Seminggu Setelah ‘Seminar’ Berlalu
(Note: Komentar Tentang; “Pelatihan Sehari Logika &
Komunikasi Empati” bagian ke-2 )
e-link tulisan ini:
<http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15327>
Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan <[EMAIL PROTECTED]>


        Seminggu telah berlalu sejak diadakannya
“Seminar Logika, Dan Komunikasi Empati” dan tampaknya
diskusi lanjutan tentang seminar tersebut tidak
mengalami kemajuan. Tampaknya kurang adanya animo
untuk berdiskusi lebih lanjut tentang masalah
tersebut.


        Mungkin ada beberapa peserta yang masih
melanjutkan “praktek” terhadap apa yang disampaikan di
dalam seminar tersebut tetapi mungkin mereka justru
mengalami berbagai hambatan yang nyata.


        Pertama, hambatan validasi. Bila seseorang
mencoba melakukan suatu “reading” terhadap sesuatu
benda yang dimiliki seseorang yang tidak dikenal
dengan parameter-parameter yang telah dipelajarinya
maka ia memerlukan validasi daripada pemilik benda
tersebut. Di sinilah ia mengalami dilema. Bila
sebelumnya ia sudah mengenal pemilik benda tersebut
maka apapun hasil readingnya menjadi tidak bermakna.
Bila ia belum mengenal pemilik benda tersebut
bagaimana mungkin ia akan mengadakan validasi. Oleh
karenanya pelatihan seperti ini memang harus dilakukan
secara berkelompok sehingga ada pihak yang mengetahui
benda tertentu itu dimiliki oleh siapa.

Hambatan validasi lebih terasa lagi apabila reading
tersebut berhubungan dengan masalah yang belum terjadi
atau ‘future reading”.  Bagaimana mengadakan validasi
suatu reading apabila peristiwa itu sendiri masih
belum lagi terjadi?


        Kedua, hambatan memetika (memetics). Pada
umumnya pengetahuan berkembang dan diteruskan melalui
suatu proses duplikasi atau lazimnya disebut sebagai
proses memetika. Untuk itu memang diperlukan suatu
metode yang sistematika yang jelas. Tanpa sistematika
dan metode yang jelas tidak mungkin suatu pengetahuan
dapat diteruskan apalagi dikembangkan.


        Di lain pihak pengembangan empati yang
mengandalkan kemampuan inteligensia otak hemisfir
kanan tidak mungkin dilakukan melalui proses berpikir
analitis dan dialektis yang biasa dilakukan oleh para
ilmuwan. Pada saat orang sibuk memikirkan dan meniru
suatu sistematika atau proses tertentu maka yang aktif
bekerja secara dominan pada saat itu ialah otak
hemisfir kiri yang bekerja pada frekuensi yang tinggi
di atas 20 Hertz. Pada saat seperti itu otak hemisfir
kanan menjadi submisif dan lumpuh terhadap dominansi
otak hemisfir kiri. Mengapa?

Pertama, karena otak hemisfir kanan baru mengambil
alih pekerjaan (berfungsi) “memikir” pada frekuensi
getaran yang lebih rendah yaitu di bawah 12 Hertz.

Kedua, pada umumnya orang awan tidak memiliki pola
getaran otak yang integrated yang merangkum semua pola
getaran frekuensi baik yang tinggi maupun yang rendah
sekaligus.


Pengembangan komunikasi empati juga tidak mungkin
terjadi antara dua individu yang tidak saling
mengenal. Tidak terdapat hubungan emosional apapun,
baik positif maupun negatif di antara kedua individu
tersebut.


Untuk “ice breaking” supaya terjadi suatu interaksi
hubungan emosional antara kedua individu tersebut
dapat ditempuh dua cara.

Pertama, dengan cara provokasi emosional. Bila
seseorang mengeluarkan suatu pendapat dan orang lain
mengatakan bahwa pendapatnya itu konyol atau keliru,
maka setiap reaksi emosional daripada orang pertama
dapat menjadi buah daripada provokasi emosional pihak
kedua.

Provokasi emosional paling mudah ialah dengan cara
melanggar sejenak etika sopan santun dalam
berkomunikasi, misalnya alih-alih orang yang lebih tua
dengan panggilan “anda” sebaiknya orang tersebut
disapa dengan kata “elu” yang sifatnya egaliter.
Begitu orang yang lebih tua tersebut merasa
tersinggung, maka tali hubungan emosional – yang
negatif tentunya – telah terbentuk di antara kedua
individu tersebut.

Provokasi emosional yang positif juga dapat dibangun
dengan cara memuji orang yang belum dikenal. Misalnya
dengan mengatakan: “Anda tampaknya bahagia sekali pagi
ini. Ada apa kiranya?” Atau kepada seorang perempuan
yang – jelas-jelas - tidak begitu cantik disapa dengan
kata-kata: “Anda kelihatannya segar dan manis sekali
sore ini.”

Namun, kedua jenis provokasi emosional ini dilakukan
berdasarkan suatu pengandaian tertentu. Misalnya,
bahwa pada umumnya orang lebih suka dipuji daripada
dikritik. Bahwa orang lebih suka mendengar kata-kata
pujian yang diharapkan benar dengan murah hati dan
tulus diberikan kepada dirinya. Jadi pengembangan
komunikasi dengan cara provokasi emosional ini, baik
yang positif maupun negatif, merupakan rekayasa
inteligensia otak hemisfir kiri yang rasional dan
alinatis, metodik dan sistemik.


        Cara kedua adalah cara yang lebih kompleks,
sarat sofistikasi sekaligus non sistemik.

Bila individu Ali bertemu dengan individu Beni, maka
muatan memori – termasuk ‘collective memory’ – mereka
sama sekali terpisah dan hampir sebagian terbesar
berlainan sama sekali isinya. Untuk mengenal isi
memori si Beni maka Ali dapat memancing Beni untuk
berbagi barang sedikit dari memorinya, yang pada
gilirannya kemudian menjadi memori bersama (“shared
memory”) walaupun hanya sekedar ibaratnya sekeping
‘jigsaw puzzle” untuk memperoleh insight keseluruhan
gambarnya.

Misalnya, Ali bertanya kepada Beni: “Bagaimana
pandangan adik ipar keempat saya tentang diri saya
(Ali)? Bagaimana mungkin Beni harus menjawab Ali
secara rasional saat ia sama sekali tidak mengenal
adik ipar keempat si Ali tersebut. Di samping itu Beni
juga baru saya berkenalan dengan Ali dan sama sekali
tidak mengenalnya sebelumnya.

Beni dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang
memancing memori Ali baik dengan pernyataan afirmasi
maupun negasi, yang kedua-duanya memadai bagi Beni
untuk melakukan “reading” dengan menggunakan
inteligensi otak hemisfir kanannya.

Dalam kasus minggu lalu, misalnya, Beni malah balik
menyatakan: “Saya rasa anda sama sekali tidak
mempunyai adik keempat. Bagaimana saya harus
mengadakan “reading” tentang pandangan dia terhadap
anda?”  Ali menjawab: “Saya mempunyai adik keempat
tetapi hubungan kami memang tidak erat.”  Ternyata
antara Ali dan adik keempatnya tidak ada hubungan
emosional karena mereka selama ini bersikap acuh tak
acuh satu sama lainnya.

Ternyata bahwa inteligensia otak hemisfir kanan tidak
mampu “membaca” memori seseorang apabila sama sekali
tidak terdapat hubungan emosional satu sama lainnya.
Sebaliknya bilamana Ali menyayangi (emosi positif)
atau sebaliknya membenci (emosi negatif) adik
keempatnya, maka Beni pasti dapat melakukan “reading”
bagaimana pandangan adik iparnya yang keempat tersebut
terhadap Ali.


Dengan demikian titik-nol atau “titik-apati”
(non-cognizant) antara individu A dan B yang saling
berhadapan merupakan titik-median di antara keduanya.
Bila bergeser ke belakang dari sikap apati menjadi
antipati, sebaliknya bila bergerak ke depan berubah ke
arah empati. Cara menggeser-geserkannya ialah dengan
cara provokasi positif dan negatif seperti disebut di
atas sebelumnya.


        Dengan demikian apabila sudah terdapat suatu
hubungan “emosional dasar” antara dua individu maka
komunikasi intuitif antara keduanya dapat ditingkatkan
dengan manipulasi provokasi verbal, attitudinal maupun
berhavioral partisipan yang aktif. Bila relasi
dirasakan terlalu dekat (intimate) dapat dilakukan
provokasi negatif dan sebaliknya bila terlalu jauh
atau kaku dapat dilakukan provokasi positif.


