Kalau sampai butuh 40 tahun, jangan-jangan Salim juga belum berkenalan dengan dirinya sendiri.
Nikmati saja percekcokan klasik itu sembari tenang-tenang nyruput minuman kegemaran dan nyimak yang semua kenal ini, http://www.youtube.com/watch_popup?v=7eDRIMNQBow&vq=large Di serambi sorga bang 'nick' manyaka mestinya senyum-senyum denger classical escape ini. --- heri latief <herilatief@...> wrote: > Komentar Salim Said soal tulisan Martin Aleida > > Toeti dan Ed yang baik, > > Di bawah ini saya kirimkan memoir Martin Aleida selama yang > bersangkutan bekerja di TEMPO. Banyak yang baru saya tahu tentang > Martin dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia > pernah bekerja di Ekspres sebelum di Tempo, pada hal untuk waktu > singkat saya juga pernah bekerja di Ekspres, dan tidak ingat pernah > ketemu Martin waktu itu. Saya juga baru tahu bahwa Martin pernah > jadi tahanan politik, dan pernah diinterogasi oleh intel Kodam > ketika sudah bekerja di Tempo. Martin pintar menyimpan rahasia, > sehingga soal interogasi itu baru muncul bagi kami teman-temannya > hampir 40 tahun kemudian. > > Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari > Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan > menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan > Mohammad (GM) kepada saya dulu. Dengan mengatakan demikian, GM > nampaknya atau ingin meyakinkan saya bahwa Martin bukan orang > komunis dan karena punya potensi sebagai penulis, boleh saja > ditampung di TEMPO. Waktu itu Lukman dan Fikri pernah mengeluh > kepada saya mengenai keputusan GM menerima Martin. "Ini bisa > mempersulit kita,"kata Lukman waktu itu. > > Di kemudian hari, di Praha ini, saya membaca buku John Roose > Pretext for Mass Murder yang mengungkapkan tentang Martin (halaman > 126,173 dan 290). Ternyata Martin itu kader partai yang sudah > pernah mengikuti sekolah partai. Jadii dia bukan anak muda yang > polos yang tidak tahu apa-apa, seperti kata GM kepada saya di awal > tahun tujuhpuluhan. Lagi pula kalau dia polos, sulit rasanya > membayangkan Harian Rakyat, sebagai organ utama PKI, menerima > Martin. > > Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu > sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO? Atau GM > tahu tapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan GM > kepada rezim otoriter orde baru? Menarik untuk dicatat bahwa selain > Martin, orang PKI/Lekra yang dipekerjakan di TEMPO kemudian adalah > Maniaka Tahir Thayeb dan Amarzan Ismail Lubis ( eks pulau Buru). > Sekarang setelah orde baru runtuh, PKI bukan lagi persoalan, GM > tentu bisa mengklaim bahwa beliau berani menantang orde baru > dengan mempekerjakan musuh-musuh Orba, yakni orang-orang komunis > itu, justru pada saat jaya-jayanya rezim Suharto. > > Hal kedua yang ingin saya catat dari memoir Martin ini adalah > ingatannya yang tidak akurat dan kecenderungannya mencampuradukkan > Dichtung und Warhait. Untuk diketahui, dalam salah satu rapat > mengenai "perebutan saham" antara kita yang 17 orang dengan mereka > yang merasa pemilik TEMPO(GM,FJ,Bur, Christianto Wibisono, Usamah > dan Haryoko), kita memang sepakat bahwa yang masuk golongan kita > adalah mereka yang bekerja sejak awal TEMPO, dan itu bukan cuma > wartawan melainkan juga termasuk office boy seperti Wage. Martin > datang belakangan -- seperti dia akui sendiri dia bergabung di > TEMPO ketika kita sudah berkantor di Senen Raya -- sehingga > kami tidak menghitungnya sebagai bagian dari kita. Jadi ingatan > Martin bahwa saya yang menolak dia (kalau kalimat yang dikutipnya > memang keluar dari mulut saya, sutu hal yang saya ragukan) adalah > serangan pribadi yang tidak fair kepada saya sebab yang saya > katakan itu (kalau betul saya katakan sebagai yang dikutip Martin > dalam memoirnya tsb) adalah keputusan bersama. Jadi nothing to do > with Martin personally. > > Cerita Martin mengenai dia bermalam di kamar saya di Matraman Raya, > saya yakin adalah hasil kreativitasnya sebagai penulis novel. > Bagaimana saya mengajaknya tidur di rumah saya, sementara saya > tidak pernah akrab dengan Martin. Lagi pula Martin waktu itu sudah > berkeluarga, ketika kami semua masih bujangan. Orang TEMPO yang > pernah tidur di kamar bujangan saya, selain GM, adalah almarhum > Komar, Dahlan Iskan dan Cristianto Wibisono. > Martin pasti tidak pernah bermalam di rumah pondokan saya yang > letaknya strategis itu (Matraman Raya 51.). Tidak tertutup > kemungkinan dia pernah beberapa kali datang ke pondokan saya, > sendiri atau bersama reporter TEMPO lainnya. Sebab kamar bujangan > saya memang sering jadi tempat kongkow-kongkow berbagai macam > teman, dari reporter muda TEMPO hingga seniman senior seperti > Taufiq Imail, Rendra, HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo, > Ayip Rosidi,Bastari Asnin Sutarji C. Bachri, Arifin C. Noer > dll. Tapi yang saya ingat kunjungan Martin ke pondokan saya hanya > satu kali, yakni pada suatu hari lebaran bersama anak gadisnya yang > masih kecil waktu itu. > > Yang lebih fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah > tentang kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, > dengan gagah dia menolaknya. Super fantastis lagi kisahnya tentang > Sarwo Edhy datang ke rumah saya dan Martin ada di situ. Almarhum > Sarwo Edhy memang beberapa kali mampir di pondokan saya (satu kamar > kecil dalam sebuah gedung besar yang bagian utamanya/depan dulu > menjadi kantor Gerwani, bukan dapur) tapi teman yang pernah jumpa \ > Pak Sarwo di pondokan saya itu hanyalah GM yang memang pernah > tinggal bersama saya secara acak sebelum kawin dengan Widarti. > > Mohon maaf, tapi saya harus mengatakan bahwa cerita Martin tentang > pistol serta jumpa Pak Sarwo Edhy di rumah saya adalah isapan > jempol besar yang sangat bisa dimaafkan karena Martin adalah > seorang penulis prosa yang tergolong lumayan. Pertanyaannya lalu, > berapa banyakkah dari kisahnya (memoirnya) yang sejarah dan berapa > banyak pula yang hanya merupakan fantasi dari seorang penulis novel? > > Salim Said. > > -------------------------------------- > > > Suara dari Kubur (Tanggapan untuk Salim Said) > Salim Said telah memberikan tanggapan terhadap memoar saya. Tulisan > itu saya susun untuk disumbangkan kepada upaya teman-teman yang > ingin menerbitkan kumpulan tulisan serupa dari mereka yang pernah > bekerja sebagai wartawan majalah berita mingguan TEMPO. Putu > Wijaya, A. Dahana, Eka Budianta, Budiman S. Hartoyo, Toeti > Kakiailatu dan beberapa lagi, sudah menyampaikan tulisan mereka. > Tulisan saya, resensi untuk "Wars Within," tentang sepenggal > sejarah TEMPO, yang ditulis Janet Steele, merupakan tulisan paling > awal yang diterima teman-teman. Karena tulisan itu berbentuk > resensi, maka saya tambahkan lagi, sekarang yang berbentuk memoar. > Dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman mantan TEMPO yang jadi > motor rencana penerbitan itu, saya usulkan agar tanggapan Salim > terhadap memoar saya dimuat saja. (Salim sendiri tidak mau > memberikan sumbangannya.) Dan teman-teman setuju. Saya pikir, > cita-cita saya untuk menghargai perbedaan pendapat dengan begitu > akan tercapai. > Biarlah Salim menggunakan sebaik-baiknya kesempatan yang dia > peroleh untuk meluruskan apa yang dia kira telah saya bengkokkan. > Namun, perjalanan waktu menggoda saya untuk memberikan tanggapan > atas tanggapannya itu. (Dan saya tidak berniat untuk memberikan > tulisan ini kepada teman-teman yang sedang mempersiapkan kumpulan > memoar orang-orang TEMPO tadi) Teman-teman muda, seperti Saut, > Bonnie, Iqbal, Agustinus, dan beberapa lagi, yang adalah sastrawan > dan wartawan, mendesak saya, "Abang seharusnya menjawab, supaya > semuanya terang." Generasi saya telah gagal menuliskan sejarah > dengan jujur, karena stigma terhadap sesuatu fihak. Saya > terpanggil untuk menyambut seruan teman-teman muda itu, mereka > yang sehari-hari bergelut dengan saya. Dan inilah tanggapanku. > Saya mulai dari soal-soal remeh temeh, untuk kemudian mengalir ke > hal-hal yang substansial. Mungkin tertumpang emosi di sana-sini. > Tapi, sejauh dia spontan saya kira malah akan memperkaya warna saya > di depan teman-teman. "Banyak yang baru saya tahu tentang Martin > dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia .... Martin > pintar menyimpan rahasia, sehingga soal interogasi itu baru muncul > bagi kami teman-temannya hampir 40 tahun kemudian," begitu tulis > Salim. Hahaha..! Saya tak percaya ini. Si Martin itu luarbiasa, > hampir 40 tahun kemudian Salim (yang pernah menjadi atasan > langsungnya di TEMPO) baru tahu siapa dia. Ini laki-laki edan, dia > mengalahkan perempuan yang disusupkan komunis jadi sekretaris > Willy Brandt. Ketika terbongkar, Kanselir itu pun jatuh dibuatnya. > Cewek itu ketahuan tak sampai lima tahun kemudian. Martin 40 tahun! > Euy...! Apakah saya tidak bercerita siapa saya kepada Anda bisa > dimahmilubkan, perlu ditangkap, dianggap sebagai penjahat > setingkat kedurjanaan setan!? Wallahu alam. Salim baru tahu tentang > saya, (apalah awak ini) walau tak secara lagsung dia katakan, > setelah dia membaca "Pretext For Mass Murder" disertasi doktoral > John Roosa (salah lagi, bukan Roose! seperti yang dituliskan > Salim.) Menurut Salim nama saya muncul dalam buku itu di halaman > 126, 173 dan 290. Salah!, 126, 173, 289n47. Yang nyata-nyata di > depan mata saja Salim bisa salah. Bagaimana ini? (Untuk informasi > bagi Salim, dalam edisi Indonesia buku itu "Dalih Pembunuhan > Massal," namaku muncul di halaman 180, 198n47, 239-240.) Kabar yang > menghibur adalah berita yang saya terima dari sebuah sumber > primer. Katanya, John Roosa (hebatnya kawan yang berwajah mirip > Richard Gere ini) menemukan tanggapan Salim tersebut di dunia maya, > dan dia kabarnya tertawa terpingkal-pingkal membaca bahwa Salim > baru tahu tentang Martin 40 tahun kemudian! Hihihihi... Tulis > Salim selanjutnya: "Yang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu > anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh > temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian > Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad (GM) kepada saya dulu." > Saya ragu apakah kutipan ini benar-benar cerita GM. Tapi, ya > mungkin saja, karena tahu orang yang dia hadapi adalah Salim, > wartawan "Angkatan Bersenjata" yang kecenderungan pikirannya tidak > akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, > apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara > itu. Yang jelas, ketika saya melamar ke EKSPRES (atas anjuran Jufri > Tanissan, staf EKSPRES, karena kasihan melihat saya nganggur. > Dari Jufri kemudian saya dengar GM pernah tanya kepadanya di mana > dia kenal dengan saya, sehingga merekomendasikan Martin untuk > melamar ke EKSPRES?) saya mengatakan kepada GM bahwa saya adalah > penulis beberapa cerita pendek yang dimuat "Horison." Belakangan GM > tahu bahwa saya pernah menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan > Zaman Baru, bersama Rivai Apin dan S. Anantaguna. Saya tak pernah > secara spesifik menceritakan bahwa saya pernah bekerja di Harian > Rakyat kepada GM. Saya masih ingat, ketika para tahanan politik > dibebaskan dari Buru, GM meminta saya untuk mengundang Apin dan > Boejoeng Saleh untuk datang menemuinya di TEMPO, dan saya > laksanakan dengan baik. Merasa dihormati. GM tambah tahu mengenai > saya dari perjalanan waktu. > "Pertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu > sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO?" ulas > Salim dengan menggunakan kalimat tanya? Ya, GM tahu betul bahwa > saya bisa menulis. Dan saya masih ingat Siswadhi, kepala > perpustakaan TEMPO, bekas wartawan majalah "Jaya" membocorkan hasil > rapat redaksi, dengan mengatakan saya adalah reporter paling > produktif dan "baik" dalam analisa para redaktur. Siswadhi sudah > mengenal saya ketika saya bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat. > Salim kemudian berasumsi dengan pertanyaan bahwa GM tahu tentang > Martin "tapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan > GM kepada (Mas Salim, "perlawanan" diikuti kata preposisi > "terhadap" bukan "kepada") rezim otoriter orde baru?" > Maaf, karena nada tulisan Salim berbau amis darah terhadap saya, > maka saya ingin mengatakan ini adalah pertanyaan yang keji. GM, di > mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya > bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk > membiarkan saya kembali ke dunia saya (penulisan), bukan untuk > menggunakan saya sebagai pemukul terhadap Orde Baru, sebagaimana > Salim telah memanfaatkan apa yang dia ketahui dengan telat > mengenai saya sebagai pentungan untuk menghantam GM. Pernah sekali > Nyoto (Ketua Dewan Redaksi Harian Rakyat) menunjukkan kepada saya > tulisannya tentang Soekarnoisme sebelum turun cetak, dan saya hanya > mengangguk setuju, karena memang saya tak punya keberatan. GM, > paling tidak dua kali menunjukkan tulisannya kepada saya sebelum > turun cetak. Pertama pengantar redaksi yang dia tulis untuk > peristiwa jatuhnya pesawat terbang di Tinombala, di mana salah > seorang wartawan TEMPO jatuh jadi korban. Dia menguji kebenaran > tulisannya karena tahu saya yang berada di lapangan, dan menulis > satu laporan utama mengenai bencana itu. Kedua, GM menunjukkan > tulisannya yang kritis mengenai Pramoedya Ananta Toer, dan saya > katakan tulisan itu harus ditunjukkan dulu kepada Pram, karena > kalau sudah dimuat nanti, dia belum punya hak jawab sebagai tahanan > politik. Dan ya Tuhan, GM memasukkan naskah itu ke dalam laci. > Selama saya jadi wartawan tak pernah saya menemukan penulis setulus > ini budinya. Apalah awak ni... Kredibilitas tulisan Salim tercemar > karena terlalu banyak salah. Soal kecil, tapi mencermin jiwa > penulisnya. Misalnya, Amarzan Ismail Hamid (bukan Amarzan Ismail > Lubis!). Manyaka Thayeb (bukan Manjaka Tahir Thayeb, walau teman > ini kadang-kadang menggunakan T. di depan namanya, karena dia > itu Teuku). Ajip Rosidi (bukan Ayip...) Tambahkan A. di depan nama > Bastari Asnin. Kesaksamaan, kesaksamaan, sekali lagi kesaksamaan! > Titel kesarjanaan bukan untuk diumbar, melainkan cermin dari > tingkat pertanggungjawaban dan penghargaan kita dalam menjunjung > martabat. Nada tulisan Salim tentang saya, Amarzan Ismail Hamid dan > Manyaka Thayeb, walau tak terang-terangan, tapi kalau dibaca dengan > teliti, diikuti gendangnya, terasa adalah bahwa orang-orang ini > paling tidak harus disingkirkan, mungkin lebih tepat harus > dibersihkan, dibabat, barangkali. Terbayang di mata saya, dia > berdiri berkacak pinggang berdiri di atas bukit, menatap kami yang > matanya sudah ditutup kain hitam, dan siap untuk menghunus pistol.. > Baca ini: "Orang TEMPO yang pernah tidur di kamar bujangan saya, > selain GM, adalah almarhum Komar.." Bagaimana mungkin jasad > almarhum Komar menginap di rumah Anda. Atau memang itu maksudnya? > Kan maksudnya Komar (almarhum)... Kecil tapi mengisyaratkan > sesuatu, maaf. Dichtung und Warhait, kata Salim pula dengan > kerennya. Sekali lagi maaf, maksudnya Dichtung und Wahrheit. Saya > koreksi karena kita semua kan memupuk Wahrheitsliebe! Saya maafkan, > karena Salim di Praha bukan di Berlin. Mari kita bicarakan yang > menyangkut soal saham. Sejarahnya! Bukan sahamnya! Saya tidak > tertarik dengan duit, paling tidak waktu itu. Perlu Salim ketahui > saya bergabung dengan TEMPO 15 Januari 1971, sebelum majalah itu > terbit 6 Maret 1971. Saya tidak tahu ada "perebutan saham." > Saya tak tertarik itu, Bung. Saya ingat betul, saya diundang > Haryoko Trisnadi untuk ikut rapat yang begitu saya duduk baru tahu > itu urusan saham. Rapat untuk para calon kapitalis, sebagaimana > disindir GM suatu ketika. Rapat itu berlangsung di ruang bawah > kantor TEMPO lama, yang baru direnovasi. Dindingnya tripleks, > ukuran kira-kira 3 kali 5 meter. Di ruang itu jugalah pimpinan > TEMPO menerima Duta Besar Inggris, duta besar pertama yang > mengunjungi TEMPO. Saya juga ingat anak tangga menuju redaksi > sebanyak 13, membelok ke kiri 10 anak tangga, membelok ke kanan > menuju ruang redaksi ada tiga anak tangga. Malam-malam di ruang > bawah, yang ditempati administrasi siangnya, Putu Wijaya dan grup > teaternya berlatih teater. Salah seorang pemainnya adalah pemuda > yang menjadi tukang batu ketika TEMPO merenovasi rumah toko yang > dia tempati sebagai markas. Berlatih keras sehingga dia kena TBC > dan diobati oleh TEMPO secara teratur, karena belakangan dia > bekerja sebagai resepsionis. Saya juga tak lupa denga ciri-ciri > Anda, waktu itu. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia yang suka > memelihara kuku, Anda membiarkan kuku kelingking Anda memanjang. > Dan jarak ibu jari kaki Anda dengan jari tengah begitu renggang. > Saya suka itu, karena itu pertanda Anda seorang pejalan jauh. Saya > mengagumi Anda, dan inilah kelebihan Anda, ketika menulis sorotan > untuk cerita pendek di majalah Sastra begitu lancar, seperti > mendengarkan Anda berbicara bertatap muka. Lancar. Tak banyak orang > yang punya bakat seperti itu. Sayang, dunia sastra Anda > tinggalkan. Padalah, inilah dunia yang bisa memperhalus budi > manusia. Lantas kalau saya pernah di EKSPRES, apakah itu kesalahan > saya kalau Anda tak tahu. Saya berhenti dari EKSPRES karena merasa > dikejar-kejar, perasaan yang Anda tak bisa fahami, karena Anda di > pihak yang melaksanakan red drive, pemburuan. Juga karena perbulan > saya hanya menerima Rp 6.000.= Saya sudah punya anak satu. J.S. > Hadis, waktu itu Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia > Pusat, (orang dekat Ibnu Subroto, juru bicara Angkatan Darat,) > sahabat saya, mengajak saya untuk menjalankan kiosnya di Jembatan > Merah, tak jauh dari Manggarai. (Dan GM tahu bagian sejarah > pribadi saya yang ini, bahwa saya kenal Hadis - dia meninggal > beberapa tahun lalu. Juga Fikri Jufri. Ibnu Subroto keberatan > terhadap berita TEMPO, Hadis meminta saya datang ke rumah sang > jenderal di seberang lapangan Banteng, yang sekarang di tempati > Departemen Agama, untuk mengambil semacam bantahan sang jenderal. > Saya lupa apa pasalnya. Tapi, bisa dicek di TEMPO.) "Yang lebih > fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah tentang > kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, dengan > gagah dia menolaknya." Begitu kata Salim. Sebenarnya, bukan episode > itu "yang lebih fantastis." Saya ingin dikenang lebih dahsyat lagi. > Begini. Ketika terjadi pertikaian antara Anda dengan saya (saya > lupa soal apa), dengan berjalan cepat dari ruang redaksi Anda > menginjak-injak meja saya yang terletak dekat pintu, di ujung > tangga. GM, setelah menyuruh saya diam, membawa Anda menuruni > tangga, dan hilang entah ke mana. Tapi, saya masih sempat > berteriak, "Tembaklah, nyawa saya gratis!" Kata-kata saya itu > terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang > kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di > seluruh negeri. Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama > kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal > pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau > kawan di alam baka. Tak sekarang, kelak suatu ketika kita akan > jumpa. Memang, waktu itu saya tidak melihat Anda mengeluarkan > pistol dari sarangnya. Episode ini dramatis, dan jadi kenangan buat > saya. Pertemuan dengan Sarwo Edhy benar adanya. Anda salah ketika > mengatakan tak mungkin Martin menginap di tempat saya, karena dia > sudah berkeluarga. Saya sudah berkeluarga memang. Beranak satu. > Ketika itu, saya masih ingat (saya suka minum air putih dan pepaya > inilah rahasia kekuatan ingatan saya) waktu itu Agustus tahun 1972. > Istri dan anak pertama saya kuungsikan ke Solo, rumah mertua saya, > untuk menyambut kelahiran anak saya yang kedua, putri. Saya masih > ingat, ketika kwitansi berisi ongkos persalinan di rumah sakit > Muhammadiyah yang kira-kira Rp 2.000 saya serahkan kepada bagian > admintsrtasi TEMPO, orang-orang heran kok biayanya begitu murah. > Sebab ongkos persalinan ketika itu di Jakarta sudah puluhan ribu > atau malah ratusan ribu rupiah. Gaji saya di TEMPO waktu itu Rp > 10.000. Saya tidak ragu dengan ingatan saya. Saya ingat kata-kata > GM kepada Ramadhan KH, suatu saat, bahwa wartawan TEMPO itu > "tidak mencatat, mereka menghafal." Apalagi masa yang belum terlalu > jauh di belakang. Saya, misalnya, tentu saja masih ingat satu > diskusi mengenai plagiarisme di bagian Pustakaloka KOMPAS sebulan > lalu. Tamrin Amal Tomagola, dari Universitas Indonesia, bercerita > tentang bakat plagiarisme di kalangan mahasiswa yang sudah dimulai > sejak dini. Dia bercerita dengan kocaknya tentang rekan dia yang > absen tapi minta dia menekenkan namanya di absen. Dosen, Juwono > Sudarsono, memanggil Tamrin dan berujar, "Orang ini saya kenal, > saya tak melihatnya tadi, kok di sini ada tandatangannya?" Tamrin > menjawab "Dia hadir...Pak" Juwono menimpali, "Baiklah, melihat > bagaimana kamu menjawab saya tahu apa artinya." Tamrin juga > menceritakan dia menuliskan tulisan yang ditugaskan fakultas untuk > rekannya itu. Jauh ke belakang, saya juga teringat Anda menyebutkan > A. Sibarani sebagai orang Lekra dalam skripsi S1 Anda. Dan > Sibarani datang ke TEMPO mencari Anda dengan mengenakan topi koboi > dan sepatu larsa. Di ruang tamu karikaturis terkenal itu > menghardik tak tahan menahan emosi, "Mana Salim?" Sibarani, mungkin > lebih kiri dari komunis, tapi dia bekerja untuk Bintang Timur yang > berafiliasi dengan Partindo. Saya juga masih ingat Anda mau meneror > dia dengan mengerahkan RPKAD. Dan manusia setengah dewa saya, > GM-lah yang menasihati Anda supaya jangan melakukan itu. Saya juga > ingat betul, Anda membantingkan botol Johny Walker ukuran kecil ke > dinding kantor redaksi TEMPO di Proyek Senen, sambil menyumpah > serapah. Ah... "It was really a disaster." > Saya ingin membangkitkan kenangan Anda, pada waktu putri saya yang > Anda sebut itu melangsungkan pernikahan di Aula HAMKA Masjid Al > Azhar, Anda datang. Terima kasih, dan saya ingat saya memeluk Anda > di pelaminan. Itu adalah saat yang luar biasa dalam hidup saya. > Kupertemukan mereka yang saling berseteru. Datang di antara > undangan adalah GM, Salim Said, A. Sibarani. Taufiq Ismail, Slamet > Sukirnanto, Sori Siregar, Amrus Natalsya, Sides Sudyarto DS, Putu > Oka, T. Iskandar AS dan lain-lain. Ah, luar biasa perhelatan > pernikahan putri saya itu menjadi gelanggang "perdamaian" walau > sementara, untuk mereka yang saling tidak saling menyapa, padahal > pernah menyatakan sehidup semati. Saya menulis memoar, bukan cerita > pendek atau novel. Salam. Martin Aleida > ---------------------------------------------------------------- > > > > http://herilatief.wordpress.com/ > http://akarrumputliar.wordpress.com/ > http://sastrapembebasan.wordpress.com/ > > [Non-text portions of this message have been removed] > ------------------------------------ Post message: prole...@egroups.com Subscribe : proletar-subscr...@egroups.com Unsubscribe : proletar-unsubscr...@egroups.com List owner : proletar-ow...@egroups.com Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: proletar-dig...@yahoogroups.com proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: proletar-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/