[psikologi_net] Memelet Dosen oleh: Vincent Liong

2006-03-11 Terurut Topik Vincent Liong
Memelet Dosen

Sebuah makalah yang menjelaskan dengan ringkas
bagaimana seorang Vincent Liong memelet dosen-dosennya
? Dengan membaca tulisan ini Vincent Liong
mengharapkan agar anda para pembaca mampu memelet
dosen anda juga sehingga terjadi keseimbangan antara
hubungan Dosen & Mahasiswa dalam kegiatan
belajar-mengajar setidaknya dalam kelas anda sendiri …


Makalah singkat ini akan menjelaskan kepada anda baik
yang mahasiswa atau juga merupakan dosen, tentang
sistematika yang digunakan oleh seorang Vincent Liong
terhadap dosen yang kebetulan mengajarnya di kelas.
Vincent Liong sebagai penulisnya berusaha agar
metode-metode praktikal yang telah diujicoba pada
sebagian matakuliah yang diikuti oleh Vincent Liong
mulai akhir semester pertama hingga semester kedua
Vincent Liong di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
yang belum juga berlalu. 


Penulis / Peneliti: Mbah doekoen ‘Vincent Liong’ 
Mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
NIM: 2005-70-108
Masa Penelitian: Februari 2006 – Maret 2006

Disebarluaskan & didiskusikan sebelumnya, di LINK :
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/14488
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/5569
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/1778
http://forum.atmajaya.ac.id/viewtopic.php?t=737
http://fpsi.atmajaya.ac.id/moodle/mod/forum/discuss.php?d=679




P E N D A H U L U A N

“Sejarah memang bisa menggulung siapa saja, tetapi
manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah
terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi
sampah di pantai.” (2002: Sampul belakang)

Pernyataan di atas adalah sebuah kalimat yang saya
baca saat pertama kali membaca buku ‘Bumi Manusia’
karya Pramoedya Ananta Tour. Kalimat ini tercantum
pada sampul luar bagian belakang keseluruhan keempat
buku dalam ‘Tertralogi Pulau Buru’ karya bung Pram
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca) terbitan tahun 2002. 

Mengapa saya mengutip kalimat di atas ?! Kalimat di
atas sebagai sebuah kalimat yang menjadi anggota
sebuah tulisan utuh yaitu ‘Tertralogi Pulau Buru’
menjelaskan suatu keadaan pada zaman yang diceritakan
dalam Novel tsb. Masyarakat pribumi yang tergulung
oleh bangsa penjajahnya. 

Jika kita bandingkan dengan hari ini, tanggal 12 Maret
tahun 2006 ketika saya menulis tulisan ini, suatu
bangsa tidak lagi menjadi kaya dengan menjajah bangsa
lain, era awal Industralisasi yang dilahirkan oleh
revolusi Industri sudah lewat. Begitu juga dengan
pendidikan formal.

Saya membahas hal yang dijelaskan pada tulisan di
atas, adalah untuk membahas masalah pendidikan formal
yang merupakan warisan dari masa penjajahan dan
refolusi industri tsb di atas. Pendidikan formal lahir
sebagai warisan dari masa penjajahan dan refolusi
industri dimana makna filosofis tentang manusia
sebagai sebuah benda dengan mekanisme mesin yang masih
tampak pada pendidikan formal saat ini. Manusia
dididik dengan tujuan kwalitas kemahiran yang seragam
dengan fungsi-fungsi tertentu. Seorang dosen bertugas
sebagai mesin penyampai kurikulum yang bekerja,
mengajar katanya, di ruangan kelas yang ada terdapat
sekumpulan mahasiswa sebagai pendengar, yang bertugas
mencatat dan menghafal kurikulum tsb, hingga pada
akhir periode pendidikan tertentu di test kemampuan
menghafalnya melalui ujian tertulis untuk mendapat
nilai (%) kemampuan hafalnya dalam bentuk angka.

Manusia di masa kini sudah tidak menghadapi situasi
yang sama dengan manusia di masa revolusi industri
masih menjadi hal yang baru. oleh sebab itu manusia di
masa kini tidak lagi bisa dikotak-kotakkan seperti
mesin dengan fungsi spesifik bagian-bagian-nya. Dalam
hal proses pendidikan, maka dosen dan mahasiswa tidak
bisa lagi diposisikan sebagai mesin pembaca dan mesin
pendengar dan penghafal. Saya banyak melihat dosen
yang kejenuhan dalam pekerjaannya tetapi tidak ada
pilihan lain selain mengajar, begitu juga mahasiswa
yang kejenuhan masuk ke kelas, tetapi orangtua dan
norma masyarakat memaksanya untuk duduk di kelas
mendengarkan dosen yang kejenuhan. Dosen yang jenuh
bertemu muka setiap hari dengan mahasiswa yang jenuh
untuk sebuah norma masyarakat yang bernama pendidikan.




