Title: Message
 

Tarbawi edisi 74 Th.5/Dzulqo’dah 1424 H.

 

Kenangan Ida Natsir Bersama Sang Ayah

 

Pesan Ayah, “Lakukan Terbaik yang Kita Bisa”

 

Politisi Islam di masa lalu, dikenal lewat pemikiran dan perilaku politik yang konsisten. Keteguhan sikap mereka jadi contoh berharga bukan saja bagi umat, tapi juga anak-anaknya. Ida Natsir, puteri M. Natsir, tak bisa lupa betapa dalam menghadapi tekanan penguasa, ayah mereka tidak pernah memaki dan mengeluh. Ini kiranya dapat jadi pengingat, betapa ikhlas dan gigihnya mereka memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Suatu fenomena yang kini makin langka.

 

Asma Faridah salah seorang puteri tokoh Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, M. Natsir. Sebagai pengurus Pesantren Darul Falah, ia menempati rumah dinas di kawasan Pesantren itu di Bogor. “Rumah ini hanya boleh ditempati sepanjang saya masih dinas. Jika sudah selesai, saya dan keluarga mesti pindah,”tutur Ida, panggilan sehari-hari Asma Faridah.

 

Pembiasaan bersikap professional ini sejak kecil ditanamkan ayahnya. Ida masih ingat, meski ayahnya pernah menjadi Perdana Mentri RI, jabatan yang amat prestisius, tapi ia tetap naik sepeda ke sekolah. ‘Tidak ada itu kami jadi diantar pakai mobil ke sekolah.” Mobil dinas juga tidak ngetem seterusnya di rumah. Tiap hari, selesai dipakai buat urusan kerja ayahnya, mobil itu langsung dibawa lagi oleh supirnya. Sewaktu pulang sekolah, ia juga tetap mesti turun dari sepeda begitu tiba di pos penjagaan di rumah dinas. “Meski anak Perdana Mentri, saya tetap turun dari sepeda. Ini diharuskan orang tua saya, kami mesti menghormati penjaga pos itu.” Selalu diingatkan, semua benda yang ada dirumah bukan milik kami . Sewaktu-waktu Abah tak lagi bertugas, semuanya musti ditinggalkan, tidak boleh ada yang dibawa sama sekali, bukan hak kami,”Kenang Ida.

 

Ketokohan Natsir di dunia arab dan kedudukannya sebagai Ketua Dewan Dakwah, sebenarnya membuka peluang bagi anak-anaknya beribadah haji tanpa biaya. Bahkan kadang orang bertanya pada Ida apakah ia sudah naik haji, dan sewaktu dijawab belum, mereka terheran-heran. “Mereka bilang, istilahnya kan  dengan tanda tangan Abah saja, orang sudah bisa naik haji. Di sana dapat fasilitas gratis pemerintah Saudi.”Tapi satu hal yang sangat diingat Ida, “Abah tidak pernah memumpungkan jabatan apa pun. “Keluarga juga tidak pernah protes. “Bagi kami itu memang semestinya. Kami sudah ngerti, sikap beliau bagaimana. Beliau juga ngerti anak-anaknya tidak akan tergoda hal seperti itu.”Maka anak-anakpun pergi haji setelah mengumpulkan biaya sendiri.

 

Sewaktu ayahnya menjabat Perdana Mentri, Ida ingat, berbagai tamu keluar masuk rumahnya. Uniknya, tamu dari rakyat biasa pun tak ada kendala masuk. “Cukup melapor di pos penjagaan seperti tamu lain, mereka pun langsung masuk.” Pernah Ida Bertanya pada ayahnya yang terlihat lelah, sehabis seseorang mengadukan masalahnya, kenapa urusan ringan yang bisa diselesaikan orang lain, mesti diselesaikan ayahnya. Tapi Natsir menjawab, “Bagi kalian mungkin ringan, tapi bagi orang itu, ini masalah besar.”

 

Sepanjang perjalanan politiknya, Natsir dikenal sebagai tokoh yang berani mengambil resiko, asal jalan ia tempuh diyakini kebenarannya. Itulah sebabnya di masa Orde Baru, ia akhirnya ditekan habis-habisan, karena kasus Petisi 50 yang menghebohkan itu. Saat itu, Ida ingat, tidak sedikit yang akhirnya takut bertemu ayahnya. “Bahkan pernah ayah tidak boleh menghadiri pernikahan keponakannya. Karena Soeharto akan datang atas undangan pihak kerabat besan yang seorang pejabat negara.”Jadi ada perintah, Pak Natsir tidak boleh datang. Ia lihat sikap Natsir tenang saja. “Life must go on, masih banyak pekerjaan yang mesti diberesi, “ kata Natsir pada anak-anaknya.

 

“Malah setelah Petisi 50, Umi sama Abah masih tetap jalan-jalan habis shalat Shubuh. Tapi sewaktu seorang anggota Petisi 50 konon kabarnya ditabrak, ayah dilarang jalan-jalan sama teman-temanya.”Masa itulah Ida ingat sekali, “Abah sama saja dengan mengalami penjara nasional. “Bahkan sewaktu ingin berobat ke Riyadh atas undangan Raja Fahd, ijin tetap tidak keluar.

 

Resiko besar juga ditempuh Natsir sewaktu peristiwa PRRI Permesta. Natsir akhirnya ikut masuk hutan, keluarganya pun diboyongnya serta. Perjuangan selama 3 setengah tahun di hutan masih diingat Ida. Dimasa itu, selama setahun keluarga pernah hanya berkomunikasi dengan Natsir lewat surat. Dalam salah satu suratnya, Natsir menceritakan pada anak-anaknya sejarah masa kecilnya. Natsir juga berpesan agar anak-anaknya jangan kecil hati dikatakan pemberontak.

 

Surat itu mengatakan, “Kita bukan pemberontak, ini tindakan benar, karena pusat sudah menyimpang.” “Kami bukan mencari kepentingan sendiri.”

 

Di hutan Ida merasakan kenikmatan tersendiri. Ia jadi makin dekat dengan saudaranya, ibu, dan terutama ayahnya. “Kami sholat berjamaah. Malah adik belajar ngaji sama Abah. Waktu dirumah kan memanggil ustadz, karena Abah sibuk. Saat itu beliau sendiri yang ngajar,”ujar Ida sambil tersenyum.

 

Setelah peristiwa PRRI, Natsir dijebloskan ke penjara. Tak lama setelah Soekarno jatuh, Natsir yang masih di penjara di Keagungan di Jakarta Barat, justru dimintai pertolongan untuk membuka lagi hubungan negara dengan Malaysia. Saat itu seorang utusan meminta Natsir supaya berkenan membuatkan surat untuk Tengku Abdurrahman, supaya mau bertemu utusan-utusan dari Indonesia. Sudah berkali-kali mereka mencoba menemui pemimpin Malaysia itu, tapi ditolak terus. “Saya yang sedang menjenguk Abah dipenjara, heran sekali, karena Abah lantas meminta saya mengambilkan kertas, lalu mengetik surat itu.”

 

Ketika mereka datang Tengku Abdurrahman tidak mau terima, ia pergi ke tempat peristirahatannya. Tapi sewaktu dikasih tahu mereka bawa surat dari Natsir, langsung diterima. “Suratnya pendek saja, sekarang disimpan oleh adik saya. Isinya memberitahu kawan-kawan ingin bicara.” Natsir sendiri baru dikeluarkan dari tahanan pada Juli 1966.

 

“Sewaktu Abah membuat surat itu, kami protes juga. Abah, kita aja nggak boleh bergerak, ngapain masih dibantu?” Tapi Abah jawab, “Kalau demi bangsa, lakukan. “.

Ketika ayahnya di penjara nasional oleh rezim Orde Baru, beberapa teman Natsir pernah menganjurkan tinggal saja ke luar negeri. Dari pada di tanah air sendiri seperti pesakitan. Tapi Natsir menolak. Ida masih ingat sikap ayahnya, “Banyak yang harus kita garap. Nggak di politik ya da’wah ini tetap harus bisa jalan. Yang utama, to make the best of it. Lakukan terbaik yang kita bisa.”


Do you Yahoo!?
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70/year
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke