::::::::NOTE dari forward-er:::::::: Email di bawah ini disebarluaskan oleh jaringan milik Paguyuban Vincent Liong.
::7x24 Hours Costumer Service Representative Vincent Liong:: Vincent Liongs Mobile: (62)813-1679-5160 Leonardo Rimbas Mobile: (62)818-183-615 Phone&Fax: (62)21-5482193,5348567,5348546 Address: Jl. Ametis IV blok:G no:22 Permata Hijau, Jakarta Selatan 12210 -Indonesia Link: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/join Subject Tulisan: Posisi Psikologi Diantara Sistem Pemikiran Animisme, Agama, dan Ilmiah ; oleh: Audifax Tujuan dari penyebarluasan email ini: Untuk mempertanyakan kembali keprofesionalan dan sistem kerja lembaga-lembaga pendidikan misal: Universitas-universitas yang ada di Indonesia yang selama ini kita masyarakat bersama beri kepercayaan untuk mendidik putera dan puteri bangsa. Apakah kepercayaan kita terhadap pendidikan dan business pendidikan telah disalahgunakan oleh lembaga pendidikan itu sendiri selama ini dengan usaha-usaha berlabel Etika untuk kepentingan pihak-pihak tertentu di dalamnya? Semoga saja dengan membaca email ini anda, mahasiswa, masyarakat pada umumnya mau bersifat kristis untuk memulai bersama-sama memajukan hal pendidikan ini. Kebenaran isi dari email ini merupakan tanggungjawab dari penulisnya: Audifax. Saya Vincent Liong sebagai forward-er saja. Email ini sebelumnya telah di forward oleh penulis asli sendiri di: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/1175 http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/568 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/10350 Forward-er, Vincent Liong =========================================== PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [2]: POSISI PSIKOLOGI DI ANTARA SISTEM PEMIKIRAN ANIMISME, AGAMA, DAN ILMIAH. Oleh: Audifax[1] Psikologi kalau ditelusuri merupakan perpaduan antara psike dan logos. Psike artinya jiwa, logos adalah upaya pemahaman atau ilmu. Namun, sejauh mana psikologi dewasa ini memahami apa itu jiwa? Saya kok ragu, mengingat psikologi sekarang, mulai dari S-1, magister, hingga doktoral tampaknya cenderung menjadi ilmu yang mengikuti selera pasar sehingga upaya memahami jiwa itu sendiri dikaburkan oleh kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan pemegang modal. Seperti ditengarai oleh Jangkung Karyantoro dalam Simposium Psikologi Transformatif pada bulan November 2002: Mereka [psikologi] tidak berbunyi sama sekali ketika berada dalam sebegitu besar masalah psike manusia yang ada di balik berbagai macam kehidupan dengan berbagai macam frekuensi dan intensitasnya. Bukannya tidak berbunyi saja, bahkan perhatian pun tidak. Ternyata, dari rahim Fakultas Psikologi, yang terlahir adalah kaum penonton berbagai persoalan psike manusia di berbagai konteks, dan merasa cukup aman di sebuah kamar untuk akhirnya hanya sibuk melakukan pertukangan psikotes belaka[2]. Lebih jauh, Karyantoro menengarai sejumlah hal yang menjadi penyebab, antara lain karena proses belajar mengajar hanyalah suatu pekerjaan belaka, bahkan hanya berupa transfer of knowledge tanpa tambahan literatur yang berarti serta lemahnya fokus terhadap kepedulian akan perlunya tinjauan mutu apalagi jaminan mutu secara organisasional[3]. Jangkung Karyantoro memang telah menghadirkan ontologi permasalahan dari psikologi Indonesia dewasa ini. Tapi, belum terjelaskan epistemologi dari permasalahan itu. Bagi saya, permasalahan psikologi tak lepas dari sinkronisitas dengan sistem pemikiran yang eksis di jaman ini dan diakronisitas perkembangan psikologi bersama perkembangan sistem pemikiran yang lebih luas. Oleh karena itu, pada kesempatan kajian kali ini, saya akan mencoba menelaah terlebih dahulu pada sistem-sistem pemikiran yang pernah ada pada kehidupan manusia untuk menjelaskan jiwa. Baru setelah itu saya masuk ke psikologi dalam keterkaitannya dengan sistem pemikiran tersebut. Untuk itu saya akan mulai dari sistem pemikiran tertua, yaitu animisme. Tiga sistem pemikiran besar Sigmund Freud menjelaskan bahwa Animisme dalam pengertian sempit-- adalah suatu upaya pemikiran untuk menjelaskan konsep-konsep psikis, dan, dalam pengertian luas, adalah teori tentang entitas spiritual secara umum. Animisme (yang akar katanya animate, animasi bisa diartikan sebagai gerakan) sebenarnya berasal dari wawasan bangsa-bangsa primitif yang luar biasa tentang alam semesta dan dunia. Bangsa-bangsa primitif menempati dunia bersama-sama dengan begitu banyak roh. Bangsa primitif ini mampu menjelaskan keterkaitan proses gerakan alam dengan gerakan roh-roh ini. Mereka juga memercayai bahwa manusia juga mengalami animasi. Manusia memiliki jiwa yang bisa meninggalkan tempatnya dan memasuki makhluk lain; jiwa ini adalah pelaku aktivitas spiritual dan sampai taraf tertentu bersifat independen terhadap tubuh[4]. Pada titik inilah sebenarnya manusia bisa menjelaskan mengenai mimpi, meditasi atau alam bawah sadar. Atau bahkan fenomena Out of Body Experience. Animisme adalah suatu sistem pemikiran, ia tidak hanya memberikan penjelasan atas suatu fenomena saja, tetapi memungkinkan manusia memahami keseluruhan dunia dari satu titik, sebagai kontinuitas. Freud berpendapat bahwa dalam perjalanan waktu, kemudian muncul tiga sistem pemikiran besar di dunia: sistem animisme (mite), sistem agama, dan sistem ilmiah. Di antara ketiganya, sistem animisme yang pertamamungkin menjadi sistem yang paling konsisten, paling komprehensif, dan teori yang menjelaskan sifat-sifat dunia dalam keseluruhannya[5]. Sampai dengan era akhir abad 20, menjelang dimulainya era milenium, manusia masih berada pada tahap sistem pemikiran ilmiah seperti diungkapkan Freud. Apakah saat anda membaca tulisan ini kita masih berada pada sistem pemikiran ilmiah, saya akan coba paparkan dalam telaah demi telaah berikut ini. Pergeseran Sistem Pemikiran Freud sendiri mengatakan bahwa psikologi sebenarnya lebih dekat pada sistem pemikiran animisme, karena psikologi mempelajari animasi (gerakan) jiwa. Tapi sejauh saya memandang, psikologi di Indonesia justru lebih terjebak dalam gaya ilmiah atau agama. Mereka cenderung melegitimasi banyak aturan, norma, dan batasan-batasan sehingga gerakan jiwa ini jadi teredusir sebatas apa yang diatur, ditempatkan sebagai kebenaran atau dinormakan. Mengapa itu bisa terjadi? Saya melihat ada suatu yang analog dengan penjelasan Erich Fromm mengenai pergeseran sistem pemikiran Patriarki yang mengambil posisi dominan dan meminggirkan sistem pemikiran matriarki. Pergeseran yang telah berlangsung sejak sekitar 6000 tahun lalu ini tampaknya analog dengan kemunculan sistem ilmiah yang saat ini juga mendominasi. Termasuk mendominasi dalam dunia psikologi. Jika kita mau melihat ke masa lalu, maka akan kita temui bahwa agama-agama murni umumnya melihat alam ini sebagai keseimbangan atau pasangan layaknya laki dan perempuan: Yin dan Yang; Yang Abadi (Gusti) dan Yang Mewaktu (Kawulo); Pemeliharaan (Brahma) dan Pemusnahan (Syiwa); Humanitas serta Cinta (Antigone) dan pemujaan serta kepatuhan (Creon). Ini menunjukkan bahwa pada jaman dulu, sosok perempuan (ibu/matriarki/feminin) mengambil peran sangat penting. Ada keseimbangan antara feminitas dan maskulinitas. Ciri feminitas adalah misteri, cinta, tanggungjawab, pertumbuhan, universalitas, kesetaraan. Sedangkan ciri maskulin adalah tatanan, hirarki, kelas, hukum, aturan, kebenaran[6]. Keduanya bertemu untuk menghasilkan keseimbangan. Seorang ibu mencintai