[psikologi_net] Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati

2006-04-28 Terurut Topik Vincent Liong



Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika
 Komunikasi Empati

Tempat: Pascasarjana Universitas Sahid Jaya di hotel
Sahid Jaya, Jakarta. 
Tanggal  waktu: Sabtu, 22 April 2006 Jam 10.00 WIB –
selesai. 


Judul asli: Komentar Tentang; “Pelatihan Sehari
(Informal) Logika  Komunikasi Empati”
Penulis: Drs. Juswan Setyawan 
Email Penulis: [EMAIL PROTECTED]
Diposting  didiskusikan di:
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15219
 
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6464
Disebarluaskan oleh Vincent Liong di berbagai
maillist. 


Komentar Tentang; 
“Pelatihan Sehari (Informal) Logika  Komunikasi
Empati”


 Demikian judul undangan yang disebarkan
Vincent melalui milis VCL dan beberapa milis lain
untuk memancing para calon peminat dan pemerhati
masalah-masalah fenomenologis. Judul tersebut tampak
(berusaha) bersifat netral tetapi dari perincian
hal-hal yang akan diperkenalkan dan media yang akan
dipakai mengindikasikan aroma metafisis yang kuat.


 Sejak semula dikotomi antara “logical
intelligence” dan “intuitive intelligence” masih
dipegang teguh oleh beberapa peserta seminar
seakan-akan kedua hal tersebut memiliki domain yang
terpisah dan antara keduanya seakan-akan terdapat
sekat-sekat yang tak dapat ditembus. Masing-masing
kuat berpegang dengan norma-norma kerjanya sendiri
sendiri.

Padahal otak kiri manusia yang (konon) diterima
sebagai mewakili kawasan logika dan otak kanan manusia
yang mewakili intuisi manusia sesungguhnya keduanya
bekerja secara vektoral dan alternating. Untuk
mudahnya kita dapat membayangkannya bekerja seperti
pada suatu perangkat musik stereo. Kita berada di
tengah-tengah medan antara dua loudspeaker yang
mengeluarkan nada yang berbeda, namun kita
mendengarkan keutuhannya sebagai suatu harmoni.

 
 Demikian pula pernah ada penelitian yang
menemukan bahwa pada “kesan pertama” (first
impression) orang hampir selalu melihat secara
“gestalt” dan baru kemudian orang turun kepada detail.
Otak kanan secara cepat dan sekilas melihat
keseluruhan kemudian beralih giliran otak kiri
mengambil alih untuk menganalisis detail secara
kritis. Contoh yang pernah saya baca ialah suatu pola
gestalt yang berbentuk “cangkir berkuping” tetapi
setelah diteliti ternyata merupakan suatu paduan
gambar rekayasa di mana detail seluruhnya terdiri dari
angka-angka saja dan bukan gambar. Sama halnya, kalau
kita masih ingat atau pernah melihat, gambar Monalisa
yang dibuat lewat hasil ketikan mesin ketik kuno pakai
pita yang memakai seluruh ikon-ikon alfa-numerik yang
tersedia.

Secara empirik kita juga mengalami kalau melihat suatu
film yang sama berkali-kali. Saat menonton untuk kedua
(atau kesekian) kalinya kita mulai mencari figur
sentral dan antagonis sejak pertama kalinya mereka
muncul. Kita mencari apa saja yang dilakukannya secara
sekuential di mana pada saat pertama kali menonton
kita bahkan tidak tahu eksistensi dan peran
figur-figur antagonis yang masih tersamar tersebut.
 

 Maka tidak heran kalau pertanyaan utama dan
pertama yang diajukan ialah bagaimana mungkin
menjelaskan sesuatu bila terlebih dahulu tidak (dapat)
dijabarkan metodiknya. Itu tampaknya sama sekali
“tidak logis”. Karena dalam pola berpikir berdasarkan
“logical intelligence” metodik mendahului deskripsi
sebagai hal yang perlu untuk terpenuhi syarat akan
adanya suatu “logical sequence”.

 
 Empati dan komunikasi empatik “bukan
pertama-tama soal logika” walaupun memiliki corak
logikanya sendiri. Bila kita melihat seseorang dan
langsung merasa antipati kepadanya lalu pertanyaannya
apakah dasar logikanya perasaan tersebut? Kita belum
pernah berjumpa dengan orang itu sebelumnya sehingga
tidak mengenalnya apalagi berhadapan langsung dengan
sikap dan perilakunya. Namun, wajah seseorang
memperlihatkan seribu - mungkin selaksa - ikon yang
diterima (belum lagi tetapi termasuk auranya) secara
gestalt oleh otak kanan kita dan dalam bilangan
nano-detik menyampaikan kesimpulan-antipatik kepada
kita melalui otak kiri. Sementara itu otak kiri kita
masih akan terus-menerus bertanya detail “Apa”-nya
lagi dan “Mengapa”-nya serta menuntut bukti-bukti
untuk verifikasi kesimpulan tadi. Padahal olah-detail
“telah lama rampung” dan disampaikan oleh otak kanan
kepada otak kiri dengan hasil final tadi, yaitu bahwa
orang tersebut “tidak simpatik” dan karena itu kitapun
langsung “merasa” (tanpa alasan logis) antipati
kepadanya. Proses vektoral itu terjadi demikian
cepatnya dalam bilangan nano-detik sehingga kalau
dipakai proses dialektik yang biasa dengan analisis
“logical intelligence” biasanya akan memakan waktu
yang demikian lama dan itupun dengan hasil yang belum
tentu memuaskan. Otak manusia itu ibarat dan
sungguh-sungguh semacam “psycho-cybernetic aparatus”
atau super-komputer-alami yang mampu mengolah
milyaran-bit informasi dalam bilangan nano-detik.


 Umpamanya saja kita ingin menerima seorang CEO
untuk perusahaan kita dan kita mengundangnya untuk
suatu dinner. Mana mungkin kita “berani” menyuruh
beliau pergi 

[psikologi_net] Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika Komunikasi Empati

2006-04-28 Terurut Topik Vincent Liong



Kesaksian Peserta: Pelatihan Sehari (Informal) Logika
 Komunikasi Empati

Tempat: Pascasarjana Universitas Sahid Jaya di hotel
Sahid Jaya, Jakarta. 
Tanggal  waktu: Sabtu, 22 April 2006 Jam 10.00 WIB –
selesai. 


Judul asli: Komentar Tentang; “Pelatihan Sehari
(Informal) Logika  Komunikasi Empati”
Penulis: Drs. Juswan Setyawan 
Email Penulis: [EMAIL PROTECTED]
Diposting  didiskusikan di:
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15219
 
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6464
Disebarluaskan oleh Vincent Liong di berbagai
maillist. 


Komentar Tentang; 
“Pelatihan Sehari (Informal) Logika  Komunikasi
Empati”


 Demikian judul undangan yang disebarkan
Vincent melalui milis VCL dan beberapa milis lain
untuk memancing para calon peminat dan pemerhati
masalah-masalah fenomenologis. Judul tersebut tampak
(berusaha) bersifat netral tetapi dari perincian
hal-hal yang akan diperkenalkan dan media yang akan
dipakai mengindikasikan aroma metafisis yang kuat.


 Sejak semula dikotomi antara “logical
intelligence” dan “intuitive intelligence” masih
dipegang teguh oleh beberapa peserta seminar
seakan-akan kedua hal tersebut memiliki domain yang
terpisah dan antara keduanya seakan-akan terdapat
sekat-sekat yang tak dapat ditembus. Masing-masing
kuat berpegang dengan norma-norma kerjanya sendiri
sendiri.

Padahal otak kiri manusia yang (konon) diterima
sebagai mewakili kawasan logika dan otak kanan manusia
yang mewakili intuisi manusia sesungguhnya keduanya
bekerja secara vektoral dan alternating. Untuk
mudahnya kita dapat membayangkannya bekerja seperti
pada suatu perangkat musik stereo. Kita berada di
tengah-tengah medan antara dua loudspeaker yang
mengeluarkan nada yang berbeda, namun kita
mendengarkan keutuhannya sebagai suatu harmoni.

 
 Demikian pula pernah ada penelitian yang
menemukan bahwa pada “kesan pertama” (first
impression) orang hampir selalu melihat secara
“gestalt” dan baru kemudian orang turun kepada detail.
Otak kanan secara cepat dan sekilas melihat
keseluruhan kemudian beralih giliran otak kiri
mengambil alih untuk menganalisis detail secara
kritis. Contoh yang pernah saya baca ialah suatu pola
gestalt yang berbentuk “cangkir berkuping” tetapi
setelah diteliti ternyata merupakan suatu paduan
gambar rekayasa di mana detail seluruhnya terdiri dari
angka-angka saja dan bukan gambar. Sama halnya, kalau
kita masih ingat atau pernah melihat, gambar Monalisa
yang dibuat lewat hasil ketikan mesin ketik kuno pakai
pita yang memakai seluruh ikon-ikon alfa-numerik yang
tersedia.

Secara empirik kita juga mengalami kalau melihat suatu
film yang sama berkali-kali. Saat menonton untuk kedua
(atau kesekian) kalinya kita mulai mencari figur
sentral dan antagonis sejak pertama kalinya mereka
muncul. Kita mencari apa saja yang dilakukannya secara
sekuential di mana pada saat pertama kali menonton
kita bahkan tidak tahu eksistensi dan peran
figur-figur antagonis yang masih tersamar tersebut.
 

 Maka tidak heran kalau pertanyaan utama dan
pertama yang diajukan ialah bagaimana mungkin
menjelaskan sesuatu bila terlebih dahulu tidak (dapat)
dijabarkan metodiknya. Itu tampaknya sama sekali
“tidak logis”. Karena dalam pola berpikir berdasarkan
“logical intelligence” metodik mendahului deskripsi
sebagai hal yang perlu untuk terpenuhi syarat akan
adanya suatu “logical sequence”.

 
 Empati dan komunikasi empatik “bukan
pertama-tama soal logika” walaupun memiliki corak
logikanya sendiri. Bila kita melihat seseorang dan
langsung merasa antipati kepadanya lalu pertanyaannya
apakah dasar logikanya perasaan tersebut? Kita belum
pernah berjumpa dengan orang itu sebelumnya sehingga
tidak mengenalnya apalagi berhadapan langsung dengan
sikap dan perilakunya. Namun, wajah seseorang
memperlihatkan seribu - mungkin selaksa - ikon yang
diterima (belum lagi tetapi termasuk auranya) secara
gestalt oleh otak kanan kita dan dalam bilangan
nano-detik menyampaikan kesimpulan-antipatik kepada
kita melalui otak kiri. Sementara itu otak kiri kita
masih akan terus-menerus bertanya detail “Apa”-nya
lagi dan “Mengapa”-nya serta menuntut bukti-bukti
untuk verifikasi kesimpulan tadi. Padahal olah-detail
“telah lama rampung” dan disampaikan oleh otak kanan
kepada otak kiri dengan hasil final tadi, yaitu bahwa
orang tersebut “tidak simpatik” dan karena itu kitapun
langsung “merasa” (tanpa alasan logis) antipati
kepadanya. Proses vektoral itu terjadi demikian
cepatnya dalam bilangan nano-detik sehingga kalau
dipakai proses dialektik yang biasa dengan analisis
“logical intelligence” biasanya akan memakan waktu
yang demikian lama dan itupun dengan hasil yang belum
tentu memuaskan. Otak manusia itu ibarat dan
sungguh-sungguh semacam “psycho-cybernetic aparatus”
atau super-komputer-alami yang mampu mengolah
milyaran-bit informasi dalam bilangan nano-detik.


 Umpamanya saja kita ingin menerima seorang CEO
untuk perusahaan kita dan kita mengundangnya untuk
suatu dinner. Mana mungkin kita “berani” menyuruh
beliau pergi