Kalau sampai butuh 40 tahun, jangan-jangan Salim juga 
belum berkenalan dengan dirinya sendiri. 

Nikmati saja percekcokan klasik itu sembari tenang-tenang 
nyruput minuman kegemaran dan nyimak yang semua kenal ini, 

http://www.youtube.com/watch_popup?v=7eDRIMNQBow&vq=large

Di serambi sorga bang 'nick' manyaka mestinya senyum-senyum 
denger classical escape ini.  


--- heri latief <herilatief@...> wrote:

> Komentar Salim Said soal tulisan Martin Aleida
>
> Toeti dan Ed yang baik,
> 
> Di bawah ini saya kirimkan memoir Martin Aleida selama yang 
> bersangkutan bekerja di TEMPO. Banyak yang baru saya tahu tentang 
> Martin dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia 
> pernah bekerja di Ekspres sebelum di Tempo, pada hal untuk waktu 
> singkat saya juga pernah bekerja di Ekspres, dan tidak ingat pernah 
> ketemu Martin waktu itu. Saya juga baru tahu bahwa Martin pernah 
> jadi tahanan politik, dan pernah diinterogasi oleh intel Kodam 
> ketika sudah bekerja di Tempo. Martin pintar menyimpan rahasia, 
> sehingga soal interogasi itu baru muncul bagi kami teman-temannya
> hampir 40 tahun kemudian.
> 
> Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari 
> Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan 
> menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan 
> Mohammad (GM) kepada saya dulu. Dengan mengatakan demikian, GM 
> nampaknya atau ingin meyakinkan saya bahwa Martin bukan orang 
> komunis dan karena punya potensi sebagai penulis, boleh saja 
> ditampung di TEMPO. Waktu itu Lukman dan Fikri pernah mengeluh 
> kepada saya mengenai keputusan GM menerima Martin. "Ini bisa 
> mempersulit kita,"kata Lukman waktu itu.
> 
> Di kemudian hari, di Praha ini, saya membaca buku John Roose 
> Pretext for Mass Murder yang mengungkapkan tentang Martin (halaman 
> 126,173 dan 290). Ternyata Martin itu kader partai yang sudah 
> pernah mengikuti sekolah partai. Jadii dia bukan anak muda yang
> polos yang tidak tahu apa-apa, seperti kata GM kepada saya di awal 
> tahun tujuhpuluhan. Lagi pula kalau dia polos, sulit rasanya 
> membayangkan Harian Rakyat, sebagai organ utama PKI, menerima
> Martin. 
> 
> Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu 
> sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO? Atau GM 
> tahu tapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan GM 
> kepada rezim otoriter orde baru? Menarik untuk dicatat bahwa selain 
> Martin, orang PKI/Lekra yang dipekerjakan di TEMPO kemudian adalah 
> Maniaka Tahir Thayeb dan Amarzan Ismail Lubis ( eks pulau Buru). 
> Sekarang setelah orde baru runtuh, PKI bukan lagi persoalan, GM 
> tentu bisa mengklaim bahwa beliau berani menantang orde baru 
> dengan mempekerjakan musuh-musuh Orba, yakni orang-orang komunis 
> itu, justru pada saat jaya-jayanya rezim Suharto.
> 
> Hal kedua yang ingin saya catat dari memoir Martin ini adalah 
> ingatannya yang tidak akurat dan kecenderungannya mencampuradukkan 
> Dichtung und Warhait. Untuk diketahui, dalam salah satu rapat 
> mengenai "perebutan saham" antara kita yang 17 orang dengan mereka 
> yang merasa pemilik TEMPO(GM,FJ,Bur, Christianto Wibisono, Usamah 
> dan Haryoko), kita memang sepakat bahwa yang masuk golongan kita 
> adalah mereka yang bekerja sejak awal TEMPO, dan itu bukan cuma 
> wartawan melainkan juga termasuk office boy seperti Wage. Martin 
> datang belakangan -- seperti dia akui sendiri dia bergabung di 
> TEMPO ketika kita sudah berkantor di Senen Raya -- sehingga
> kami tidak menghitungnya sebagai bagian dari kita. Jadi ingatan 
> Martin bahwa saya yang menolak dia (kalau kalimat yang dikutipnya 
> memang keluar dari mulut saya, sutu hal yang saya ragukan) adalah
> serangan pribadi yang tidak fair kepada saya sebab yang saya 
> katakan itu (kalau betul saya katakan sebagai yang dikutip Martin 
> dalam memoirnya tsb) adalah keputusan bersama. Jadi nothing to do 
> with Martin personally.