4   E L E M E N T   D A S A R   K O M U N I K A S I  
M A N U S I A

Bilamana kita mau membahas manusia sebelum masa
penjajahan dan sebelum masa industrialisasi & revolusi
indistri maka kita perlu memaknai manusia; sebagai
makhluk yang hidup dengan menikmati aspek-aspek
kehidupan yang bersifat semiotik, sebuah ritual yang
hidup. 

Contoh sederhananya; 

Manusia meyakini bahwa mereka membututuhkan jenis
makanan tertentu karena manusia sebagai makhluk yang
berkelompok, dengan cara yang sejenis berempathy satu
sama lain untuk membentuk keyakinan bersama. (Empathy
/ element: Air / sifat: Air itu menghanyutkan, dan
melarutkan. Semua yang di dalamnya terhanyut atau
terlarut.)  

Manusia sebagai makhluk individual selalu ingin menang
dengan mengalahkan individu lain.  Bila kita
membahasnya dalam hal makanan, manusia ingin makan
makanan yang lebih enak 

[psikologi_net] Memelet Dosen oleh: Vincent Liong

2006-03-11 Terurut Topik Vincent Liong
Memelet Dosen

Sebuah makalah yang menjelaskan dengan ringkas
bagaimana seorang Vincent Liong memelet dosen-dosennya
? Dengan membaca tulisan ini Vincent Liong
mengharapkan agar anda para pembaca mampu memelet
dosen anda juga sehingga terjadi keseimbangan antara
hubungan Dosen & Mahasiswa dalam kegiatan
belajar-mengajar setidaknya dalam kelas anda sendiri …


Makalah singkat ini akan menjelaskan kepada anda baik
yang mahasiswa atau juga merupakan dosen, tentang
sistematika yang digunakan oleh seorang Vincent Liong
terhadap dosen yang kebetulan mengajarnya di kelas.
Vincent Liong sebagai penulisnya berusaha agar
metode-metode praktikal yang telah diujicoba pada
sebagian matakuliah yang diikuti oleh Vincent Liong
mulai akhir semester pertama hingga semester kedua
Vincent Liong di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
yang belum juga berlalu. 


Penulis / Peneliti: Mbah doekoen ‘Vincent Liong’ 
Mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
NIM: 2005-70-108
Masa Penelitian: Februari 2006 – Maret 2006

Disebarluaskan & didiskusikan sebelumnya, di LINK :
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/14488
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/5569
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/1778
http://forum.atmajaya.ac.id/viewtopic.php?t=737
http://fpsi.atmajaya.ac.id/moodle/mod/forum/discuss.php?d=679




P E N D A H U L U A N

“Sejarah memang bisa menggulung siapa saja, tetapi
manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah
terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi
sampah di pantai.” (2002: Sampul belakang)

Pernyataan di atas adalah sebuah kalimat yang saya
baca saat pertama kali membaca buku ‘Bumi Manusia’
karya Pramoedya Ananta Tour. Kalimat ini tercantum
pada sampul luar bagian belakang keseluruhan keempat
buku dalam ‘Tertralogi Pulau Buru’ karya bung Pram
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca) terbitan tahun 2002. 

Mengapa saya mengutip kalimat di atas ?! Kalimat di
atas sebagai sebuah kalimat yang menjadi anggota
sebuah tulisan utuh yaitu ‘Tertralogi Pulau Buru’
menjelaskan suatu keadaan pada zaman yang diceritakan
dalam Novel tsb. Masyarakat pribumi yang tergulung
oleh bangsa penjajahnya. 

Jika kita bandingkan dengan hari ini, tanggal 12 Maret
tahun 2006 ketika saya menulis tulisan ini, suatu
bangsa tidak lagi menjadi kaya dengan menjajah bangsa
lain, era awal Industralisasi yang dilahirkan oleh
revolusi Industri sudah lewat. Begitu juga dengan
pendidikan formal.

Saya membahas hal yang dijelaskan pada tulisan di
atas, adalah untuk membahas masalah pendidikan formal
yang merupakan warisan dari masa penjajahan dan
refolusi industri tsb di atas. Pendidikan formal lahir
sebagai warisan dari masa penjajahan dan refolusi
industri dimana makna filosofis tentang manusia
sebagai sebuah benda dengan mekanisme mesin yang masih
tampak pada pendidikan formal saat ini. Manusia
dididik dengan tujuan kwalitas kemahiran yang seragam
dengan fungsi-fungsi tertentu. Seorang dosen bertugas
sebagai mesin penyampai kurikulum yang bekerja,
mengajar katanya, di ruangan kelas yang ada terdapat
sekumpulan mahasiswa sebagai pendengar, yang bertugas
mencatat dan menghafal kurikulum tsb, hingga pada
akhir periode pendidikan tertentu di test kemampuan
menghafalnya melalui ujian tertulis untuk mendapat
nilai (%) kemampuan hafalnya dalam bentuk angka.

Manusia di masa kini sudah tidak menghadapi situasi
yang sama dengan manusia di masa revolusi industri
masih menjadi hal yang baru. oleh sebab itu manusia di
masa kini tidak lagi bisa dikotak-kotakkan seperti
mesin dengan fungsi spesifik bagian-bagian-nya. Dalam
hal proses pendidikan, maka dosen dan mahasiswa tidak
bisa lagi diposisikan sebagai mesin pembaca dan mesin
pendengar dan penghafal. Saya banyak melihat dosen
yang kejenuhan dalam pekerjaannya tetapi tidak ada
pilihan lain selain mengajar, begitu juga mahasiswa
yang kejenuhan masuk ke kelas, tetapi orangtua dan
norma masyarakat memaksanya untuk duduk di kelas
mendengarkan dosen yang kejenuhan. Dosen yang jenuh
bertemu muka setiap hari dengan mahasiswa yang jenuh
untuk sebuah norma masyarakat yang bernama pendidikan.




4   E L E M E N T   D A S A R   K O M U N I K A S I  
M A N U S I A

Bilamana kita mau membahas manusia sebelum masa
penjajahan dan sebelum masa industrialisasi & revolusi
indistri maka kita perlu memaknai manusia; sebagai
makhluk yang hidup dengan menikmati aspek-aspek
kehidupan yang bersifat semiotik, sebuah ritual yang
hidup. 

Contoh sederhananya; 

Manusia meyakini bahwa mereka membututuhkan jenis
makanan tertentu karena manusia sebagai makhluk yang
berkelompok, dengan cara yang sejenis berempathy satu
sama lain untuk membentuk keyakinan bersama. (Empathy
/ element: Air / sifat: Air itu menghanyutkan, dan
melarutkan. Semua yang di dalamnya terhanyut atau
terlarut.)  

Manusia sebagai makhluk individual selalu ingin menang
dengan mengalahkan individu lain.  Bila kita
membahasnya dalam hal makanan, manusia ingin makan
makanan yang lebih enak 

[psikologi_net] Memelet Dosen oleh: Vincent Liong

2006-03-11 Terurut Topik Vincent Liong
Memelet Dosen

Sebuah makalah yang menjelaskan dengan ringkas
bagaimana seorang Vincent Liong memelet dosen-dosennya
? Dengan membaca tulisan ini Vincent Liong
mengharapkan agar anda para pembaca mampu memelet
dosen anda juga sehingga terjadi keseimbangan antara
hubungan Dosen & Mahasiswa dalam kegiatan
belajar-mengajar setidaknya dalam kelas anda sendiri …


Makalah singkat ini akan menjelaskan kepada anda baik
yang mahasiswa atau juga merupakan dosen, tentang
sistematika yang digunakan oleh seorang Vincent Liong
terhadap dosen yang kebetulan mengajarnya di kelas.
Vincent Liong sebagai penulisnya berusaha agar
metode-metode praktikal yang telah diujicoba pada
sebagian matakuliah yang diikuti oleh Vincent Liong
mulai akhir semester pertama hingga semester kedua
Vincent Liong di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
yang belum juga berlalu. 


Penulis / Peneliti: Mbah doekoen ‘Vincent Liong’ 
Mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
NIM: 2005-70-108
Masa Penelitian: Februari 2006 – Maret 2006

Disebarluaskan & didiskusikan sebelumnya, di LINK :
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/14488
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/5569
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/1778
http://forum.atmajaya.ac.id/viewtopic.php?t=737
http://fpsi.atmajaya.ac.id/moodle/mod/forum/discuss.php?d=679




P E N D A H U L U A N

“Sejarah memang bisa menggulung siapa saja, tetapi
manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah
terombang-ambing dapat diempas ke daratan dan menjadi
sampah di pantai.” (2002: Sampul belakang)

Pernyataan di atas adalah sebuah kalimat yang saya
baca saat pertama kali membaca buku ‘Bumi Manusia’
karya Pramoedya Ananta Tour. Kalimat ini tercantum
pada sampul luar bagian belakang keseluruhan keempat
buku dalam ‘Tertralogi Pulau Buru’ karya bung Pram
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca) terbitan tahun 2002. 

Mengapa saya mengutip kalimat di atas ?! Kalimat di
atas sebagai sebuah kalimat yang menjadi anggota
sebuah tulisan utuh yaitu ‘Tertralogi Pulau Buru’
menjelaskan suatu keadaan pada zaman yang diceritakan
dalam Novel tsb. Masyarakat pribumi yang tergulung
oleh bangsa penjajahnya. 

Jika kita bandingkan dengan hari ini, tanggal 12 Maret
tahun 2006 ketika saya menulis tulisan ini, suatu
bangsa tidak lagi menjadi kaya dengan menjajah bangsa
lain, era awal Industralisasi yang dilahirkan oleh
revolusi Industri sudah lewat. Begitu juga dengan
pendidikan formal.

Saya membahas hal yang dijelaskan pada tulisan di
atas, adalah untuk membahas masalah pendidikan formal
yang merupakan warisan dari masa penjajahan dan
refolusi industri tsb di atas. Pendidikan formal lahir
sebagai warisan dari masa penjajahan dan refolusi
industri dimana makna filosofis tentang manusia
sebagai sebuah benda dengan mekanisme mesin yang masih
tampak pada pendidikan formal saat ini. Manusia
dididik dengan tujuan kwalitas kemahiran yang seragam
dengan fungsi-fungsi tertentu. Seorang dosen bertugas
sebagai mesin penyampai kurikulum yang bekerja,
mengajar katanya, di ruangan kelas yang ada terdapat
sekumpulan mahasiswa sebagai pendengar, yang bertugas
mencatat dan menghafal kurikulum tsb, hingga pada
akhir periode pendidikan tertentu di test kemampuan
menghafalnya melalui ujian tertulis untuk mendapat
nilai (%) kemampuan hafalnya dalam bentuk angka.

Manusia di masa kini sudah tidak menghadapi situasi
yang sama dengan manusia di masa revolusi industri
masih menjadi hal yang baru. oleh sebab itu manusia di
masa kini tidak lagi bisa dikotak-kotakkan seperti
mesin dengan fungsi spesifik bagian-bagian-nya. Dalam
hal proses pendidikan, maka dosen dan mahasiswa tidak
bisa lagi diposisikan sebagai mesin pembaca dan mesin
pendengar dan penghafal. Saya banyak melihat dosen
yang kejenuhan dalam pekerjaannya tetapi tidak ada
pilihan lain selain mengajar, begitu juga mahasiswa
yang kejenuhan masuk ke kelas, tetapi orangtua dan
norma masyarakat memaksanya untuk duduk di kelas
mendengarkan dosen yang kejenuhan. Dosen yang jenuh
bertemu muka setiap hari dengan mahasiswa yang jenuh
untuk sebuah norma masyarakat yang bernama pendidikan.




4   E L E M E N T   D A S A R   K O M U N I K A S I  
M A N U S I A

Bilamana kita mau membahas manusia sebelum masa
penjajahan dan sebelum masa industrialisasi & revolusi
indistri maka kita perlu memaknai manusia; sebagai
makhluk yang hidup dengan menikmati aspek-aspek
kehidupan yang bersifat semiotik, sebuah ritual yang
hidup. 

Contoh sederhananya; 

Manusia meyakini bahwa mereka membututuhkan jenis
makanan tertentu karena manusia sebagai makhluk yang
berkelompok, dengan cara yang sejenis berempathy satu
sama lain untuk membentuk keyakinan bersama. (Empathy
/ element: Air / sifat: Air itu menghanyutkan, dan
melarutkan. Semua yang di dalamnya terhanyut atau
terlarut.)  

Manusia sebagai makhluk individual selalu ingin menang
dengan mengalahkan individu lain.  Bila kita
membahasnya dalam hal makanan, manusia ingin makan
makanan yang lebih enak