MENELUSURI PEMIKIRAN ORIENTALIS Yahya
al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. sekitar 750 M).
sudah menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada orang-rorang Kristen tentang isi
kandungan al-Quran yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Sejak saat itu,
Islam sudah menjadi objek kajian non-Muslim. Abraham
Geiger (m. 1874) termasuk yang pertama kali menggunakan pendekatan pengaruh
Yahudi terhadap al-Quran. Menurut Geiger, seorang pendiri dan pemimpin gerakan
Reformasi Yahudi di Jerman, ajaran Muhammad meminjam dari agama Yahudi.
Kata-kata yang terdapat di dalam al-Quran seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘Adn, Jahannam, Ahbar,
darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan, Ma'un, Masani, Malakut berasal dari bahasa Ibrani. Selain
itu, hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, hukum-hukum, moral,
pandangan tentang kehidupan dan cerita-cerita yang ada di dalam al-Quran, tidak
terlepas dari pengaruh agama Yahudi. Mengenai ayat-ayat di dalam al-Quran yang
mengecam Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan Muhammad telah
menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama Yahudi. Pemikiran
Geiger dipuji dan dikembangkan lagi oleh Theodor Noldeke yang pada tahun 1860
menulis tentang sejarah al-Quran ( Geschichte des Qorans) . Buku N ? ldeke ini kemudian diedit dan direvisi
secara beramai-ramai oleh beberapa orang Orientalis terkemuka Jerman lainnya
dan dikerjakan selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak
diusulkannya edisi kedua. Hasilnya, sampai saat ini, karya ini menjadi karya
standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan al-Quran bagi para Orientalis. Selain
itu, Arthur Jeffrey bersama Bergstr ? sser dan Pretzl berambisi menyusun
al-Quran edisi kritis. Mereka mengumpulkan berbagai varian tekstual yang bisa
didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qiraah
dan manuskrip. Namun, Perang Dunia ke-2 yang menghancurkan Jerman, telah
membuyarkan proyek ambisius mereka. Sejumlah besar bahan yang telah mereka
himpun, musnah terkena bom tentara bersekutu. Sampai meninggalnya Jeffrey dan
Pretzl, proyek ambisius al-Quran edisi kritis tidak pernah terlaksana. Seorang
Orientalis lain, Gerd A. Puin mengklaim bahwa dia telah menemukan manuskrip
lama di Yaman yang kononnya mengandungi qiraah yang lebih awal dari qiraah tujuh yang terkandung dalam Mushaf Utsmani. Manuskrip
tersebut mengandungi qiraah yang lebih banyak dari qiraah tujuh, sepuluh , atau empat belas . Pendapat Puin tidak mempunyai landasan yang kokoh.
Banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu tidak semestinya benar,
karena qiraah tersebut sudah memuat qiraah yang qiraah
yang syadh (ganjil, menyimpang) ataupun mawdu (palsu). Jadi, qiraah yang ada dalam manuskrip itu adalah lemah ( daif ). Al-Quran bermula dari bacaan ( qiraah ) yang diperdengarkan, baru kemudian tulisan ( rasm ) mengikutinya. Prinsip yang telah disepakati para
ulama Islam sepanjang masa adalah tulisan mengikuti periwayatan ( al-rasm tabi li al-riwayah ). Inilah syarat utama bagi sah dan
diterimanya sesuatu qiraah , yaitu ia harus sesuai dengan riwayah . Selain
usaha yang disebut di atas, para Orientalis juga melacak pemikiran pinggiran
untuk menggerogoti ijma' yang sudah resmi. Ibn Miqsam yang mengabaikan isnad
dan Ibn Shanabudh yang memperbolehkan bacaan yang berbeda dengan Mushaf Utsmani
sering dijadikan bemper untuk menyalahkan otentisitas mushaf Utsmani. Padahal,
para ulama yang sezaman dengan Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh telah pun menolak
pendapat mereka. Oleh sebab itu, pemikiran Ibn Miqsam dilarang dan pada
akhirnya disebutkan bahwa Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti
kesepakatan para ulama. Namun,
usaha Orientalis yang terus-menerus menyerang kitab suci al-Qur'an akhirnya
berhasil menjebol pemikiran Mohammed Arkoun. Arkoun berpendapat bahwa sejarah
al-Qur'an sehingga bisa menjadi “kitab suci” dan
“otentik” perlu dilacak kembali. Untuk tujuan tersebut, Arkoun
kemudian menawarkan strategi dekonstruksi yang akan membongkar dan menggerogoti
sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci.”
Menurut Arkoun, al-Quran tidak terlepas dari perubahan sejarah. Al-Quran berakar
di dalam bahasa, sejarah sosial dan lingkungan yang khusus. gambaran bahwa
kodifikasi al-Quran menjadi mushaf Utsmani dianggap Close Official Corpus hanyalah angan-angan sosial tradisionalis dan
modernis. Menurut Arkoun, kaum Muslimin tidak tepat karena tetap mengabaikan
kritik-kritik filsafat tentang teks suci seperti yang telah digunakan kepada
Perjanjian Lama dan Baru, sekalipun tanpa menghancurkan konsekuensi ide wahyu.
Arkoun juga menyayangkan ketika kaum Muslimin meminggirkan karya-karya para
Orientalis Jerman. Masih menurut Arkoun, penolakan kepada pendekatan ilmiah itu
disebabkan tekanan politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan
psikologis karena kegagalan pandangan mu'tazilah mengenai ke-makhluk-an
al-Quran di dalam waktu. Menurut Arkoun, mushaf Utsmani sebenarnya hanyalah
hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudiannya dijadikan Unthinkable dan makin menjadi Unthinkable dikarenakan kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Pendapat
yang menolak Mushaf Utsmani bertentangan dengan kesepakatan para ulama Islam
sepanjang zaman. Yang dilakukan para Orientalis dan pengikutnya, biasanya
membesar-besarkan pemikiran sempalan dan pinggiran yang tidak memiliki pijakan
yang kuat, seolah-olah hal itu merupakan arus utama pemikiran Islam. Padahal, itu
pemikiran ‘nyeleneh', dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menggantikan
pikiran yang sudah dominan dikalangan para Ulama dan kaum Muslimin. Pemikiran
para Orientalis yang sudah mendapat justifikasi dari Arkoun, harus dikritisi
dengan serius, sebab membawa dampak yang sangat serius terhadap kedudukan kitab
suci al-Quran. |
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________