http://www.suarapembaruan.com/News/2005/10/21/index.html


SUARA PEMBARUAN DAILY 

Pendidikan dan Kesehatan, Sebuah Ironi
 

 

1 Tahun 

SBY-JK 

"...SAYA akan mengupayakan pendidikan murah. Pendidikan harus menyentuh mereka 
yang sangat miskin. Mereka yang miskin perlu mendapat proteksi dan bantuan 
termasuk dalam bidang pendidikan," kata Susilo Bambang Yudhoyono dalam dialog 
"Penajaman Visi, Misi, dan Program Capres- Cawapres" yang diselenggarakan 
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, 16 September 2004. 

Pada penutupan masa kampanye putaran pertama, Yudhoyono berujar, "Peningkatan 
mutu pendidikan akan saya dorong dengan melakukan upaya-upaya pengembangan 
sarana dan prasarana pendidikan yang baik dan berkualitas, meningkatkan 
kompetensi dan profesionalisme guru dan tenaga pendidik lainnya, meningkatkan 
kesejahteraan guru, dan menyempurnakan manajemen pendidikan." 

Sedangkan di bidang kesehatan, Yudhoyono setuju dengan pemberlakuan asuransi 
sosial kesehatan bagi seluruh rakyat. "Saya setuju untuk memberlakukan asuransi 
sosial kesehatan bagi seluruh rakyat. Tujuannya agar masyarakat bisa 
mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di rumah sakit," katanya saat berdialog 
dengan Masyarakat Profesi Kesehatan di Jakarta, 29 Agustus 2004. 


Hak Dasar 

Lebih jauh ia mengatakan pemerataan layanan kesehatan merupakan hak dasar 
masyarakat yang harus terpenuhi. "Saya mendorong untuk terus dilakukannya 
peningkatan pencegahan penyakit menular, peningkatan upaya imunisasi, penurunan 
angka kematian ibu dan anak, pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas 
kesehatan dasar, peningkatan dan ketersediaan petugas kesehatan, obat dan 
perbekalan kesehatan, mendorong berkembangnya industri obat di Indonesia, serta 
perbaikan pengawasan obat dan makanan," katanya. 

Itulah sebagian kecil cuplikan janji-janji kampanye calon presiden yang 
diajukan Partai Demokrat. Bersama Jusuf Kalla, Yudhoyono sepakat, bidang 
pendidikan dan kesehatan merupakan program prioritas bagi kesejahteraan rakyat. 
Lalu bagaimana realisasinya setelah setahun berkuasa? 


Pemahaman mengenai pentingnya investasi sumber daya manusia (SDM) tampaknya 
belum sepenuhnya dimiliki oleh pemimpin bangsa ini. Kemiskinan hanya bisa 
dihapus melalui pemberian pendidikan yang baik dan itu merupakan investasi SDM, 
yang tentu saja ditopang oleh bidang kesehatan. 

Sampai saat ini ternyata pendidikan belum mendapat prioritas dari pemerintah. 
Hal itu terbukti dari minimnya tanggung jawab negara terhadap pembiayaan 
pendidikan. 

Berdasarkan data Balitbang Depdiknas, di tingkat SD dan SMP, 70-80 persen biaya 
pendidikan dikeluarkan oleh masyarakat. Padahal dalam UU Sistem Pendidikan 
Nasional (Sisdiknas), Pasal 34 ayat 2 secara tegas disebutkan mengenai 
kewajiban pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya 
wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. 

Dengan landasan itu, pemerintah pernah memberikan angin segar dengan 
mengeluarkan pernyataan akan menyediakan pendidikan gratis untuk pendidikan 
dasar. Tetapi dalam kenyataan di lapangan, konsep pendidikan dasar gratis 
disempitkan menjadi gratis terbatas. 

Menurut Kepala Divisi Monitoring Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, 
kebijakan pemerintah memberikan pendidikan gratis terkesan sangat tidak serius. 
Tanpa konsep yang jelas, pemerintah hanya menyampaikan jargon politik tentang 
pendidikan gratis. Pemerintah sebetulnya sudah tahu bahwa dengan anggaran Rp 
5,13 triliun, tidak mungkin ada pendidikan gratis. Akhirnya kebijakan yang 
keluar adalah pendidikan gratis terbatas. 

Selain dari segi pendanaan sangat kurang, kelemahan BOS adalah tidak dibukanya 
ruang publik untuk melakukan pengawasan. Sekolah maupun pemerintah daerah dapat 
dengan mudah melakukan mark up jumlah siswa penerima dana tersebut. 

Sedangkan Abduhzen, aktivis Koalisi Pendidikan, melihat adanya kecenderungan 
pemerintah selalu menuntut partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. 
Padahal, sudah jelas pihak yang paling mampu menyelenggarakan pendidikan gratis 
adalah pemerintah. 

Sejauh ini berbagai kalangan menilai pemerintah tidak memiliki political will 
untuk memperbaiki dunia pendidikan, sehingga langkah yang bisa ditempuh adalah 
menggugah kesadaran masyarakat untuk menuntut tanggung jawab pemerintah di 
bidang pendidikan. 


Kegiatan Kuratif 

Di bidang kesehatan pun, kondisinya tak jauh berbeda. Berbagai persoalan 
kesehatan masyarakat belum sanggup ditangani dengan baik. Kasus busung lapar, 
demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis, diare, polio, dan flu burung, 
menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah memberikan pelayanan kesehatan kepada 
rakyatnya. 

Menurut pengamat kesehatan dr Kartono Mohamad, berbagai wabah penyakit yang 
menimpa negeri ini, memang bukan semata-mata kesalahan pemerintahan sekarang, 
tetapi merupakan ledakan "bom waktu" yang ditinggal pemerintahan-pemerintahan 
sebelumnya. 

Kebijakan pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, 
sebenarnya sudah dilakukan sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto dengan 
mendirikan puskesmas di setiap kecamatan, bahkan di kelurahan. Tetapi, yang 
menjadi persoalan bukan hanya mendekatkan pelayanan secara fisik karena 
ternyata kedekatan itu tidak banyak membawa dampak terhadap peningkatan 
kesehatan masyarakat. "Seharusnya ditingkatkan menjadi kedekatan secara program 
yang terarah," ujarnya. 

Baru-baru ini, misalnya, terdengar niat untuk merevitalisasi pos pelayanan 
terpadu (posyandu), tetapi belakangan nyaris tak terdengar lagi. Bahkan, dalam 
kesempatan bertemu dengan dokter-dokter puskesmas di wilayah DKI Jakarta 
beberapa waktu yang lalu, Kartono menyatakan mereka masih belum tahu bagaimana 
merevitalisasi posyandu. Masalah yang dikeluhkan terutama adalah ketiadaan 
anggaran. 

Pelayanan kesehatan bagi warga miskin juga masih sekadar the bleeding heart 
reaction dari Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang kebetulan seorang 
ibu. Pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin (gakin) seperti sekarang 
ini mungkin populer secara politis, tetapi tidak akan membawa dampak besar bagi 
kesehatan rakyat. 

Alasannya, pertama, dana yang lebih dimanfaatkan untuk kegiatan kuratif, yang 
merupakan satu bagian dari program kesehatan yang paling kecil dampaknya 
terhadap peningkatan derajat kesehatan. 

Kedua, hal itu tidak edukatif, karena selain membuat ketergantungan, juga kelak 
ketika dana habis, keluarga miskin tetap akan sakit-sakitan karena mereka tetap 
tidak tahu bagaimana mem- buat dirinya tidak sakit. 

Kondisi yang paling memprihatinkan saat ini adalah komersialisasi di bidang 
kesehatan. Biaya berobat menjadi semakin mahal dan harga obat-obatan pun 
membubung. Pemerintah masih beranggapan sektor kesehatan adalah sumber 
penghasilan. Pemerintah seolah melupakan tanggung jawab memberikan pelayanan 
kesehatan bagi rakyatnya. Sungguh ironis! (A-22/N-4/A-16) 



--------------------------------------------------------------------------------

Last modified: 21/10/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke