KEBENARAN TANPA KEBENARAN
OLEH: AUDIFAX[1] Ada banyak kebenaran di dunia ini, bahkan terlalu banyak sehingga manusia bisa memilih kebenaran itu sejauh yang dibutuhkannya. Agama menawarkan berbagai kebenaran, bahkan dalam satu agama yang sama pun terdapat berbagai tawaran kebenaran. Demikian pula politik, ada berbagai kebenaran yang bisa diambil untuk sejumlah tindakan atau keputusan. Setiap hari di televisi dan berbagai media, manusia juga dijejali berbagai kebenaran, mulai dari iklan hingga berbagai khotbah. Sepanjang pengalaman pendidikan yang dilalui seseorang, kebenaran dijejalkan di berbagai mata pelajaran. Banyak orang berusaha mendefinisikan kebenaran, hingga kemudian kebenaran itu mati dalam definisi-definisi. Pada tulisan ini, penulis akan membahas dua kebenaran, yaitu kebenaran yang hidup (kebenaran) dan kebenaran yang mati (kebenaran). Jika kebenaran itu itu hidup, maka ia akan mewujud layaknya entitas yang hidup, yaitu dalam gerak dan pertumbuhannya. Kebenaran yang hidup ini akan menyapa manusia dan mengajak masuk ke dalam ke-hidup-annya. Sebaliknya, jika kebenaran itu mati, maka ia akan mewujud layaknya entitas yang mati, yaitu dalam ketetapan, dan finalitas makna. Kebenaran yang mati inipun akan menyapa manusia dan mengajak masuk ke dalam ke-mati-annya. Falibilitas Kebenaran Friedrich Nietzche adalah filsuf yang mempersoalkan kebenaran. Baginya kebenaran adalah sesuatu yang absurd. Bagi Nietzche kebenaran hanyalah konsep yang ditemukan orang-orang Yunani bertahun-tahun yang lalu untuk meyakinkan setiap orang yang harus diperintahnya. Setiap kebudayaan yang pernah mendominasi, mengeksploitasi atau menindas kebudayaan lain telah melakukan itu atas nama kebenaran. Klaim atas kebenaran sebenarnya adalah klaim atas kekuasaan[2]. Jika mau mencoba lebih cermat, maka dapat ditemukan bahwa kebenaran tak lebih dari penjumlahan akhir kekeliruan-kekeliruan. Menurut Nietzche, kenyataan ini sudah membuktikan watak kebenaran sebagai sesuatu yang fallible, atau dapat dipersalahkan, diuji, dikritik, dan dibenturkan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa jadi tak terbayangkan, tampak paradoksal, bahkan tak masuk akal. Falibilitas kebenaran membuat manusia terbuka untuk menafsirkan ulang apa yang diyakininya. Keterbukaan akan menjadikan kebenaran itu bersifat sementara dan dapat diperiksa kembali. Nietzche pun lantas berkata bahwa kebenaran sebenarnya hanyalah sepasukan metafor, metonimi dan antropomorfisme; atau sejumlah hubungan manusiawi yang secara puitik dan retorik telah diintensifkan, dimetamorfosa, dan dipuja sehingga setelah melalui kurun waktu lama lantas dibakukan dalam kanon yang mengikat. Kebenaran, akhirnya mewujud sebagai ilusi-ilusi yang segi ilusinya telah dilupakan orang; metafor usang yang tak lagi mampu membangunkan rasa; uang logam yang permukaannya telah aus hingga tinggal logam belaka[3]. Bagi Nietzche, manusia idealnya mampu mengatasi ke-manusia-aannya (Übermensch). Di sinilah manusia mencapai kesudahannya namun di tiap kesudahan selalu menuntut adanya permulaan baru. Itulah sebabnya secara terus menerus segala sesuatu kembali lagi pada awalnya. Meski kerap menjebak orang masuk pada nihilisme, namun sebenarnya pemikiran Nietzche ini merupakan refleksi mendalam akan kehidupan manusia. Dunia ini masih memiliki arti justru ketika manusia selalu kembali pada permulaan dan tak pernah selesai. Nietzsche mengajak manusia untuk hidup bak karya seni, yang tak pernah tuntas menyampaikan makna. Ketiadaan, kesementaraan, kejanggalan, dan ketakterjelasan senantiasa membayangi karya seni. Begitu pula hidup, perputaran untuk selalu kembali pada permulaan tak secara semena membawa pada nihilisme kehidupan, namun justru membuat hidup suatu seni hidup yang memiliki arti dan kebernilaian yang menyatu dalam tarikan nafas penciptaan diri terus-menerus secara baru. Dekonstruksi dan Melampaui Kebenaran Pemikiran-pemikiran Nietzche ini, mengajak manusia untuk melampaui hal-hal yang sifatnya telah mati dan mematikan manusia. Tak pelak, pemikirannya menginspirasi sejumlah pemikir lain untuk menghasilkan berbagai derivasi dari pemikiran Nietzche. Heidegger, Baudrillard, Foucault, Derrida, Lyotard dan banyak nama lain, merupakan pemikir-pemikir yang tak lepas dari pengaruh Nietzche. Pada tulisan yang mencoba mempermasalahkan kebenaran ini, penulis akan mencoba mewarnai dengan salah satu pemikir yaitu Jacques Derrida. Jacques Derrida, hadir dengan Dekonstruksinya untuk menantang segala totalitas makna, penafsiran, atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur, politik, dan pelbagai order of things yang ingin menata dunia ke dalam suatu sistem tunggal dan koheren[4]. Derrida memelajari pemikiran dari filsuf-filsuf dan menemukan ketidakkonsistenan dalam teks-teks pemikiran mereka. Dari titik ini, bisa ditarik bahwa pada segala hal yang tekstual, tak akan pernah ada makna yang stabil. Semua yang tekstual, bisa didekonstruksi. Dekonstruksi, berbeda dari destruksi; jika disetruksi menghancurkan bangunan tapi masih memungkinkannya untuk membangun kembali, namun dekonstruksi tidak. Dekonstruksi menghancurkan tatanan dan membiarkannya mengambang serta tak mungkin dibangun kembali. Segala kebenaran pun, ketika diletakkan secara tekstual (atau sebatas konsep) akan selalu bisa didekonstruksi. Derrida sebenarnya mengajak manusia untuk lebih rendah hati dalam melakukan segala tafsir terhadap kebenaran. Bagi Derrida, tafsir-tafsir semacam itu, semestinya berangkat dari pemosisian diri sebagai yang tidak tahu apa-apa dan dari ketakberdayaan si penafsir untuk merangkum dunia yang sebegitu majemuk. Dalam tafsir yang ditulis dalam kesadaran akan kefanaan itu, tak ada lagi pengelevasian satu keyakinan kebenaran di atas yang lain; manusia sebagai penafsir, sepenuhnya tenggelam dalam kabut pekat dan selubung misteri akan kebenaran. Dekonstruksi, lebih merupakan ajakan untuk tidak melihat kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Dekonstruksi mengajak bahwa kebenaran itu relatif karena ada begitu banyak kebenaran yang dapat dipilih manusia. Inilah yang seringkali tak disadari manusia. Maka tak heran kemudian orang bisa meledakkan berbagai tempat dan menimbulkan korban nyawa demi kebenaran yang diyakininya. Orang bahkan rela mati dengan bom bunuh diri demi sebuah kebenaran dalam diri yang sebenarnya sangat relatif. Sementara kebenaran yang diyakini orang yang satu kerapkali justru masih menjadi pertanyaan bagi orang lain. Manusia, yang dalam kesejatiannya selalu terobang-ambing dalam kesementaraan, memang akan selalu mencoba mencari kebenaran sebagai pegangan. Ironisnya, manusia tak menyadari bahwa kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang sama luasnya dengan manusia sehingga tak mungkin direduksi sebagai suatu yang bisa dipegang. Dalam dekontruksi, ada prinsip yang barangkali tepat menggambarkan suasana di atas. Derrida meringkasnya dalam tiga kalimat berikut: sans savoir, sans voir, sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, tidak memiliki). Sans savoir (tidak mengetahui) menggambarkan bahwa sebuah teks tidak selalu dapat ditangkap penafsir dalam totalitasnya. Dengan begitu ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa penafsir tidak mempunyai otoritas pengetahuan aras penafsirannya. Dalam rangkaian proses yang infinit ini, penafsiran selalu berupa penghampiran terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya (presque totalité)[5]. Sans voir (tidak melihat) mengisyaratkan sebuah keterbatasan indera dan penglihatan manusia akan kebenaran. Kebenaran adalah sebuah ekstasis ketakjuban manusia akan misteri yang berada di luar penglihatan normal. Manusia yang inderanya terbatas, dalam menginterpretasi kebenaran ia layaknya orang buta, si penafsir yang terlempar ke dalam ngarai tanpa dasar (Ab-grund) yang tak memungkinkannya membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang kokoh. Penafsiran akan selalu membias, tak stabil dan tak pernah selesai[6]. Lalu, sans avoir (tidak memiliki). Pada momen ini, kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi berada di pangkuan penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-penafsiran lain yang beda[7]. Kebenaran yang dinyatakan dalam bahasa, tak akan menemui kesejatiannya sebagai kebenaran. Ia tak lebih sebagai bangunan yang tak pernah usai. Layaknya mitologi Menara Babel yang pembangunannya terhenti karena para pekerjanya memiliki bahasa yang berbeda-beda; seperti itupulalah kesejatian kebenaran; ia tak akan pernah secara utuh dibangun oleh bahasa. Kesejatian kebenaran ini bertemu dengan kesejatian manusia yang juga selalu berada dalam kesementaraan. Pada titik inilah pemikiran Nietzchean dan Dekonstruksi Derrida menemukan implikasinya. Manusia dan kebenaran selalu berada dalam kesementaraan dan perjalanan pencarian; namun justru dalam kesementaraan dan pencariannya itulah manusia dan kebenaran masih memiliki arti. Jika kesementaraan dan pencarian itu tak ada, maka sebenarnya manusia dan kebenaran telah mati. Sayangnya, justru itulah yang saat ini tengah terjadi pada banyak manusia. Setiap hari manusia justru kehilangan kehidupannya dan mati dalam dogma-dogma ataupun klaim-klaim kebenaran. Dalam agama yang sama terdapat sejumlah aliran yang bertentangan satu sama lain dan sama-sama mengklaim dirinya sebagai kebenaran sejati. Dalam kehidupan masyarakat orang melukai orang lain dengan mengatasnamakan kebenaran yang diyakini. Berbagai iklan menawarkan klaim kebenaran melalui berbagai cara. Di dunia psikologi para psikolog membuat kebenaran-kebenaran sebagai pembenaran klaimnya atas manusia lain. Sekolah-sekolah menjadi ajang ritual memamah kebenaran melalui berbagai hegemoni yang dikonstruksi dalam pelajaran sejarah maupun moral. Seolah kebenaran itu objek atau benda mati yang bisa begitu saja dikuasai atau dibungkus dan dibawa ke mana-mana. Padahal apa yang disebut Kebenaran dan kesalahan sejatinya selalu terapung-apung dalam gelombang interpretasi yang berusaha menjaga dan mengatur. Lalu apakah kebenaran manusia itu? Kebenaran adalah kesalahan manusia yang tak dapat dihindari. Kebenaran adalah kesalahan yang tak satupun manusia dapat hidup tanpanya[8]. Perubahan gaya dalam menginterpretasi kebenaranlah yang dibutuhkan manusia. Jika ada gaya dalam menginterpetasi kebenaran, maka gaya itu semestinya plural sehingga manusia tak mati dalam universalitas dan keuniversalan keyakinan yang mengungkung. Kebenaran, hanya bisa didapatkan dengan cara melampaui kebenaran. Bagaimana Cermatan anda? © Audifax 11 Oktober 2005 NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-Mania, Pasar Buku dan Forum Studi Kebudayaan. Mungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang siapapun untuk berdiskusi dengan saya di milis psikologi transfirmatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif) CATATAN-CATATAN: [1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya [2] Eric Lemay & Jennifer A. Pitts; (2001); Heidegger untuk pemula; saduran P.Hardono Hadi; Yogyakarta: Kanisius; hal. 21 [3] Bambang Sugiharto; (1996); Posmodernisme-Tantangan bagi filsafat; Yogyakarta: Kanisius; Hal. 128 [4] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS; hal. 172 [5] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal. 174-175 [6] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.175 [7] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.176 [8] Gayatri Chakravorty Spivak; (2003); membaca pemikiran Jacques Derrida-Sebuah Pengantar; saduran Inyiak Ridwan Muzir; Yogyakarta:Arruzz; hal. 53 Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/wf.olB/TM --------------------------------------------------------------------~-> posting : psikologi_net@yahoogroups.com berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED] ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED] keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED] ---------------------------------------- sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net ---------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/