> 
> Cerita Martin mengenai dia bermalam di kamar saya di Matraman Raya, 
> saya yakin adalah hasil kreativitasnya sebagai penulis novel. 
> Bagaimana saya mengajaknya tidur di rumah saya, sementara saya 
> tidak pernah akrab dengan Martin. Lagi pula Martin waktu itu sudah 
> berkeluarga, ketika kami semua masih bujangan. Orang TEMPO yang 
> pernah tidur di kamar bujangan saya, selain GM, adalah almarhum 
> Komar, Dahlan Iskan dan Cristianto Wibisono.
> Martin pasti tidak pernah bermalam di rumah pondokan saya yang 
> letaknya strategis itu (Matraman Raya 51.). Tidak tertutup 
> kemungkinan dia pernah beberapa kali datang ke pondokan saya,
> sendiri atau bersama reporter TEMPO lainnya. Sebab kamar bujangan 
> saya memang sering jadi tempat kongkow-kongkow berbagai macam 
> teman, dari reporter muda TEMPO hingga seniman senior seperti 
> Taufiq Imail, Rendra, HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo,
> Ayip Rosidi,Bastari Asnin Sutarji C. Bachri, Arifin C. Noer 
> dll. Tapi yang saya ingat kunjungan Martin ke pondokan saya hanya 
> satu kali, yakni pada suatu hari lebaran bersama anak gadisnya yang 
> masih kecil waktu itu.
> 
> Yang lebih fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah 
> tentang kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, 
> dengan gagah dia menolaknya. Super fantastis lagi kisahnya tentang 
> Sarwo Edhy datang ke rumah saya dan Martin ada di situ. Almarhum 
> Sarwo Edhy memang beberapa kali mampir di pondokan saya (satu kamar 
> kecil dalam sebuah gedung besar yang bagian utamanya/depan dulu
> menjadi kantor Gerwani, bukan dapur) tapi teman yang pernah jumpa \
> Pak Sarwo di pondokan saya itu hanyalah GM yang memang pernah 
> tinggal bersama saya secara acak sebelum kawin dengan Widarti.
> 
> Mohon maaf, tapi saya harus mengatakan bahwa cerita Martin tentang 
> pistol serta jumpa Pak Sarwo Edhy di rumah saya adalah isapan 
> jempol besar yang sangat bisa dimaafkan karena Martin adalah 
> seorang penulis prosa yang tergolong lumayan. Pertanyaannya lalu, 
> berapa banyakkah dari kisahnya (memoirnya) yang sejarah dan berapa 
> banyak pula yang hanya merupakan fantasi dari seorang penulis novel?
> 
> Salim Said.
> 
> --------------------------------------
> 
>  
> Suara dari Kubur (Tanggapan untuk Salim Said) 
> Salim Said telah memberikan tanggapan terhadap memoar saya. Tulisan 
> itu saya susun untuk disumbangkan kepada upaya teman-teman yang
> ingin menerbitkan kumpulan tulisan serupa dari mereka yang pernah 
> bekerja sebagai wartawan  majalah berita mingguan TEMPO. Putu 
> Wijaya, A. Dahana, Eka Budianta, Budiman S.  Hartoyo, Toeti 
> Kakiailatu dan beberapa lagi, sudah menyampaikan tulisan mereka.  
> Tulisan saya, resensi untuk "Wars Within," tentang sepenggal 
> sejarah TEMPO, yang ditulis Janet Steele, merupakan tulisan paling 
> awal yang diterima teman-teman. Karena tulisan itu berbentuk 
> resensi, maka saya tambahkan lagi, sekarang yang berbentuk memoar. 
> Dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman mantan TEMPO yang jadi 
> motor rencana penerbitan itu, saya usulkan agar tanggapan Salim 
> terhadap memoar saya dimuat saja. (Salim sendiri tidak mau 
> memberikan sumbangannya.) Dan teman-teman setuju. Saya pikir, 
> cita-cita saya untuk menghargai perbedaan pendapat dengan begitu
> akan tercapai. 
> Biarlah Salim menggunakan sebaik-baiknya kesempatan yang dia 
> peroleh untuk meluruskan apa yang dia kira telah saya bengkokkan. 
> Namun, perjalanan waktu menggoda saya untuk memberikan tanggapan 
> atas tanggapannya itu. (Dan saya tidak berniat untuk memberikan 
> tulisan ini kepada teman-teman yang sedang mempersiapkan kumpulan 
> memoar orang-orang TEMPO tadi) Teman-teman muda, seperti Saut, 
> Bonnie, Iqbal, Agustinus, dan beberapa lagi, yang adalah sastrawan 
> dan wartawan, mendesak saya, "Abang seharusnya menjawab, supaya 
> semuanya terang." Generasi saya telah gagal menuliskan sejarah 
> dengan jujur, karena stigma  terhadap sesuatu fihak. Saya 
> terpanggil untuk menyambut seruan teman-teman muda itu, mereka 
> yang sehari-hari bergelut dengan saya. Dan inilah tanggapanku. 
> Saya mulai dari soal-soal remeh temeh, untuk kemudian mengalir ke
> hal-hal yang substansial. Mungkin tertumpang emosi di sana-sini. 
> Tapi, sejauh dia spontan saya kira malah akan memperkaya warna saya 
> di depan teman-teman. "Banyak yang baru saya tahu tentang Martin 
> dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia .... Martin 
> pintar menyimpan rahasia, sehingga soal interogasi itu baru muncul 
> bagi kami teman-temannya hampir 40 tahun kemudian," begitu tulis 
> Salim. Hahaha..! Saya tak percaya ini. Si Martin itu luarbiasa,  
> hampir 40 tahun kemudian Salim (yang pernah menjadi atasan 
> langsungnya di TEMPO) baru tahu siapa dia. Ini laki-laki edan, dia 
> mengalahkan perempuan yang disusupkan komunis jadi sekretaris 
> Willy Brandt. Ketika terbongkar, Kanselir itu pun jatuh dibuatnya. 
> Cewek itu ketahuan tak sampai lima tahun kemudian. Martin 40 tahun! 
> Euy...! Apakah saya tidak bercerita siapa saya kepada Anda bisa
> dimahmilubkan, perlu ditangkap, dianggap sebagai penjahat 
> setingkat kedurjanaan setan!? Wallahu alam. Salim baru tahu tentang 
> saya, (apalah awak ini) walau tak secara lagsung dia katakan, 
> setelah dia membaca "Pretext For Mass Murder" disertasi doktoral 
> John Roosa (salah lagi, bukan Roose! seperti yang dituliskan 
> Salim.) Menurut Salim  nama saya muncul dalam buku itu di halaman 
> 126, 173 dan 290. Salah!, 126, 173,  289n47. Yang nyata-nyata di 
> depan mata saja Salim bisa salah. Bagaimana ini? (Untuk informasi 
> bagi Salim, dalam edisi Indonesia buku itu "Dalih Pembunuhan  
> Massal," namaku muncul di halaman 180, 198n47, 239-240.) Kabar yang 
> menghibur adalah berita yang saya terima dari sebuah sumber 
> primer. Katanya, John Roosa (hebatnya kawan yang berwajah mirip 
> Richard Gere ini) menemukan tanggapan Salim tersebut di dunia maya,
> dan dia kabarnya tertawa terpingkal-pingkal membaca bahwa Salim 
> baru tahu tentang Martin 40 tahun  kemudian! Hihihihi... Tulis 
> Salim selanjutnya: "Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu 
> anak  muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh 
> temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian 
> Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad  (GM) kepada saya dulu." 
