Iko artikel dari kawan diambiak dari Hidayatullah,
Paparan keprihatinan terhadap kondisi minang saatko.
"Selanjuik tasarah anda" kecek iklan

salam

Is, 34
www.cimbuak.com
# Kampuang Nan Jauah Dimato Dakek Dijari #



-----Original Message-----


Widayati, Lembut tapi Lantang
Bila ia melantunkan ayat suci Al-Qur'an, ada yang menangis karena tersentuh
oleh keindahan iramanya. Tapi, bila berbicara soal kemerosotan akhlak, ada
yang terhujam oleh keras kritikannya.

Ranah Minang semestinya identik dengan wajah Islam. Bukankah tradisi di
propinsi sebelah barat Sumatera ini sarat dengan nuansa agamis? Pemuda harus
tidur di surau (mushola). Anak-anak harus pandai mengaji.

Tapi, bagi Hj Widayati, mantan juara MTQ tingkat Internasional, wajah Islami
itu kini sudah memudar.

''Nagari-nagari (desa) di ranah Minang ini sudah semakin rusak. Tampak nyata
pada perilaku remaja yang jauh dari tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah,''
katanya kepada Hidayatullah saat ditemui di kediamannya di Nagari Kotobaru,
Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat, sebuah kampung lengang berjarak 186
kilometer dari kota Padang.

Remaja sudah mulai akrab dengan narkoba. Judi toto gelap (togel) sudah
menjadi pemandangan sehari-hari. VCD porno masuk ke kampung-kampung. Bahkan,
gambar-gambar seronok itu berani dijual di samping masjid. Belum lagi aksi
Kristenisasi.

Tak cuma kaum remaja yang berperilaku menyimpang, para ninik mamak (sesepuh)
juga sama. Mereka lebih suka main koa di kedai kopi dari pada mengaji di
surau.

Warga Sumatera Barat, kata Widayati, memang telah berubah. Namun perubahan
itu tak harus diratapi. Harus ada tindakan yang bisa mengubahnya.

''Kita harus melakukan aksi, menegakkan da'wah bil hal. Tak cukup hanya
lisan saja. Apalagi meratapi yang tengah terjadi,'' kata ibu dari empat
putra ini; Muhammad Taufiq, Muhammad Abdul Azis, Muhammad Aqil, dan si kecil
Hamalatul Qaria'ati.

Wanita lembut
Sebenarnya, da'iyah kelahiran 18 Oktober 1965 ini adalah sosok wanita
sederhana yang ramah, mudah menebar senyum, dan bersuara lembut. Lantunan
ayat suci Al-Qur'an dari mulutnya sangat merdu. Tak jarang ada yang
meneteskan air mata manakala mendengar ia mengaji.

Tapi, kelembutan itu mendadak hilang saat ia membahas kemerosotan akhlak
masyarakat Minang. Suaranya menjadi lantang. Semua tabiat menyimpang ia
koreksi. Tak peduli ninik mamak, apalagi kawula muda yang mulai suka
mengumbar aurat.

''Bagaimana mungkin anak-kemanakan (para remaja) Minang saparentah (menurut)
ninik mamak kalau ninik mamaknya sendiri berperilaku tak sesuai dengan gelar
adat yang dipangkunya,'' kata Widayati.

Bayangkan, undangan tabligh akbar sudah diberikan, pengumuman sudah beberapa
kali dikumandangkan lewat toa masjid, para ninik mamak itu masih juga
nongkrong di lapau (kedai) kopi. Mereka lebih suka main koa atau ngobrol
tentang kepiawaian anjing piaraan mereka berburu babi.

Dulu, saat Widayati masih kecil, ninik mamak begitu disegani. Ketika azan
Magrib berkumandang, tak boleh ada anak-kemenakan yang masih berkeliaran di
jalan. Kalau kelihatan oleh mereka, para remaja itu akan ''dihalau'' ke
masjid, tak peduli orang tuanya berpangkat jenderal atau punya jabatan
tinggi.

Bila ada yang membangkang, cerita Widayati, rotan yang semula untuk
menakut-nakuti, benar-benar akan dipukulkan ke tubuh para remaja itu.
''Ninik mamak lebih ditakuti dari orang tua sendiri,'' kenang istri Nursal
Sirin ini.

Para orang tua tidak ada yang protes bila anaknya dihukum oleh ninik mamak.
Mereka sadar tugas ninik mamak adalah menegakkan syariat Islam sebagai
pengamalan dari prinsip adat basandi sara', sara' basandi kitabullah (adat
bersumber dari aturan agama, aturan agama bersumber Al-Qur'an).

Kini, fungsi menegakkan syariat Islam sudah dilupakan ninik mamak. Bukannya
mereka tidak tahu, tapi lupa diri. Mereka harus diingatkan. Bahwa syariat
Islam wajib ditegakan di ranah Minang. Bukan orang Minang kalau tidak
menjalankan Islam. Inilah tugas utama Widayati dan semua da'i/da'iyah di
Sumatera Barat. Jika ninik mamak sudah sadar, otomatis perilaku anak-anak
dan remaja juga akan terkontrol.

Markas halaqah
Da'wah Widayati makin hari makin berkembang. Ia tak hanya memanfaatkan
mesjid, surau, atau sekolah, tapi rumahnya pun sudah dijadikan ajang untuk
berkumpul lebih dari 100 remaja. Mereka berasal dari Bukittinggi, Agam Tanah
Datar, Payakumbuh, bahkan Pekan Baru Riau.

