Terimakasih buat tanggapan Prof. Hera Lestari dan penjelasan Prof. Sarlito 
Wirawan.

Tanggapan yang lainnya dinantikan dari siapapun yang hendak menanggapi agar 
bisa didapat pandangan yang mumpuni.


Salam takzim,
Juneman




     Date: Tue, 22 Jan 2008 05:14:33 -0800 (PST)
     From: hera mikarsa 
  Subject: Re: Bangunan Epistemologi Magister Profesi  
Psikologi di Indonesia

Dear Juneman,

Saya juga tidak tau apakah perkawinan (istilah anda,
he3) antara pendidikan magister psikologi dan profesi
psikolog mempunyai landasan kajian akademis. ketika
tahun 1998-an Fak Psikologi UI mengundang fakultas
psikologi lain yang mempunyai pendidikan profesi
(waktu itu masih disebut S1+) untuk bertemu di Depok,
sebenarnya pembahasan difokuskan pada status psikolog
yang hanya dihargai sebagai S1+, padahal pendidikannya
6 tahun, yaitu S1 selama 4 tahun dan pendidikan
profesi psikolog 2 tahun. kami ingin psikolog dihargai
atau diberi status seperti S2, tetapi rasanya waktu
itu kita tidak membahas mengenai Magister Profesi
Psikologi. Pertemuan Depok ini berkembang menjadi
kolokium dan selanjutnya mungkin kisah "perkawinan"
ini bisa dijawab oleh pak Sarlito, atau pak
Enoch/Wilman, karena mereka dan pimpinan fakultas
psikologi lainnya yang dalam pertemuan2 kolokium
mematangkan gagasan menjadikan pendidikan profesi
psikolog menjadi Magister Profesi Psikolog. Seingat
saya, HIMPSI Pusat juga baru belakangan dilibatkan
dalam pertemuan kolokium tsb.
Saya akan coba cari hasil pertemuan (kalau gak salah
disebut lokakarya) tahun 1998 tsb, kalau masih ada.
Saya sendiri berhenti mengurus pendidikan profesi di
F.Psikologi UI kira2 tahun 2000an, dan juga jarang
ikut pertemuan kolokium. BTW, kolokium adalah
paguyuban fakultas psikologi yang bersifat informal;
dimulai dengan 4 FPsi di PTN (Unair, Unpad, UGM dan
UI). Melakukan pertemuan setahun sekali (semula
2X/tahun), untuk membahas berbagai isyu penting yang
berkaitan dng pendidikan psikologi. Pertemuan kolokium
yang berikut akan dilangsungkan di Surabaya, kira2
pertengahan Maret.

Mudah2an penjelasan ini tidak membuat anda semakin
pusing.
salam,
hera



Menyambung info dari Prof mbak Hera, ceriteranya seperti ini.

Pendidikan psikologi jaman dulu (drs) adalah 6 tahun teorinya tapi  
banyak yang prakteknya sampai 7 tahun. Waktu itu, untuk nyampai ke  
Drs, harus stage di empat bagian (di UI bahkan pernah 6 bagian), dan  
masing-masing bagian harus buat laporan (di UI pernah setiap bagian  
harus bikin skripsi).
Padahal banyak yang sebenrnya gak pengin jadi psikolog praktek. Tapi  
kalau DO di tingkat Sarjana (th ke 5 atau 6), hanya bergelar Sarjana  
Muda, kalau jadi pegawai negeri cuma golongan II B (atau II C?). Kalau  
Drs (sarjana), masuk PNS jadi III A. Kalau Master langsung IIIB.

Nah,dengan sistem dulu, mahasiswa jadi terbelenggu, mau tidak mau  
harus jadi Drs., sehingga akhirnya banyak yang DO, dan yang akhirnya  
jadi Drs pun akhirnya tidak kerja sebagai psikolog praktek. Banyak  
yang kerja di BKKBN, masuk BUMN, jadi direktur perusahaan, jadi  
marketing, advertisement de-el-el.
Mubazir banget lah waktu dan susah payah yang diinvestasikan segitu besar.

Nah denan adanya sistem S1 dan S2  untuk menggantikan sistem SM dan  
Drs, terbukalah kesempatan untuk mengubah sistem itu. Perubahan  
pertama adalah dengan adanya sistem S2, maka dibuka kesempatan untuk  
non-psikolog belajar psikologi. Waktu itu banyak sekali tentangan,  
tetapi saya dukung terus gagasan itu (didukung a.l. oleh Ibu Munandar,  
selaku Ketua Program Pascasarajana Psi, sebelumj Bu Warsih), karena di  
seluruh dunia dan sepanjang sejarah, tidak ada ceritreranya ilmu  
psikologi dimonopoli oleh almuni FPsi secara turun-temurun.

Wundt adalah seorang dokter, begitu juga Freud. Piaget adalah seorang  
dokter hewan. Terman adalah seorang matematisi. Bahkan pak Slamet juga  
dokter, dan dosen-dosen pertama di FPsi UI juga campuran antara  
filsuf, dokter, statisik, dan antropologi.Dan masih banyak contoh lain.

Akhirnya setelah gol, kita lihat manfaatnya, psikologi sudah  
diterapkan di bidang arsitektur (malah sekarang ada kuliah psikologi  
arsitektur di UI), di bidang ilmu lingkungan, di bidang hukum,  
kedokteran, marketing, management, sekolah2 dll. Kenapa? Karena banyak  
sarjana-sarajana dari bidang-bidang itu yang ngambil S2, bahkan S3  
dalam Psikologi. Kemajuan seperti ini tidak akan mungkin terjadi kalau  
hanya mengandalkan para psikolog saja yang harus belajar arsitek, ilmu  
lingkungan, hukum atau kedokteran.pendidikan, manaejemn dll. Menurut  
laporan Presdent IAAP (International Association of Applied  
Psychology), waktu itu (2004) dijabat oleh Prof Ray Fowler, dalam  
Kongres IUPSYS di Beijing, Indonesia adalah negera nomor dua di dunia  
(setelah Brazil) yang paling banyak menerapkan psikologi dalam  
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Amerika pun kalah dari Indonesia.

Peluang kedua adalah memutus mata rantai kesarjanan yang membuang  
waktu dan energi untuk yang tidak memerlukannya. Dengan sistem baru,  
orang sudah bisa menjadi Sarjana (S1) kalau sudah menyelesaikan 144  
SKS. Kalau dia masuk PNS golongannya IIIA. Jadi kalau mau jadi sarjana  
psikologi tanpa mau praktek, bisa berhenti sampai S1 saja kan? Bisa  
langung kerja (IIIA, atau jadi pegawai swasta apa saja, advertising,  
penyiar TV, artis dll). Yang mau ke S2 non-psikologi juga bisa, dan  
dalam kenyataannya banyak sekali yang lanjut ke MBA, MM, atau  
ilmu-ilmu lalin. Kalau mau psikologi, juga tidak usah yang praktek.  
Mau masuk Intervensi Sosial, atau Psi SDM atau Psi OR, sekarang bisa  
(sudah dibuka programnya di Pascasarajana UI). Prakteknya banyak yang  
seperti itu.

Nah, yang tetap mau praktek, ya terus kuliah seprti biasa, stage dll  
seperti biasa. Tetapi kerja mereka keras banget. Jam kerja untuk jadi  
psikolog (pasca SPsi) bisa lebih dari 24 SKS (kalau di Australia: 1000  
jam praktek). Tapi cuma dihargai S1, atau paling-paling S1+. Kan rugi?  
Masuk PNS tetap IIIA (masuk tentara Letnan II), sama seperti S1 saja?  
Rugi banget.
Nah, kenapa gak dijadiin S2 saja sekalian. Maka saya (waktu itu dekan  
UI) bawa masalah ini ke Kolokium. Setelah beberpa kali sidang  
kolokium, akhirnya semua setuju (terutama 4 FPsi PTN besar: UI, UGM,  
Unpad, dan Unair), termasuk Himpsi (Rahmat Ismail dkk). Maka  
diputuskan untuk profesi psikolog diberi gelar akademik Magister  
(karena itu ada pelajaran-pelajaran kemagisteran seperti filsafat ilmu  
dan metodologi).

Sebenarnya Magister Profesi, sama dengan magister-magister lainnya,  
karena mereka jam terbangnya selama pendidikan pun sama (bahkan  
mungkin lebih). Cuma yang satu ini bergelar S 2, kalau jadi PNS  
langsung IIIB, kalau jadi tentara langsung Letnan I. Kan lebih fair?  
Selain itu juga sepadan dengan yang berlaku di Asutralia (waktu itu  
dan sampai sekarang FPsi UI sudah kerjasama dengan UQ /University of  
Queensland). Di Australia, psikolog praktek harus S2 (menurut  
ketentuan  APS/Australian Psychological Society), sedangkan di AS  
harus S3 (PhD atau PsyD).

Jadi sebetulnya tidak ada perubahan struktur yang mendasar. Dulu masa  
studi untuk jadi psikolog adalah 6 tahun, sekarang juga 6 tahun.  
Tetapi sekarang gelarnya S2, dulu S1, lebih menguntungkan, kan? Dulu  
SM (sarjana Muda) Psikologi, belum bisa apa-apa, sekarang S1 juga  
belum bisa apa-apa. Sama saja dong?

Tetapi masalahnya, sekarang mentang-mentang namanya sudah Sarjana  
(S1), maka banyak yang merasa seharusnya sudah bisa ngetes. Masa  
Sarjana psikologi kok gak bisa ngetes? Jadi banyak lah yang ingin  
kembali ke zaman dulu (baca: S1 ngetes). Kalaupun harus nambah dari  
144 SKS ya bolehlah, tapi jangan S2. Loh., kenapa? Alasannya ternyata  
sederhana saja, yaitu perguruan tinggi penyelenggara harus menyediakan  
sekian master dan doktor kalau mau menyelenggarakan pendndikan S2,  
sementara untuk program S1 (walaupun +) cukup dengan beberpa orang  
drs. saja.

Untuk mengatasi masalah kekuranagn SDM, UI juga sudah menawarkan  
jawabannya: UI memberi prioritas kepada dosen-dosen psikologu PT lain  
yang mau belajar S2 di UI. Banyak yang memanfaatkan, termasuk USU dll,  
dan mereka berhasil mengembangkan program yang hebat. UI sendiri  
tertolong dengan program S2 setahun, yaitu untuk psikolog2 senior yang  
praktek dan jam terbangnyasudah ribuan jam, mereka bisa ambil MPsi  
dalam waktu 2 semester saja (program ini sekarang sudah tidak ada  
lagi). Banyak yang mengambil program ini, termasuk Bang Luluk, dan UI  
mendapat manfaat dari Bang Jo Rumeser, yang terus jadi dosen SDM di  
Pascasarajan Psikologi (yang berkembang sangat bagus). Tetapi buat  
banayk PTS, khususnya yang kecil, program S2 ke UI ini terlalu mahal.  
Walaupun ada kesempatan ngambil S2 dalam 2 semester saja. Kemahalan,  
yayasannya tidak mau bayar, dan break-even pointnya dari uang kuliah  
gak akan nyampe, jadi ya bertahan sajalah pada sistem yang lama.

Strategi lain yang diambil UI waktu itu (saya masih dekan) adalah  
melibatkan HIMPSI dalam proses ujian profesi (Himpsi diwakili  
dalamsidang ujian)dan dalam pelantikan/wisuda (Ketua Himpsi langusng  
memberikan SRIP dalam upacara, jadi alumni tidak repot cari SRIP, dan  
Himpsi langsung dapat anggota). Pokoknya semua saling menguntungkan.  
Dan ujung2nya semua demi kemajuan psikologi di Indonesia.

Tetapi ya itu, sampai heri geneee.... masih ada orang-orang yang ingin  
kembali ke status quo jaman tahun 1960am. Dan jumlah mereka sungguh  
banyak, karena PTS gurem jauh lebih banyak ketimbang PTN & PTS serius.  
Jdi kalau divoting di Kolokium, yaaa... yang bermutu2 ini kalah suara.  
Karena itu saya pernah mau kembalikan fungsi kolokium ke  
fakultas-fakultas PTN besar + beberapa PTS berakreditasi A, tetapi  
diprotes oleh PTS2 yang buanyaaak itu, sehingga akhirnya okami utvoted  
lah. Saya tidak tahu lagi perkembangan di kolokium sekarang, karena  
sejak saya berhenti jadi Dekan (2004) saya tidak dilibatkan lagi.

Akhirul kalam, artikel yang puanjaaang... ini pasti banyak salahnya,  
karena ngetiknya buru-buru (takut keburu lupa apa yang mau diomongin),  
tetapi saya udah malas mengoreksinya lagi. jadi mohon makulm  
sajaaah...yaaah...



--- Juneman wrote:

> Dear Mbak Kania,
>
> interesting. Menyambung (lagi) ungkapan Mbak Kania &
> Prof. Hera, saya & mungkin Mbak Kania, ingin sekali
> untuk memiliki naskah kajian akademis yang menjadi
> landasan dikawinkannya "Magister Psikologi" dan
> "Profesi Psikolog" sehingga menjadi "Magister
> Profesi Psikolog" di Indonesia dalam masa pendidikan
> normal 2 tahun.
>
> Untuk itu, saya mohon dari representasi PP
> Himpsi/HIMPSI Wilayah (manapun)/Kolokium yang
> memiliki hard-copy/soft-copy naskah kajian akademis
> dimaksud, untuk dibagikan via milis ini.
>
> Saya menduga bahwa di dalam naskah kajian akademis
> tersebut, sudah barang tentulah terdapat kajian
> falsifikasi dan verifikasi terhadap filosofi sistem
> pendidikan psikologi/profesi psikolog yang
> sebelum-sebelumnya.
>
> Hal ini sesungguhnya termasuk FAQ (Frequently Asked
> Question) baik di kalangan awam maupun mahasiswa
> S1/S2 psikologi. HIMPSI Jaya pun sering menerima
> pertanyaan dimaksud, dan jawabnya biasanya: "Sudah
> menjadi keputusan kolokium" (Nanti paling ditanya
> lagi, "Apakah yang dimaksud dengan kolokium?"
> hehehe.. Perbincangannya jadi kolokium, deh.).
>
> Saya menelusuri web himpsi.org namun tidak
> menemukannya.
>
> Mohon pencerahan.
>
> Terimakasih.
>
> Salam takzim,
> Juneman
>
>
>
> ---
> Kania Hasan wrote:
>
> Dear all, menyambung pembicaraan tentang kompetensi,
> saya ingin bertanya tentang batasan kompetensi
> psikodiagnostik sarjana
> psikologi baru kita. Pertama, terapi dan tes
> dilakukan juga oleh mereka yang bukan psikolog.
> Kedua, kita berharap bahwa sarjana
> psikologi kita dapat bersaing dengan lulusan
> fakultas atau jurusan lain non psikologi. Ketiga,
> banyak fakultas psikologi masih
> mengajarkan psikodiagnostik seperti kurikulum lama.
> Pertanyaan saya, apakah pengurangan atau
> penghilangan kuliah psikodiagnostik di
> univ tertentu tidak membuat kita melucuti daya saing
> dan kompetensi lulusan sarjana psikologi.
> Katakanlah, kita harus membedakan spsi
> dg psikologi. Apakah tidak cukup kalau kita meminta
> sarjana psikologi tidak melakukan praktik mandiri,
> toh mereka dapat menjadi
> asisten atau  asosiat psikolog, yang membantu
> psikolog dalam melakukan seluruh kegiatannya. Tentu
> saja psikolog harus meningkatkan
> kompetensinya untuk bisa praktik mandiri dan
> meluaskan
>  pelayanannya. Mohon maaf sebelumnya. Thanks. Kania
>
> ---
> hera mikarsa wrote:
>
> Teman-teman ysh,
>
> ....
>  Menurut SK Dikti terdahulu (saya lupa nomernya),
> pendidikan profesi dilaksanakan oleh asosiasi
> profesi.
> Boleh dititipkan pada perguruan tinggi bila asosiasi
> profesi tidak/belum mempunyai SDM maupun fasiltas
> yang
> menunjang pelaksanaan pendidikan profesi tsb.
>
> Seharusnya juga profesi mengambil jalur spesialis
> (seperti dokter), bukan akademik yang S2nya bergelar
> Magister dan untuk S3 menjadi doktor. Akan tetapi
> beberapa tahun lalu fakultas-fakultas psikologi
> (mula-mula beberapa)  dalam kolokium memutuskan pendidikan profesi  
> ditingkatkan menjadi level
> S2/magister.
>
> Sampai sekarang akreditasi BAN PT untuk magister
> profesi psikolog juga masih belum ada kepastian.
>      ....
>
> Salam,
> hera
>
> ---
> Wisnubroto Baron wrote:
>
> Saran saya untuk menuju tercapainya TUJUAN  PERJUANGAN  RUU  tadi, adalah :
>
> 1.        Benahi Organisasi Profesi Psikologi yang
> ada.
> °       Apakah ke-anggauta-an nya sudah memenuhi
> persyaratan Psikolog yang diperkenankan untuk
> praktek ?
> °       Dan bagaimana keterkaitannya dengan
> Organisasi Psikologi lain yang ada (kalau ada).
>
> Langkah praktisnya saran saya adalah sbb : ...
> °       Bentuk Team Profesi, yang beranggautakan
> Psikolog-Psikolog senior yang respectable.
> °       Undang HIMPSI (yang selama ini dianggap
> sebagai Organisasi Profesi), dan juga undang
> berbagai  Psikologi terkait yang ada,
> guna pemetaan lapangan.
>
>

Kirim email ke