> Saya ragu apakah kutipan ini benar-benar cerita GM. Tapi, ya 
> mungkin saja, karena tahu orang yang dia hadapi adalah Salim, 
> wartawan "Angkatan Bersenjata" yang kecenderungan pikirannya tidak 
> akan menjamin bahwa  kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, 
> apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara 
> itu. Yang jelas, ketika saya melamar ke EKSPRES (atas anjuran Jufri
> Tanissan, staf EKSPRES, karena kasihan melihat saya nganggur. 
> Dari Jufri kemudian saya dengar GM pernah tanya kepadanya di mana 
> dia kenal dengan saya, sehingga merekomendasikan Martin untuk 
> melamar ke EKSPRES?) saya mengatakan kepada GM bahwa saya adalah 
> penulis beberapa cerita pendek yang dimuat "Horison." Belakangan GM 
> tahu bahwa saya pernah menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan 
> Zaman Baru, bersama Rivai Apin dan S. Anantaguna. Saya tak pernah
> secara spesifik menceritakan bahwa saya pernah bekerja di Harian 
> Rakyat kepada GM. Saya masih ingat, ketika para tahanan politik 
> dibebaskan dari Buru, GM meminta saya untuk mengundang Apin dan 
> Boejoeng Saleh untuk datang menemuinya di TEMPO, dan saya 
> laksanakan dengan baik. Merasa dihormati. GM tambah tahu mengenai 
> saya dari perjalanan waktu. 
> "Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu
> sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO?" ulas 
> Salim dengan menggunakan kalimat tanya? Ya, GM tahu betul bahwa 
> saya bisa menulis. Dan saya masih ingat Siswadhi, kepala 
> perpustakaan TEMPO, bekas wartawan majalah "Jaya" membocorkan hasil 
> rapat redaksi, dengan mengatakan saya adalah reporter paling 
> produktif dan "baik" dalam analisa para redaktur. Siswadhi sudah 
> mengenal saya ketika saya bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat. 
> Salim kemudian berasumsi dengan pertanyaan bahwa GM tahu tentang 
> Martin "tapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan 
> GM kepada (Mas Salim, "perlawanan" diikuti kata preposisi 
> "terhadap" bukan "kepada") rezim otoriter orde baru?"
> Maaf, karena nada tulisan Salim berbau amis darah terhadap saya, 
> maka saya ingin mengatakan ini adalah pertanyaan yang keji. GM, di
> mata saya  adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya 
> bekerja, untuk melepaskan  saya dari jerat pengangguran, untuk 
> membiarkan saya kembali ke dunia saya (penulisan), bukan untuk 
> menggunakan saya sebagai pemukul terhadap Orde Baru, sebagaimana 
> Salim telah memanfaatkan apa yang dia ketahui dengan telat 
> mengenai saya sebagai pentungan untuk menghantam GM. Pernah sekali 
> Nyoto (Ketua Dewan Redaksi Harian Rakyat) menunjukkan kepada saya  
> tulisannya tentang Soekarnoisme sebelum turun cetak, dan saya hanya 
> mengangguk  setuju, karena memang saya tak punya keberatan. GM, 
> paling tidak dua kali menunjukkan tulisannya kepada saya sebelum 
> turun cetak. Pertama pengantar redaksi yang dia tulis untuk 
> peristiwa jatuhnya pesawat terbang di Tinombala, di mana salah 
> seorang wartawan TEMPO jatuh jadi korban. Dia menguji kebenaran 
> tulisannya karena tahu saya yang berada di lapangan, dan menulis 
> satu laporan utama mengenai bencana itu. Kedua, GM menunjukkan 
> tulisannya yang kritis mengenai Pramoedya Ananta Toer, dan saya 
> katakan tulisan itu harus ditunjukkan dulu kepada Pram, karena 
> kalau sudah dimuat nanti, dia belum punya hak jawab sebagai tahanan 
> politik. Dan ya Tuhan, GM memasukkan naskah itu ke dalam laci.  
> Selama saya jadi wartawan tak pernah saya menemukan penulis setulus 
> ini budinya. Apalah awak ni... Kredibilitas tulisan Salim tercemar 
> karena terlalu banyak salah. Soal kecil, tapi mencermin jiwa 
> penulisnya. Misalnya, Amarzan Ismail Hamid (bukan Amarzan Ismail 
> Lubis!). Manyaka Thayeb (bukan Manjaka Tahir Thayeb, walau teman 
> ini kadang-kadang menggunakan T. di depan namanya, karena dia
> itu Teuku). Ajip Rosidi (bukan Ayip...) Tambahkan A. di depan nama
> Bastari Asnin. Kesaksamaan, kesaksamaan, sekali lagi kesaksamaan! 
> Titel kesarjanaan bukan untuk diumbar, melainkan cermin dari 
> tingkat pertanggungjawaban dan penghargaan kita dalam menjunjung 
> martabat. Nada tulisan Salim tentang saya, Amarzan Ismail Hamid dan 
> Manyaka Thayeb, walau tak terang-terangan, tapi kalau dibaca dengan 
> teliti, diikuti gendangnya, terasa adalah bahwa orang-orang ini 
> paling tidak harus disingkirkan, mungkin lebih tepat harus 
> dibersihkan, dibabat, barangkali. Terbayang di mata saya, dia 
> berdiri berkacak pinggang berdiri di atas bukit, menatap kami yang 
> matanya sudah ditutup kain hitam, dan siap untuk menghunus pistol.. 
> Baca ini: "Orang TEMPO yang pernah tidur di kamar bujangan saya, 
> selain GM, adalah almarhum Komar.." Bagaimana mungkin jasad 
> almarhum Komar menginap di rumah Anda. Atau memang itu maksudnya?
> Kan maksudnya Komar (almarhum)... Kecil tapi mengisyaratkan 
> sesuatu, maaf. Dichtung und Warhait, kata Salim pula dengan 
> kerennya. Sekali lagi maaf, maksudnya Dichtung und Wahrheit. Saya 
> koreksi karena kita semua kan memupuk Wahrheitsliebe! Saya maafkan, 
> karena Salim di Praha bukan di Berlin. Mari kita bicarakan yang 
> menyangkut soal saham. Sejarahnya! Bukan sahamnya! Saya tidak 
> tertarik dengan duit, paling tidak waktu itu. Perlu Salim ketahui  
> saya bergabung dengan TEMPO 15 Januari 1971, sebelum majalah itu 
> terbit 6 Maret  1971. Saya tidak tahu ada "perebutan saham." 
> Saya tak tertarik itu, Bung. Saya ingat betul, saya diundang 
> Haryoko Trisnadi untuk ikut rapat yang begitu saya duduk baru tahu 
> itu urusan saham. Rapat untuk para calon kapitalis, sebagaimana  
> disindir GM suatu ketika. Rapat itu berlangsung di ruang bawah
> kantor TEMPO lama, yang baru direnovasi. Dindingnya tripleks, 
> ukuran kira-kira 3 kali 5 meter. Di ruang itu jugalah pimpinan 
> TEMPO menerima Duta Besar Inggris, duta besar pertama yang 
> mengunjungi TEMPO. Saya juga ingat anak tangga menuju redaksi 
> sebanyak 13, membelok ke kiri 10 anak tangga, membelok ke kanan 
> menuju ruang redaksi ada tiga anak tangga. Malam-malam di ruang 
> bawah, yang ditempati administrasi siangnya, Putu Wijaya dan grup 
> teaternya berlatih teater. Salah seorang pemainnya adalah pemuda 
> yang  menjadi tukang batu ketika TEMPO merenovasi rumah toko yang 
> dia tempati sebagai markas. Berlatih keras sehingga dia kena TBC 
> dan diobati oleh TEMPO secara teratur, karena belakangan dia 
> bekerja sebagai resepsionis. Saya juga tak lupa  denga ciri-ciri 
> Anda, waktu itu. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia yang suka 
> memelihara kuku, Anda membiarkan kuku kelingking Anda memanjang.
> Dan jarak ibu jari kaki Anda dengan jari tengah begitu renggang. 
> Saya suka itu, karena itu pertanda Anda seorang pejalan jauh. Saya 
> mengagumi Anda, dan inilah kelebihan Anda, ketika menulis sorotan 
> untuk cerita pendek di majalah Sastra  begitu lancar, seperti 
> mendengarkan Anda berbicara bertatap muka. Lancar. Tak banyak orang 
> yang punya bakat seperti itu. Sayang, dunia sastra Anda  
> tinggalkan. Padalah, inilah dunia yang bisa memperhalus budi 
> manusia. Lantas kalau saya pernah di EKSPRES, apakah itu kesalahan 
> saya kalau Anda tak  tahu. Saya berhenti dari EKSPRES karena merasa 
> dikejar-kejar, perasaan yang Anda tak bisa fahami, karena Anda di 
> pihak yang melaksanakan red drive, pemburuan. Juga karena perbulan 
> saya hanya menerima Rp 6.000.= Saya sudah punya anak satu. J.S.
> Hadis, waktu itu Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia 
> Pusat, (orang dekat Ibnu Subroto, juru bicara Angkatan Darat,)  
> sahabat saya, mengajak saya untuk menjalankan kiosnya di Jembatan 
> Merah, tak  jauh dari Manggarai. (Dan GM tahu bagian sejarah 
> pribadi saya yang ini, bahwa  saya kenal Hadis - dia meninggal 
> beberapa tahun lalu. Juga Fikri Jufri. Ibnu Subroto keberatan 
> terhadap berita TEMPO, Hadis meminta saya datang ke rumah  sang 
> jenderal di seberang lapangan Banteng, yang sekarang di tempati 
> Departemen Agama, untuk mengambil semacam bantahan sang jenderal. 
> Saya lupa apa pasalnya. Tapi, bisa dicek di TEMPO.) "Yang lebih 
> fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah tentang 
> kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, dengan 
> gagah dia menolaknya." Begitu kata Salim. Sebenarnya, bukan episode
> itu "yang lebih fantastis." Saya ingin dikenang lebih dahsyat lagi. 
> Begini. Ketika terjadi pertikaian antara Anda dengan saya (saya 
> lupa soal apa), dengan berjalan cepat dari ruang redaksi Anda 
> menginjak-injak meja saya yang terletak dekat pintu, di ujung 
> tangga. GM, setelah menyuruh saya diam, membawa Anda menuruni 
> tangga, dan hilang entah ke mana. Tapi, saya masih sempat 
> berteriak, "Tembaklah, nyawa saya gratis!" Kata-kata saya itu 
> terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang 
> kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di 
> seluruh negeri. Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama 
> kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal 
> pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau 
> kawan di alam baka. Tak sekarang, kelak suatu ketika kita akan  
> jumpa. Memang, waktu itu saya tidak melihat Anda mengeluarkan
> pistol dari sarangnya. Episode ini dramatis, dan jadi kenangan buat 
> saya. Pertemuan dengan Sarwo Edhy benar adanya. Anda salah ketika 
> mengatakan tak mungkin Martin menginap di tempat saya, karena dia 
> sudah berkeluarga. Saya sudah berkeluarga memang. Beranak satu. 
> Ketika itu, saya masih ingat (saya suka minum air putih dan pepaya 
> inilah rahasia kekuatan ingatan saya) waktu itu Agustus tahun 1972. 
> Istri dan anak pertama saya kuungsikan ke Solo, rumah mertua saya, 
> untuk menyambut kelahiran anak saya yang kedua, putri. Saya masih 
> ingat, ketika kwitansi berisi ongkos persalinan di rumah sakit 
> Muhammadiyah yang kira-kira Rp 2.000 saya serahkan kepada bagian 
> admintsrtasi TEMPO, orang-orang heran kok biayanya begitu murah. 
> Sebab ongkos persalinan ketika itu di Jakarta sudah puluhan ribu
> atau malah ratusan ribu rupiah. Gaji saya di  TEMPO waktu itu Rp 
> 10.000. Saya tidak ragu dengan ingatan saya. Saya ingat kata-kata 
> GM kepada Ramadhan KH, suatu saat, bahwa wartawan TEMPO itu 
> "tidak mencatat, mereka menghafal." Apalagi masa yang belum terlalu 
> jauh di belakang. Saya, misalnya, tentu saja masih ingat satu 
> diskusi mengenai plagiarisme di bagian Pustakaloka KOMPAS sebulan 
> lalu. Tamrin Amal Tomagola, dari Universitas Indonesia, bercerita  
> tentang bakat plagiarisme di kalangan mahasiswa yang sudah dimulai 
> sejak dini. Dia bercerita dengan kocaknya tentang rekan dia yang 
> absen tapi minta dia menekenkan namanya di absen. Dosen, Juwono 
> Sudarsono, memanggil Tamrin dan  berujar, "Orang ini saya kenal, 
> saya tak melihatnya tadi, kok di sini ada tandatangannya?" Tamrin 
> menjawab "Dia hadir...Pak" Juwono menimpali, "Baiklah, melihat
> bagaimana kamu menjawab saya tahu apa artinya." Tamrin juga 
> menceritakan dia menuliskan tulisan yang ditugaskan fakultas untuk 
> rekannya itu. Jauh ke belakang, saya juga teringat Anda menyebutkan 
> A. Sibarani sebagai orang  Lekra dalam skripsi S1 Anda. Dan 
> Sibarani datang ke TEMPO mencari Anda dengan mengenakan topi koboi 
> dan sepatu larsa. Di ruang tamu karikaturis terkenal  itu  
> menghardik tak tahan menahan emosi, "Mana Salim?" Sibarani, mungkin 
> lebih kiri dari komunis, tapi dia bekerja untuk Bintang Timur yang 
> berafiliasi dengan Partindo. Saya juga masih ingat Anda mau meneror 
> dia dengan mengerahkan RPKAD. Dan manusia setengah dewa saya, 
> GM-lah yang menasihati Anda supaya jangan melakukan itu. Saya juga 
> ingat betul, Anda membantingkan botol Johny Walker ukuran kecil ke 
> dinding kantor redaksi TEMPO di Proyek Senen, sambil menyumpah
> serapah. Ah... "It was really a disaster." 
> Saya ingin membangkitkan kenangan Anda, pada waktu putri saya yang 
> Anda sebut itu melangsungkan pernikahan di Aula HAMKA Masjid Al 
> Azhar, Anda datang. Terima kasih, dan saya ingat saya memeluk Anda 
> di pelaminan. Itu adalah saat yang luar biasa dalam hidup saya. 
> Kupertemukan mereka yang saling berseteru. Datang di antara 
> undangan adalah GM, Salim Said, A. Sibarani. Taufiq Ismail, Slamet 
> Sukirnanto, Sori Siregar, Amrus Natalsya, Sides Sudyarto DS, Putu 
> Oka, T. Iskandar AS dan lain-lain. Ah, luar biasa perhelatan 
> pernikahan putri saya itu menjadi gelanggang "perdamaian" walau 
> sementara, untuk mereka yang saling tidak saling menyapa, padahal 
> pernah menyatakan sehidup semati. Saya menulis memoar, bukan cerita 
> pendek atau novel. Salam. Martin Aleida 
> ----------------------------------------------------------------
> 
> 
>  
> http://herilatief.wordpress.com/
> http://akarrumputliar.wordpress.com/
> http://sastrapembebasan.wordpress.com/
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 





------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke