[psikologi_net] Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati
Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Tempat: Pascasarjana Universitas Sahid Jaya di hotel Sahid Jaya, Jakarta. Tanggal waktu: Sabtu, 22 April 2006 Jam 10.00 WIB selesai. Judul asli: Komentar Tentang; Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Penulis: Drs. Juswan Setyawan Email Penulis: [EMAIL PROTECTED] Diposting didiskusikan di: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15219 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6464 Disebarluaskan oleh Vincent Liong di berbagai maillist. Komentar Tentang; Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Demikian judul undangan yang disebarkan Vincent melalui milis VCL dan beberapa milis lain untuk memancing para calon peminat dan pemerhati masalah-masalah fenomenologis. Judul tersebut tampak (berusaha) bersifat netral tetapi dari perincian hal-hal yang akan diperkenalkan dan media yang akan dipakai mengindikasikan aroma metafisis yang kuat. Sejak semula dikotomi antara logical intelligence dan intuitive intelligence masih dipegang teguh oleh beberapa peserta seminar seakan-akan kedua hal tersebut memiliki domain yang terpisah dan antara keduanya seakan-akan terdapat sekat-sekat yang tak dapat ditembus. Masing-masing kuat berpegang dengan norma-norma kerjanya sendiri sendiri. Padahal otak kiri manusia yang (konon) diterima sebagai mewakili kawasan logika dan otak kanan manusia yang mewakili intuisi manusia sesungguhnya keduanya bekerja secara vektoral dan alternating. Untuk mudahnya kita dapat membayangkannya bekerja seperti pada suatu perangkat musik stereo. Kita berada di tengah-tengah medan antara dua loudspeaker yang mengeluarkan nada yang berbeda, namun kita mendengarkan keutuhannya sebagai suatu harmoni. Demikian pula pernah ada penelitian yang menemukan bahwa pada kesan pertama (first impression) orang hampir selalu melihat secara gestalt dan baru kemudian orang turun kepada detail. Otak kanan secara cepat dan sekilas melihat keseluruhan kemudian beralih giliran otak kiri mengambil alih untuk menganalisis detail secara kritis. Contoh yang pernah saya baca ialah suatu pola gestalt yang berbentuk cangkir berkuping tetapi setelah diteliti ternyata merupakan suatu paduan gambar rekayasa di mana detail seluruhnya terdiri dari angka-angka saja dan bukan gambar. Sama halnya, kalau kita masih ingat atau pernah melihat, gambar Monalisa yang dibuat lewat hasil ketikan mesin ketik kuno pakai pita yang memakai seluruh ikon-ikon alfa-numerik yang tersedia. Secara empirik kita juga mengalami kalau melihat suatu film yang sama berkali-kali. Saat menonton untuk kedua (atau kesekian) kalinya kita mulai mencari figur sentral dan antagonis sejak pertama kalinya mereka muncul. Kita mencari apa saja yang dilakukannya secara sekuential di mana pada saat pertama kali menonton kita bahkan tidak tahu eksistensi dan peran figur-figur antagonis yang masih tersamar tersebut. Maka tidak heran kalau pertanyaan utama dan pertama yang diajukan ialah bagaimana mungkin menjelaskan sesuatu bila terlebih dahulu tidak (dapat) dijabarkan metodiknya. Itu tampaknya sama sekali tidak logis. Karena dalam pola berpikir berdasarkan logical intelligence metodik mendahului deskripsi sebagai hal yang perlu untuk terpenuhi syarat akan adanya suatu logical sequence. Empati dan komunikasi empatik bukan pertama-tama soal logika walaupun memiliki corak logikanya sendiri. Bila kita melihat seseorang dan langsung merasa antipati kepadanya lalu pertanyaannya apakah dasar logikanya perasaan tersebut? Kita belum pernah berjumpa dengan orang itu sebelumnya sehingga tidak mengenalnya apalagi berhadapan langsung dengan sikap dan perilakunya. Namun, wajah seseorang memperlihatkan seribu - mungkin selaksa - ikon yang diterima (belum lagi tetapi termasuk auranya) secara gestalt oleh otak kanan kita dan dalam bilangan nano-detik menyampaikan kesimpulan-antipatik kepada kita melalui otak kiri. Sementara itu otak kiri kita masih akan terus-menerus bertanya detail Apa-nya lagi dan Mengapa-nya serta menuntut bukti-bukti untuk verifikasi kesimpulan tadi. Padahal olah-detail telah lama rampung dan disampaikan oleh otak kanan kepada otak kiri dengan hasil final tadi, yaitu bahwa orang tersebut tidak simpatik dan karena itu kitapun langsung merasa (tanpa alasan logis) antipati kepadanya. Proses vektoral itu terjadi demikian cepatnya dalam bilangan nano-detik sehingga kalau dipakai proses dialektik yang biasa dengan analisis logical intelligence biasanya akan memakan waktu yang demikian lama dan itupun dengan hasil yang belum tentu memuaskan. Otak manusia itu ibarat dan sungguh-sungguh semacam psycho-cybernetic aparatus atau super-komputer-alami yang mampu mengolah milyaran-bit informasi dalam bilangan nano-detik. Umpamanya saja kita ingin menerima seorang CEO untuk perusahaan kita dan kita mengundangnya untuk suatu dinner. Mana mungkin kita berani menyuruh beliau pergi
[psikologi_net] Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati
Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Tempat: Pascasarjana Universitas Sahid Jaya di hotel Sahid Jaya, Jakarta. Tanggal waktu: Sabtu, 22 April 2006 Jam 10.00 WIB selesai. Judul asli: Komentar Tentang; Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Penulis: Drs. Juswan Setyawan Email Penulis: [EMAIL PROTECTED] Diposting didiskusikan di: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15219 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6464 Disebarluaskan oleh Vincent Liong di berbagai maillist. Komentar Tentang; Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati Demikian judul undangan yang disebarkan Vincent melalui milis VCL dan beberapa milis lain untuk memancing para calon peminat dan pemerhati masalah-masalah fenomenologis. Judul tersebut tampak (berusaha) bersifat netral tetapi dari perincian hal-hal yang akan diperkenalkan dan media yang akan dipakai mengindikasikan aroma metafisis yang kuat. Sejak semula dikotomi antara logical intelligence dan intuitive intelligence masih dipegang teguh oleh beberapa peserta seminar seakan-akan kedua hal tersebut memiliki domain yang terpisah dan antara keduanya seakan-akan terdapat sekat-sekat yang tak dapat ditembus. Masing-masing kuat berpegang dengan norma-norma kerjanya sendiri sendiri. Padahal otak kiri manusia yang (konon) diterima sebagai mewakili kawasan logika dan otak kanan manusia yang mewakili intuisi manusia sesungguhnya keduanya bekerja secara vektoral dan alternating. Untuk mudahnya kita dapat membayangkannya bekerja seperti pada suatu perangkat musik stereo. Kita berada di tengah-tengah medan antara dua loudspeaker yang mengeluarkan nada yang berbeda, namun kita mendengarkan keutuhannya sebagai suatu harmoni. Demikian pula pernah ada penelitian yang menemukan bahwa pada kesan pertama (first impression) orang hampir selalu melihat secara gestalt dan baru kemudian orang turun kepada detail. Otak kanan secara cepat dan sekilas melihat keseluruhan kemudian beralih giliran otak kiri mengambil alih untuk menganalisis detail secara kritis. Contoh yang pernah saya baca ialah suatu pola gestalt yang berbentuk cangkir berkuping tetapi setelah diteliti ternyata merupakan suatu paduan gambar rekayasa di mana detail seluruhnya terdiri dari angka-angka saja dan bukan gambar. Sama halnya, kalau kita masih ingat atau pernah melihat, gambar Monalisa yang dibuat lewat hasil ketikan mesin ketik kuno pakai pita yang memakai seluruh ikon-ikon alfa-numerik yang tersedia. Secara empirik kita juga mengalami kalau melihat suatu film yang sama berkali-kali. Saat menonton untuk kedua (atau kesekian) kalinya kita mulai mencari figur sentral dan antagonis sejak pertama kalinya mereka muncul. Kita mencari apa saja yang dilakukannya secara sekuential di mana pada saat pertama kali menonton kita bahkan tidak tahu eksistensi dan peran figur-figur antagonis yang masih tersamar tersebut. Maka tidak heran kalau pertanyaan utama dan pertama yang diajukan ialah bagaimana mungkin menjelaskan sesuatu bila terlebih dahulu tidak (dapat) dijabarkan metodiknya. Itu tampaknya sama sekali tidak logis. Karena dalam pola berpikir berdasarkan logical intelligence metodik mendahului deskripsi sebagai hal yang perlu untuk terpenuhi syarat akan adanya suatu logical sequence. Empati dan komunikasi empatik bukan pertama-tama soal logika walaupun memiliki corak logikanya sendiri. Bila kita melihat seseorang dan langsung merasa antipati kepadanya lalu pertanyaannya apakah dasar logikanya perasaan tersebut? Kita belum pernah berjumpa dengan orang itu sebelumnya sehingga tidak mengenalnya apalagi berhadapan langsung dengan sikap dan perilakunya. Namun, wajah seseorang memperlihatkan seribu - mungkin selaksa - ikon yang diterima (belum lagi tetapi termasuk auranya) secara gestalt oleh otak kanan kita dan dalam bilangan nano-detik menyampaikan kesimpulan-antipatik kepada kita melalui otak kiri. Sementara itu otak kiri kita masih akan terus-menerus bertanya detail Apa-nya lagi dan Mengapa-nya serta menuntut bukti-bukti untuk verifikasi kesimpulan tadi. Padahal olah-detail telah lama rampung dan disampaikan oleh otak kanan kepada otak kiri dengan hasil final tadi, yaitu bahwa orang tersebut tidak simpatik dan karena itu kitapun langsung merasa (tanpa alasan logis) antipati kepadanya. Proses vektoral itu terjadi demikian cepatnya dalam bilangan nano-detik sehingga kalau dipakai proses dialektik yang biasa dengan analisis logical intelligence biasanya akan memakan waktu yang demikian lama dan itupun dengan hasil yang belum tentu memuaskan. Otak manusia itu ibarat dan sungguh-sungguh semacam psycho-cybernetic aparatus atau super-komputer-alami yang mampu mengolah milyaran-bit informasi dalam bilangan nano-detik. Umpamanya saja kita ingin menerima seorang CEO untuk perusahaan kita dan kita mengundangnya untuk suatu dinner. Mana mungkin kita berani menyuruh beliau pergi