anak-anaknya karena mereka adalah anak-anaknya, bukan karena mereka memiliki suatu kualifikasi khusus ataupun pengharapan tertentu. Ibu mencintai anak-anaknya tanpa pilih kasih, maka anak-anaknya belajar melakukan hal serupa pada ibunya. Ide tentang keibuan sebenarnya mengajarkan nilai persaudaraan di kalangan laki-laki, namun kemudian nilai ini cenderung mati karena perkembangan paternitas. Seorang ayah memiliki anak laki-laki kesayangannya, yang pantas jadi pewarisnya, pengganti kedudukan duniawinya[7]. Maskulinitas dan feminitas ini, manifes dalam dewa-dewi yang bekerja untuk menjaga keseimbangan; ketika keseimbangan tercapai maka muncul keutuhan yang harmoni; ketika ketidakseimbangan terjadi muncul kekacauan. Saat ini ketidakseimbangan itulah yang terjadi, maskulinitas atau patriarki lebih mendominasi. Pada titik ini, saya ingin memberi paparan bahwa agama yang pertama berdasarkan pada tatanan suci Alam. Pada tatanan itu, feminitas atau matriarki memegang peran kunci yang sama pentingnya dengan Patriarki. Manifestasi feminitas dan matriarki pada jaman dulu kerap ada pada sosok dewi. Misalnya Dewi Venus. Dewi Venus dan planet Venus adalah satu dan sama. Dewi itu memiliki tempat di langit waktu malam, dan dikenal dengan banyak nama: Venus, Bintang Timur, Ishtar, Astarte semuanya merupakan konsep perempuan yang kuat dengan ikatan pada Alam dan Ibu Bumi[8]. Planet Venus berjalan mengikuti pentakel yang sempurna menyeberangi langit eklip setiap delapan tahun. Para leluhur dulu begitu terpesona menyelidiki fenomena ini, bahwa Venus dan pentakelnya menjadi simbol dari kesempurnaan, kecantikan, dan kualitas peredaran dari cinta seksual. Sebagai penghormatan pada kesaktian Venus, orang-orang Yunani menggunakan siklus delapan tahunnya itu untuk mengorganisasi olimpiade mereka. Sedikit saja orang sekarang yang tahu bahwa siklus empat tahun olimpiade modern, masih mengikuti setengah siklus Venus. Bahkan, lebih sedikit orang yang tahu bahwa bintang segi lima hampir menjadi segel resmi olimpiade namun sudah dimodifikasi, pada akhirnya lima titiknya ditukar dengan lima lingkaran yang saling memotong untuk merefleksikan dengan lebih baik jiwa permainan, yaitu keterbukaan dan harmoni[9]. Bagaimana matriarki ini kemudian dipinggirkan dan patriakri menempati posisi dominan? Sistem pemikiran agama memegang peran penting di sini. Orang yang berkuasa pada masa awal gereja Kristen memengaruhi dunia dengan menyebarkan kebohongan yang merendahkan perempuan dan meninggikan lelaki. Ini terjadi di era ketika Roma dipimpin oleh Kaisar Constantine dan penerus lelakinya yang memutar balik dunia dari paganisme matriarkal menjadi Kristen patriarkal dengan cara menyebarkan propaganda yang mensetankan perempuan suci, dengan menghapus dewi dari agama modern untuk selamanya[10]. Mengapa mereka melakukan ini? Jawabannya adalah kekuasaan. Gereja yang kemudian juga tampak pada sistem pemikiran agama, kerap mengklaim satu jalan kebenaran. Gereja misalnya, mengklaim bahwa satu-satunya jalan menuju surga adalah melalui gereja. Tak beda pula beberapa agama lainpun menunjukkan pola pemikiran yang serupa. Ada satu sisi di mana kita tak menyangkal betapa banyak kebaikan yang dilakukan gereja modern pada dunia yang kacau ini. Namun ada sisi lain di mana Gereja memiliki sejarah yang penuh kebohongan dan kekejaman. Perang suci yang brutal untuk mengajar kembali kaum pagan dan penganut agama pemuja dewi memakan waktu tiga abad, dengan menggunakan cara-cara inspiratif sekaligus mengerikan. Pada titik inilah mulai ditemukan inkonsistensi-inkonsistensi. Berbagai propaganda dilakukan untuk menghilangkan perempuan dari posisi pentingnya dalam kehidupan religius. Inkuisisi Katolik