 bis KUHP Selasa (10/10) lalu. Selain terkesan melindungi presiden, delik penghinaan presiden kontraproduktif dengan demokrasi. Sebab, pasal-pasal tersebut justru disalahgunakan banyak pihak untuk menghambat kritik dan protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Apalagi, kebebasan berekspresi telah diatur dalam konstitusi, yakni pasal 28 F UUD Tahun 1945. "Mempertimbangkan perkembangan nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratis modern, delik penghinaan terhadap presiden tidak boleh lagi digunakan," tambahnya. (ein) ++++ http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=251946 Senin, 16 Okt 2006, Kritik kok Dianggap Menghina Sejumlah aktivis yang pernah menjadi korban "pasal karet" penghinaan presiden menyambut baik mekanisme uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Yeni Rosa Damayanti, aktivis yang ditangkap pada 1994 atas tuduhan subversif itu, berpendapat bahwa pasal tersebut telah merusak demokrasi. "Seharusnya sejak merdeka, pasal tersebut sudah dihapus," ungkap Yeni kepada Jawa Pos. Tidak hanya pasal penghinaan terhadap presiden dan Wapres yang dimuat dalam pasal 134, 136, dan 137 KUHP, penghinaan lain yang tertuang dalam pasal 155 dan 156 KUHP juga harus dihapus. "Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan rentan digunakan penguasa untuk menindas rakyat," ungkapnya. Bagaimana tidak? Penafsiran pasal-pasal tersebut yang melebar ke mana-mana alias pasal karet cenderung berpihak pada penguasa. "Masak mengkritik dibilang menghina," ujarnya. Yeni pernah merasakan pahitnya pasal itu. Dia ditangkap saat berdemonstrasi mengkritik kinerja DPR dan Presiden Soeharto di era Orba. Saat itu dia mengusung poster bertulisan DPR Mesti Dengar Suara Rakyat dan Seret Presiden ke Sidang Istimewa. Poster itulah yang menjadi alasan bagi penguasa Orde Baru untuk memenjarakannya selama satu tahun sebagai tahanan politik. Bagi Yeni, kehidupan demokrasi pascareformasi lebih baik daripada sebelumnya. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan, mengapa di era seperti ini pasal-pasal karet masih saja dilestarikan. "Saya yakin masih banyak orang yang dikenai pasal ini. Cuma masalahnya, hal itu tidak diekspos media. Aneh, di era reformasi ini tahanan politik masih ada," tambahnya. Tidak hanya aktivis yang ditangkap karena melontarkan kritik ketika berdemonstrasi. Wartawan pun, ketika menulis berita yang mengandung kritik, bisa dipidana dengan pasal karet tersebut. Tri Agus S. Siswowiharjo, salah satunya. Mantan pemimpin redaksi Kabar dari Pijar tersebut diganjar tiga tahun penjara gara-gara memuat berita yang menyinggung penguasa pada saat itu. Dia pun dilekati cap subversif dan dituduh menyebarkan kebencian pada negara. Pada 1995, media yang dipimpin Agus menurunkan berita berjudul Adnan Buyung: Negeri Ini Kacau gara-gara Orang Bernama Soeharto. Meski mengutip komentar Adnan Buyung Nasution, sebagai pemimpin redaksi, dialah yang dianggap paling bertanggung jawab. Setelah dipenjara pun, banyak hak-haknya yang tidak diterima. "Saya tidak pernah mendapatkan remisi sama sekali," ungkapnya. Meski demikian, statusnya sebagai tahanan politik relatif memberinya rasa aman dalam sel. "Pada praktik di penjara masa itu, tapol paling disegani baik oleh sesama napi maupun penjaga," ujarnya. TAS (nama julukannya, Red) dipindah tahanan sampai lima kali. "Saya dianggap merepotkan karena masih sering menulis dalam tahanan," tandasnya. (ein [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/