[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)

2006-10-10 Terurut Topik Vincent Liong
Serial tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi
dan Meditasi

ditulis oleh: Adhi Purwono


e-link:
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017



(Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial
tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan
antara kompatiologi dengan meditasi)

Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba
menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi
dan kompatiologi.

Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan
metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan
pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya
tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang
mengalami pencerahan, karena apa, karena saya
merasakan
pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau
di kehidupan sehari-hari.

Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk
bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan
dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi
itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA
mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi
tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu
jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan
meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya
untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna
misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi
bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi
bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan
dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan
bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran
bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa
memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi
persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN
mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari
bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya.
Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat
terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA
DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak
orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya
hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak
diperlukan?
Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik
dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah
salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu
sendiri.

Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita
membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat
mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang
tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia
mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan
sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi
dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga
diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak
diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu
sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya
ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN
DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap
belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda
(meditasi) sampai dia menyadari bahwa
ketidakcerahannya hanyalah
sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia
menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya
dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU.
Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di
lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya
kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka
berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah
saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya
mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll
untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya.

Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya
belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas
sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain,
mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati.
Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami
(terutama Vincent Liong) menciptakan metoda
dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain
kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya
langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh
praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau,
dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku,
dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya
tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang
dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para
praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi
adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung
dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan
tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang
lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?)
tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya
orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/
kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan
kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN
TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang
didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah
terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi
dari realitas. Bahwa kehi

[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)

2006-10-10 Terurut Topik Vincent Liong
Serial tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi
dan Meditasi

ditulis oleh: Adhi Purwono


e-link:
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017



(Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial
tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan
antara kompatiologi dengan meditasi)

Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba
menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi
dan kompatiologi.

Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan
metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan
pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya
tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang
mengalami pencerahan, karena apa, karena saya
merasakan
pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau
di kehidupan sehari-hari.

Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk
bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan
dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi
itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA
mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi
tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu
jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan
meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya
untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna
misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi
bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi
bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan
dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan
bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran
bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa
memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi
persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN
mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari
bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya.
Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat
terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA
DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak
orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya
hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak
diperlukan?
Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik
dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah
salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu
sendiri.

Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita
membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat
mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang
tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia
mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan
sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi
dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga
diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak
diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu
sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya
ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN
DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap
belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda
(meditasi) sampai dia menyadari bahwa
ketidakcerahannya hanyalah
sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia
menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya
dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU.
Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di
lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya
kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka
berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah
saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya
mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll
untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya.

Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya
belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas
sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain,
mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati.
Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami
(terutama Vincent Liong) menciptakan metoda
dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain
kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya
langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh
praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau,
dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku,
dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya
tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang
dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para
praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi
adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung
dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan
tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang
lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?)
tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya
orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/
kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan
kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN
TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang
didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah
terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi
dari realitas. Bahwa kehi

[psikologi_net] KMA : Kompatiologi dan Meditasi (Menjawab pertanyaan bung Suchamda)

2006-10-10 Terurut Topik Vincent Liong
Serial tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi
dan Meditasi

ditulis oleh: Adhi Purwono


e-link:
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017



(Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial
tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan
antara kompatiologi dengan meditasi)

Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba
menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi
dan kompatiologi.

Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan
metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan
pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya
tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang
mengalami pencerahan, karena apa, karena saya
merasakan
pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau
di kehidupan sehari-hari.

Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk
bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan
dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi
itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA
mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi
tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu
jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan
meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya
untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna
misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi
bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi
bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan
dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan
bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran
bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa
memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi
persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN
mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari
bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya.
Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat
terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA
DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak
orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya
hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak
diperlukan?
Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik
dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah
salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu
sendiri.

Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita
membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat
mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang
tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia
mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan
sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi
dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga
diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak
diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu
sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya
ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN
DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap
belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda
(meditasi) sampai dia menyadari bahwa
ketidakcerahannya hanyalah
sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia
menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya
dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU.
Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di
lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya
kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka
berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah
saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya
mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll
untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya.

Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya
belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas
sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain,
mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati.
Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami
(terutama Vincent Liong) menciptakan metoda
dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain
kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya
langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh
praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau,
dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku,
dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya
tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang
dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para
praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi
adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung
dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan
tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang
lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?)
tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya
orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/
kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan
kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN
TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang
didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah
terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi
dari realitas. Bahwa kehi