Setiap hari para remaja itu belajar ilmu baca Al-Qur'an. Mulai dari tajwid,
tartil, tilawah, khat, sampai qira'at sa'adah. Selain itu nilai-nilai Islam
ditanamkan juga pada mereka sesuai petunjuk Al Qur'an dan sunnah.

''Cita-cita saya bukan hanya mencetak qori dan qoriah berprestasi, tetapi
juga mujahid dan mujahidah yang tahan banting. Sebab, Al-Qur'an tidak cuma
untuk dibaca tetapi juga untuk diamalkan,'' kata Widayati.

Ketika masih kecil, Widayati sangat menikmati kehidupan nagari yang kuat
menjalankan syariat agama dan adat istiadatnya. Saat maghrib datang, jalanan
kampung berubah menjadi sepi. Orang tua, anak-anak, dan remaja pergi ke
surau. Selain shalat berjamaah, mereka juga mengaji.

Widayati terlahir dari keluarga guru mengaji. Sejak kecil ia memang sudah
gemar mengaji. Kegemaran ini menumbuhkan bakat.

Sadar akan munculnya bakat tersebut, Widayati lalu mengasah kemampuannya di
Jakarta dan Medan. Hasilnya luar biasa. Meskipun ia hanya menamatkan
pendidikan formal di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), tapi Allah SWT
menganugerahinya gelar juara, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten,
provinsi, nasional, hingga internasional.

Kejuaraan tingkat internasional diikutinya di Kuala Lumpur, Malaysia, pada
12-19 Desember 1998. Ia berhasil menyisihkan semua utusan dari 39 negara.

Sebetulnya, menjadi juara MTQ tingkat internasional bukan satu-satunya
cita-cita Widayati. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin memiliki sebuah halakah.
Tujuannya tak cuma mewariskan kemampuan baca Al-Qur'an kepada generasi
berikutnya, tapi juga membentuk generasi Qur'ani, pengamal dan pejuang
Islam.

Cita-cita tersebut terilhami oleh kebiasaan Widayati pada masa kecil. Dulu,
katanya, anak-anak masih terbiasa mengaji di surau. Namun, Widayati tak puas
bila hanya mengaji di sana. Ia pun mengadakan pertemuan di rumah, mengaji
dan membahas agama. Halakah kecil-kecilan ini berjumlah lima sampai 10
orang.

''Sejak saat itu selalu ada kerinduan punya rumah sendiri yang penuh dengan
suara anak-anak mengaji,'' katanya.

Di penghujung tahun 1997, ketika baru pulang dari memboyong gelar juara MTQ
tingkat nasional di Jambi, cita-cita masa kecil mulai dirintisnya. Mulanya
hanya ada sepuluh santri saja. Lama kelamaan jumlahnya kian 'membengkak'.

Kemudian, tiga tahun lalu, Widayati harus merelakan halaman rumahnya untuk
'diobrak-abrik' menjadi sebuah 'markas' halakah. Ia namakan halakah
Al-Azra'iyah, diambil dari nama guru ngajinya yang juga seorang ulama
keturunan Mesir di Medan. Kini beliau sudah menghadap Allah.

Jumlah santri sudah lebih dari 100 orang. Jadwal mengaji sangat padat. Pada
hari Rabu pengajian dilaksanakan pukul 15.00 hingga 18.00. Hari Jumat pukul
14.00 hingga 17.00. Dan, hari Sabtu pukul 15.00 hingga 20.00. Khusus hari
Ahad, pukul 09.00 hingga 16.00.

Di sela-sela kegiatannya, Widayati masih sempat mengurus keluarga. Semua
tugas ia selesaikan sendiri tanpa ada pembantu.

Sebetulnya Widayati bisa saja pindah ke kota untuk mencari rizki dari
kepandaiannya membaca Al-Qur'an. Gelar juara MTQ tingkat internasional pasti
sangat menjual. Terbukti, permintaan menjadi guru pembina qori dan quriah
dari Padang Sematera Barat dan Pekan Baru Riau banyak berdatangan. Widayati
dengan mudah memperoleh penghasilan yang lumayan.

Tapi ternyata ia punya pikiran lain. Rizki, kata Widayati, sudah diatur oleh
Allah. Ia tak punya kuasa atas hal itu. Namun, tanggung jawab membina akhlak
para remaja di kampung, siapa lagi kalau bukan orang kampung itu sendiri.

Bila semua da'i pindah ke kota, siapa yang akan menjaga benteng aqidah di
kampung? Pertahanan bisa bobol. Bukankah sudah banyak aksi kristenisasi di
Minang? Belum lagi pengaruh televisi yang sudah menjangkau hingga pelosok
desa, narkoba, dan judi togel.

Widayati memutuskan untuk tetap bertahan di kampung meskipun niat
membesarkan halakah terhalang oleh materi. ''Untuk melengkapi halakah dengan
asrama saja sampai hari ini saya masih kesulitan dana,'' katanya.

Cita-cita Widayati membesarkan halakah Al-Azrai'yah memang penting. Tetapi,
menjadi benteng yang kukuh dalam perang peradaban saat ini jauh lebih
penting. Dan, Widayati tahu persis akan hal itu. (dodi/Hidayatullah)

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke