[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)
Serial tulisan Kitab Masuk Angin KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi dan Meditasi ditulis oleh: Adhi Purwono e-link: http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344 http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017 (Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan antara kompatiologi dengan meditasi) Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi dan kompatiologi. Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang mengalami pencerahan, karena apa, karena saya merasakan pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau di kehidupan sehari-hari. Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya. Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak diperlukan? Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu sendiri. Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda (meditasi) sampai dia menyadari bahwa ketidakcerahannya hanyalah sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU. Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya. Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain, mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati. Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami (terutama Vincent Liong) menciptakan metoda dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau, dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku, dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?) tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/ kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi dari realitas. Bahwa kehi
[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)
Serial tulisan Kitab Masuk Angin KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi dan Meditasi ditulis oleh: Adhi Purwono e-link: http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344 http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017 (Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan antara kompatiologi dengan meditasi) Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi dan kompatiologi. Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang mengalami pencerahan, karena apa, karena saya merasakan pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau di kehidupan sehari-hari. Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya. Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak diperlukan? Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu sendiri. Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda (meditasi) sampai dia menyadari bahwa ketidakcerahannya hanyalah sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU. Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya. Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain, mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati. Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami (terutama Vincent Liong) menciptakan metoda dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau, dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku, dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?) tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/ kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi dari realitas. Bahwa kehi
[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)
Serial tulisan Kitab Masuk Angin KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi dan Meditasi ditulis oleh: Adhi Purwono e-link: http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344 http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017 (Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan antara kompatiologi dengan meditasi) Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi dan kompatiologi. Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang mengalami pencerahan, karena apa, karena saya merasakan pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau di kehidupan sehari-hari. Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya. Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak diperlukan? Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu sendiri. Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda (meditasi) sampai dia menyadari bahwa ketidakcerahannya hanyalah sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU. Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya. Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain, mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati. Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami (terutama Vincent Liong) menciptakan metoda dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau, dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku, dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?) tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/ kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi dari realitas. Bahwa kehi