        Kemampuan untuk memainkan instrumen provokasi
ini akan menjadi semakin sangat dalam psikologi klinis
atau dalam konseling di masa yang akan datang.
Membangkitkan kepercayaan klien terhadap konselor
merupakan dasar yang sangat vital bagi keberhasilan
konseling itu sendiri. Bila klien tidak percaya, acuh
tak acuh atau malahan antipati terhadap konselor maka
tingkat keberhasilan sudah pasti tidak dapat terlalu
diharapkan. Selain itu suatu konseling pada dasarnya
juga adalah yang tujuan pokoknya ialah suatu
“behavioral modification’ atau “behavioral therapy”
dan bagaimana mungkin suatu terapi dapat berhasil baik
apabila konselor gagal menggali “bad memories” dari
sang kliennya.


        Dalam psikologi konvensional para konselor
tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan
inteligensia intuitif dari otak hemisfir kanannya. Di
Fakultas Psikologi mereka tidak diajarkan metode yang
konon meta-scientific  - bahkan kerap dikategorikan
sebagai pseudo-scientific” tersebut. Padahal
“intuitive intelligence” memiliki kemampuan yang
sangat jauh melampaui kemampuan analitis “logical
intelligence” otak hemisfir kiri. Pada tulisan
sebelumnya telah diberikan contoh bagaimana seorang
psikolog yang merekrut kandidat Chief Executive
Officer tidak mungkin melakukan serangkaian Test
Psikologi Konvensional. Ia hanya memiliki beberapa jam
saat dinner bersama untuk melalukan “reading” yang
cermat tentang calon CEO tersebut padahal ia tidak
pernah dilengkapi kemampuan untuk menggunakan
”intuitive intelligence” nya untuk melakukan
komunikasi intuitif dengan kliennya.

Di lain pihak orang yang memiliki “intuitive
intelligence” yang tinggi bila disodorkan ratusan nama
kandidat karyawan maka ia dapat memilih dengan cepat
dan tepat calon yang paling sesuai untuk perusahaan
yang diwakilinya.  Di samping itu Test Psikologi mali
yang mampu mendeteksi ‘the future problem” yang
mungkin akan terjadi dan yang akan dibawa seorang
kandidat tertentu bila ia sampai terpilih?


        Dengan demikian selintas terlihat bahwa
psikologi konvensional akan memperoleh bantuan yang
sangat berharga dan bersifat transformatif apabila
mulai menjajagi dan akhirnya menguasai juga
kemampuan-kemampuan psikis dan psikologis yang
dimiliki oleh intelligensia otak hemisfir kalin.



        Mang Iyus
(Drs. Juswan Setyawan)
Jakarta, Minggu, 30 April 2006




Anda diharapkan membaca tulisan sebelumnya (bagian
ke-1) yang berjudul;
Komentar Tentang; “Pelatihan Sehari Logika &
Komunikasi Empati”
Melalui e-link:
<http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/15219>


Bilamana anda / teman anda berminat mengikuti acara
sejenis di masa mendatang atau ingin mengundang
Vincent Liong untuk mengadakan acara sejenis di tempat
yang anda sediakan, silahkan langsung menghubungi
Vincent Liong. Biaya (untuk menyewa Vincent Liong)
akomodasi, dan lain-lain dapat dinegosiasikan
sebelumnya dengan Vincent Liong sendiri.

CDMA :  021-7000-6775
Phone&Fax :  021-5482193, 5348567, 5348546
Address :  Jl. Ametis IV G/22 Permata Hijau, Jakarta
Selatan 12210 - Indonesia.
e-mail: <[EMAIL PROTECTED]>
(Note: Mengirim email, harap mengisi bagian subject
email agar tidak masuk ke bulk mail.)

Anda diundang untuk bergabung dalam diskusi di;
Maillist VCL / Vincent Liong :
<[EMAIL PROTECTED]>
Maillist Psikologi Transformatif :
<[EMAIL PROTECTED]>
Messages Link:
<http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/messages/>
Messages Link: <http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/messages/>

Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com


posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net
----------------------------------------




SPONSORED LINKS
Bali indonesia Indonesia hotel


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke