Seperti perdagangan, pemilu (pemilihan umum) menawarkan sesuatu untuk dibeli (dipilih) masyarakat. Dalam pemilu juga ada “produsen / agen” (partai politik), “promosi” (kampanye), dan “transaksi” (coblosan). Bedanya, pemilu samasekali tidak mengenal after sales service. Pemilu cuma bersahabat dengan aji mumpung. Mumpung musim pemilu, semua orang dirayu. Pemilu usai, jangankan yang golput, yang konstituen saja dikhianati. Malah, rekan sekoalisi bahkan kader partai sendiri pun dimusuhi. Ditambah dengan kacaunya data pemilih dan terus maraknya politik dagang sapi, maka sempurnalah pemilihan umum menyerupai perdagangan bebas. Ratusan juta rakyat hanya dilihat sebagai pasar yang menggiurkan; puluhan partai kecil disanjung sebagai bukti pertumbuhan demokrasi; dan kekayaan pun bertimbunan di kumpulan yang itu-itu melulu, kumpulan pengusaha kekuasaan.
Ya, sejak diberlakukannya sistem pemilihan langsung dalam pemilu, negeri kepulauan ini diganyang ribuan “pengusaha” yang mengadu nasib dalam tender kekuasaan. Lalu, para pemenang tender (baik pilkada, pileg, maupun pilpres) rajin berjanji soal kesejahteraan. Padahal, kerja mereka ya cuma memeras rakyat lewat aneka proyek dan kenaikan harga. Persis belaka dengan negara-negara kaya yang menjanjikan kesetaraan global lewat perdagangan bebas. Padahal, itu cuma akal-akalan untuk meraup keuntungan dengan memperdaya pekerja murah - sambil membujuk pemimpin negeri bahwa impor lebih praktis ketimbang memproduksi sendiri. Tentu, kita bisa (dan boleh) menyalahkan para pemimpin yang begitu gampang tunduk kepada negara-negara kaya pengemban misi nekolim. Tetapi jangan juga kita lupa menertawakan diri sendiri yang telah menjadikan para bedebah sebagai pemimpin lewat perdagangan bebas di sektor pemilu. Sebagai rakyat cerdas yang bisa menertawai pemimpin, mestinya kita juga bisa mengoreksi sistem pemilu yang hasilnya terbukti cuma membenam seluruh rakyat - baik yang memilih si bedebah, memilih bukan bedebah, maupun yang golput bahkan jabang bayi - ke dalam kubangan utang sekalipun para bedebah (pengutangnya) telah pensiun. Setengah abad sudah bangsa ini dipaksa tak bekutik lantaran utang. Kita tidak butuh perdagangan bebas yang dinyatakan KTT APEC 2013 barusan sebagai cara “memperbaiki peringkat utang”. Kita samasekali tidak butuh perdagangan bebas yang bisanya cuma “memperbaiki peringkat utang”. Bangsa ini ingin berdaulat agar bisa mencapai sendiri kesejahteraannya tanpa dihambat jeratan utang. Kita butuh pemimpin-pemimpin yang bisa membebaskan negeri ini dari (jeratan) utang. Bukan bedebah yang terus-terusan kampanye kendati kekuasaannya sebentar lagi gulung tikar. Bangsa ini tidak membutuhkan pemilu yang perdagangan bebas, melainkan pemilu yang hasilnya memuliakan seluruh rakyat, baik yang dipilih, yang memilih, yang tidak memilih, maupun jabang bayi.