pernah menerbitkan buku yang boleh jadi bisa disebut sebagai penerbitan yang paling meminta darah dalam sejarah manusia. Malleus Maleficarum, Godam Para Penyihir, mengindoktrinasi dunia akan bahaya kebebasan berpikir perempuan dan mengajari para biarawan bagaimana menemukan, menyiksa, dan menghancurkan mereka. Anggapan penyihir oleh Gereja meliputi semua sarjana perempuan, gipsi, ahli mistik, pencinta alam, pengumpul dedaunan, dan segala perempuan yang secara mencurigakan akrab dengan alam. Para bidan juga dibunuh karena tindakan mereka yang menggunakan pengetahuan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan sebuah penderitaan yang, menurut Gereja, merupakan hukuman Tuhan bagi Hawa karena mengambil buah Apel Pengetahuan, sehingga [peristiwa] melahirkan terkait dengan gagasan Dosa Asal. Selama tiga ratus tahun perburuan tukang sihir, gereja telah membakar sekitar lima juta perempuan[11]. Kaum perempuan, yang pernah dikenal sebagai separuh yang penting dari pencerahan spiritual, telah dimusnahkan dari semua kuil di dunia ini. Tidak ada rabi Ortodoks, pendeta katolik maupun ulama Islam yang perempuan. Satu tindakan penyucian dari Hieros Gamos penyatuan seksual alamiah antara lelaki dan perempuan sehingga masing-masing menjadi utuh secara spiritualtelah dianggap sebagai tindakan yang memalukan. Para lelaki suci yang pernah diminta melakukan penyatuan seksual dengan rekan-rekan perempuan mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan, sekarang khawatir desakan seksual alamiah mereka itu dianggap sebagai tindakan setan, setan yang bekerja sama dengan kaki tangan kesayangannya..perempuan[12]. Zaman dewi telah berlalu. Bandul pendulum telah berayun. Ibu Bumi telah menjadi dunia lelaki, dan dewa perusak dan dewa perang sekarang berperan. Ego kaum lelaki melaju selama dua milenium tanpa tercegah oleh rekan perempuannya. Kemusnahan perempuan suci dalam kehidupan modernlah yang mengakibatkan apa yang disebut oleh suku Indian Hopi sebagai koyanisquatsi, hidup tanpa keseimbangan, suatu keadaan tak stabil yang ditandai oleh perang berbahan bakar testosteron, sebuah keberlebihan dari masyarakat misoginis, dan sebuah rasa tak hormat yang terus tumbuh pada Ibu Bumi[13]. Pergeseran jaman ini dalam cermatan saya; tampaknya mengikuti spirit pergeseran bintang. Jaman di mana patriarki memperoleh dominasinya melalui agama, sebenarnya terjadi di jaman Pisces. Sedang saat ini jaman memasuki era Aquarius. Era Aquarius sendiri dimulai sejak tahun 2000, tapi spiritnya bisa jadi telah terasa sejak akhir abad 20. Jaman mengikuti perputaran spirit bintang, mulai dari era LEO (10,000 BC - 8,000 BC). Era Leo dikarakterisasi oleh energi dan kreativitas manusia. Era setelah LEO adalah era CANCER (8,000 BC - 6,000 BC) yang ditandai dengan pergeseran dari kehidupan gua yang nomaden ke arah kehidupan dengan tempat tinggal yang menetap. Manusia belajar memakai memintal, membuat pakaian, membuat tembikar. Pada era ini mulai ada aturan-aturan tertentu. Manusia bercocok tanam dan beternak. Lalu beralihlah era CANCER ke era GEMINI ( 6,000 BC - 4,000 BC). Ini adalah era di mana mulai ada pencatatan dan penyimpanan informasi. Mulai ada kendaraan dalam taraf primitif untuk mengangkut dari satu tempat ke tempat lain. Era selanjutnya adalah era TAURUS (4,000 BC - 2,000 BC), di mana mulai ada masyarakat sipil dan pengolahan tanah dan bangunan. Era TAURUS kemudian berganti era ARIES (2,000 BC - 1 AD). Ini adalah era besi. Spirit dari era ini adalah militansi dan agreisvitas. Di era inilah patriarki mulai terlihat mendominasi. Lalu masuklah manusia ke era PISCES (1 AD to 2,000 AD). Ini adalah era agama, era kristianitas, pertarungan, pengorbanan. Tahun 2000, mulailah masuk spirit dari era AQUARIUS ( 2000 AD - 4000 AD). Sebuah era yang mengedepankan humanitarianisme. Era di mana pengetahuan saintifik dan pencarian pengetahuan baru. Pencarian kebenaran baru[14]. Berarti saat ini, manusia tengah menyongsong era AQUARIUS. Saya mencermati, bahwa era Pisces ditandai dengan norma, keterkungkungan feminitas. Itu tampak salah satunya pada mite-mite yang muncul dalam dongeng di era itu. Snow White, Cinderella, Putri Tidur, Little Mermaid adalah beberapa di antaranya, itu semua adalah simbolisasi perempuan suci yang terkurung. Tapi, di era Aquarius justru mite-mite perempuan berdaya mulai bermunculan, seperti tampak beberapa dalam Lara Croft, Elektra, Catwoman. Ini juga era di mana seksualitas, banalitas, dan segala hal tak bernilai muncul dan menguasai. Manusia larut dalam hasrat, tapi justru dalam derasnya arus hasrat itu muncul refleksi-refleksi. Refleksi yang hanya mungkin muncul ketika segala tatatan telah tercerabut. Era ini dalam cermatan saya analog dengan munculnya posmodernisme yang mengobrak-abrik semua tatanan dan kebenaran absolut. Friedrich Nietzche telah memulai itu di penghujung era PISCES dengan memporak-porandakan kebenaran. Lalu diikuti oleh sejumlah tokoh: Edmund Husserl. Martin Heidegger, Marleau-Ponty, Jean Paul Sartre, hingga Jean Francois-Lyotard, Jacques Lacan, Michel Foucault, Richard Rorty, dan Jacques Derrida. Kebenaran-kebenaran yang sifatnya given mulai runtuh. Pemahaman akan realitas, tak lagi bertumpu pada hirarki, tetapi kembali pada peng-Alam-an individual. Segalanya menjadi relatif karena terus bergerak dan tumbuh, tak ada lagi klaim kebenaran universal atau absolut. Pemikir-pemikir ini sebenarnya membawa kembali spirit perempuan suci (sacred feminine) yang hilang, mencoba menyeimbangkan perlawanan kelas ala Marx dengan pertumbuhan. Memunculkan Yin untuk mengimbangi Yang. Tak heran di era Aquarius ini muncul pula buku semacam Celestine Prophecy dan Da Vinci Code. Bahkan jika anda cermat, Harry Potter pun merupakan imbas dari masa ini. Sampai dengan awal abad 20, tokoh-tokoh seperti Penyihir, Dracula, Burung Gagak adalah tokoh-tokoh antagonis, tapi kini justru banyak yang menjadi tokoh protagonis. Harry Potter hanyalah salah satunya, kita bisa melihat fenomena lain pada Buffy the Vampire Slayer, The Crow, Charmed, dan sejumlah tokoh lain. Ini pula sebabnya dunia produksi tak lagi berfokus pada Mass Consumption atau Mass Production. Diferensiasi dan Positioning lalu menjadi kunci pemasaran dan segmentasi menjadi lebih kecil serta beragam, seperti diungkapkan oleh pakar marketing seperti Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, Al Ries, atau Rhenald Khasali. Berbagai hal alternatif pun muncul sebagai bentuk resistensi. Orang tak mau disamakan. Universalitas dan absolutisme runtuh. Partikularitas dan idiosinkritas mengambil alih. Ini adalah era di mana manusia sampai pada kesadaran bahwa tidak semua bisa dijelaskan oleh sains, bahwa agama sendiripun tampak memiliki banyak ketidakkonsistenan dalam penjelasannya. Bahwa kebenaran absolut atau penjelasan logika Aristotelian tak lagi mampu menjelaskan kompleksitas dunia ini. Lalu ketika tatanan-tatanan itu mulai hancur, maka muncullah dunia yang silang sengkarut, tunggang-langgang. Manusia bergerak ke segala arah, tak hanya ke masa depan tapi juga memungut berbagai hal dari masa lalu. Ini sebabnya hal-hal mistis menjadi marak. Di Mana Psikologi? Lalu, di mana letak psikologi? Tampaknya otoritas dan institusi pendidikan psikologi di Indonesia justru berpotensi membuat orang-orang psikologi kehilangan posisi pentingnya dalam sains di era posmoderen ini. Orang-orang psikologi yang selalu mengklaim dirinya menguasai pemahaman akan psike ini, justru menjadi orang yang kebingungan dengan arah pergerakan dunia. Orang-orang yang justru bukan berasal dari kalangan psikologi malah akan lebih menguasai ranah ini. Ini karena psikologi tak menguasai kunci dari semua kesilangsengkarutan ini, yaitu tanda. Orang psikologi justru sibuk memapankan orang-orangnya dengan berbagai modal simbolik. Bukannya menguasai tanda tapi justru membiarkan diri terkuasai tanda. Psikotes justru makin dikedepankan, manusia di-angka-kan; ketika perhatian orang justru pada hal-hal alternatif, seperti metafisik, foto aura, Tarot dan sejenisnya. Modal simbolik seperti guru besar atau anggota institusi besar tertentu, dijadikan kebanggaan dan pembenaran untuk melakukan kesemenaan terhadap karya orang lain, seperti: mem-forward karya orang lain dengan menghilangkan nama, mengajarkan hal-hal ilegal, memasang begitu saja karya orang di jurnal tanpa seijin empunya, menjatuhkan karya orang lain. Pemikir-pemikir mengenai tanda yang sebenarnya berakar dari psikoanalisa, seperti Jacques Lacan, Michel Foucault atau Jacques Derrida tak diajarkan karena oleh kalangan psikologi dianggap terlalu filosofis. Sebuah alasan kekanakkan untuk menutupi kenyataan bahwa mempelajari tokoh-tokoh tersebut jelas lebih susah dan tak bermanfaat untuk dunia industri. Padahal justru yang filosofis inilah yang memahami psike, yang industri itu yang seringkali justru menghilangkan kemanusiawian. Padahal yang filosofis itulah yang menjaga agar psikologi tak terjebak dalam pertukangan alat tes semata. Tanda akhirnya justru lebih dikuasai oleh orang-orang filsafat, komunikasi, atau sosiologi. Simbol justru lebih dikuasai oleh mereka yang belajar mitologi dan hermeneutika. Padahal penguasaan Tanda dan Simbol inilah kunci untuk lepas dari pemikiran linier ala patriarki, lepas dari dominasi dan kekuasan untuk menuju pertumbuhan dan keseimbangan serta kembali pada pencarian keutuhan yang menjadi hakikat manusia. Tanda dan Simbol inilah yang menjadi jalan untuk memahami psike. Sayangnya, banyak orang-orang psikologi yang memilih untuk tetap tinggal dalam sistem pemikiran patriarkal yang mengutamakan tatanan, hirarki, kelas, ketaksetaraan. Mereka justru sibuk memapankan posisinya agar tak goyah melalui legitimasi berbagai modal simbolik, padahal itu adalah hal yang tak mungkin lagi dilakukan di jaman ini. Psikologi tak menyadari, mereka tak hanya berhadapan dengan sesama psikologi, tapi juga dengan paranormal, sosiolog, praktisi iklan, praktisi komunikasi. Psikologi Sosial tak akan mampu bicara apa-apa tanpa penguasaan terhadap cultural studies. Psikologi Klinis hanya menghadirkan kekonyolan dalam terapi-terapinya tanpa pemahaman akan akar filosofis dari terapi yang digunakan. Psikologi Pendidikan tak lebih dari alat kekuasaan ketika mereka juga terjebak dalam pengkategorian anak berbakat, anak genius, anak bodoh. Psikologi Konsumen pun hanya ada di awang-awang ketika tak memahami hiperealitas. Psikologi, yang menurut Freud semestinya berada dalam sistem animisme dan mampu menangkap pesan-pesan humanitas dari semesta dan alam ketaksadaran justru berubah menjadi ilmu pertukangan. Hal-hal yang muncul dari ketaksadaran seperti mite, justru terabaikan dengan berbagai alasan. Walau Carl Gustav Jung telah membahas mengenai mite secara jelas, namun orang-orang psikologi justru memandang psikologi Jung sebagai psikologi yang tidak bisa dibuktikan. Lantas teori psikologi Jung pun diredusir sebatas menjadi alat tes macam MBTI (Myers-Briggs Test Inventory) itu. Dalam psikologi perkembangan, mite hanya dibahas sekedar dalam wacana dongeng. Kalaupun dilakukan penelitian, lantas pembahasannya cuma sekedar dalam teori-teori relasi atau pola asuh, bahwa anak-anak yang didongengi memiliki perkembangan psikis lebih baik. Itupun mengukurnya dengan kuantitatif. Mereka tak sadar bahwa dongeng mengandung mite dan mite memuat tanda serta simbol. Mengapa tanda dan simbol dalam mite menjadi penting? Mite adalah misteri. Kekayaan dan kedalaman mite tak hanya mengizinkan satu interpretasi betul, melainkan beberapa, tergantung tingkat pemahaman. Mite adalah penafsiran atas simbol, hasil kebudayaan yang menghargai kehidupan, dan tak melepaskan begitu saja dari harmoni alam. Refleksi Di tengah melenyapnya tatanan, Yin dan Yang kembali memperoleh peluangnya untuk memperoleh keseimbangan. Hanya bagi mereka yang memiliki kemawasan dan hanya merekalah yang mampu bertahan. Psike? Hanya mampu dipahami dalam wacana keseimbangan Yin dan Yang itu. Sayangnya, Psikologi, dalam ketakmampuannya menjelaskan tanda, justru terbenam dan terkuasai oleh tanda itu sendiri. Membuat mereka masuk ke dalam suatu sistem pemikiran ilmiah yang menjauhkan dari pemahaman akan psike. Membiarkan diri mati dalam kekuasaan yang patriarkal, menghilangkan kesetaraan, memapankan hirarki dan kelas. Inilah sebuah perjalanan menuju kematian dari ilmu yang mengklaim dirinya memahami manusia. Ketika ilmu itu dikuasai oleh orang-orang yang memapankan diri dalam kekuasaan dengan memanfaatkan kefanaan sistem pemikiran. Ada cermatan lain? © Audifax 11 Agustus 2005 NB: Saya mem-posting artikel ini ke milis Vincent Liong, Psikologi Transformatif, R-Mania, Pasar Buku dan Forum Studi Kebudayaan. Administrator Vincent Liong, Psikologi Transformatif dan R-Mania mungkin akan mem-forward artikel ini ke sejumlah milis. Biasanya tanggapan terhadap artikel ini juga akan di-forward ke milis psikologi transformatif dan R-Mania. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Vincent Liong, Psikologi Transformatif, R-Mania dan Forum Studi Kebudayaan. Melalui artikel ini pula saya mengundang siapapun untuk berdiskusi dengan saya di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif) CATATAN-CATATAN: [1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Altentif (IISA)-Surabaya [2] Jangkung Karyantoro; (2002); Merenungkan kembali kegagalan fakultas Psikologi Indonesia dalam pengorganisasian guna terlahirnya positivisme psikologi; dalam kumpulan makalah Simposium Nasional Psikologi Transformatif; di Surabaya 4 November 2002; hal. 43 [3] Ibid; hal. 45 [4] Sigmund Freud; (2001); Totem dan Tabu; saduran Kurniawan Adi Saputro; Yogyakarta: Jendela; hal. 122 [5] Ibid; hal. 122-125 [6] Erich Fromm; Seksualitas, Matriarki, Gender; Yogyakarta; Jalasutra; hal. 24-25 [7] Ibid; hal 25 [8] Dan Brown; (2003); The Da Vinci Code; saduran Isma B, Koesalamwardi; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta; hal. 55 [9] Ibid; hal. 55-56 [10] Ibid; hal. 172-173 [11] Ibid ; hal. 173-174 [12] Ibid; hal. 174 [13] Ibid; hal. 174-175 [14] Anonim; What is the Age of Aquarius?; online documents: http://members.cox.net/mystics1/mm0.html Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12he5sf6t/M=323294.6903898.7846636.3189767/D=groups/S=1705240560:TM/Y=YAHOO/EXP=1123791946/A=2896130/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail">Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project </a>.</font> --------------------------------------------------------------------~-> posting : psikologi_net@yahoogroups.com berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED] ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED] keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED] ---------------------------------------- sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net ---------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/