Assalamu'alaikum wr.wb
Hal - hal tentang Amien Rais rasanya hampir 89,9 % warga milis ini
sudah paham/tahu dan ada yang suka dan ada juga yang hampir suka.
Untuk itu dibawah ini ada tulisan tentang sosok pendampingnya yang
memang kurang dipublikasikan, so, biar lebih mantap dengan pilihannya
ada baiknya kita tahu juga tentang sosok pendamping AR.

Sedikit prolog ya...
Ketika acara malam silahturahmi GMNI-HMI di Aryadhuta beberapa hari 
lalu yg juga dihadiri oleh dwi tunggal tersebut dan kebetulan saya
dan beberapa teman dari KOMPArS ikut hadir, ada hal yang menarik dari
Siswono, menurut pengakuan beberapa teman GMNI dan juga AR bhw Siswono
ini sebenarnya juga sosok seorang yang religius karena ketika kuliah
di ITB ia pun aktiv dikegiatan masjid salman dan dalam kesempatannya
diatas podium Siswono pun tampak fasih memaparkan beberapa hadits qutsi
tapi saya lupa ttg hal apa yg ia sampaikan terkait dgn beberapa hadits
qutsi tsb dan ketika di masjid salman beberapa waktu lalupun ia tampak
tidak kikuk menjadi khatib. Pd kesempatan acara malam silahturahmi
tsb ada juga sebuah pengakuan dr AR dan Sis bagaimana proses meleburnya
mereka, pendek kata ternyata buya kita Syafi'i Ma'rif sangat berperan
dalam memberikan jalan/nasehat mengenai figur pendamping AR. Saran dari
buya ke AR adalah agar jgn hanya terpaut pada satu orang coba cari yg
lain yang kira-2 lbh baik, nah setelah mendengar nasehat buya setibanya
di rumah kediamannya AR langsung melihat-lihat lagi daftar rekomendasi
dari Muhammadiyah siapa-2 yg layak menjadi pendamping AR dan ketika
itu juga AR langsung tertarik dengan nama Siswono malam itu juga dia
langsung menelpon Hatta Rajasa dan Bambang Sudibyo ttg siswono
dan mereka tampak antusias dan segera meluncur ke kediaman Siswono dan
ternyata Siswono pun sreg akan tetapi sebagaimana penuturan Siswono
ia akan tetap melakukan beberapa silahturahmi ke kandidat lain sgb
kunjungan balasan. Dan ternyata juga hubungan atau kedekatan AR dengan
Siswono ini pun sudah terjalin cukup lama mereka sudah sering saling
bersilahturahmi, dgn kata lain hub. ARSIS sdh terbentuk cukup lama
dan bukan karena hanya krn pencalonan.

Maaf lagi ya kalau prolognya kepuanjaangan...


wassalam,
harman

Silahkan gunakan nurani, Pilih amien atau siswono?
lain dari itu, pertimbangkan lagi

===

Siswono Yudo Husodo:
Ada Sinergi Positif dengan Amien Rais 


TAHUN 2004 adalah tahun penuh dengan orang-orang yang
sibuk, berangan-
angan, bermimpi, dan berharap atas sebuah perubahan.
Dan, ketika 
kemerdekaan berbicara mewujud di mulut orang ramai,
yang lalu muncul 
adalah begitu banyak orang yang merasa tahu bagaimana
membawa bangsa 
ini keluar dari krisis multidimensi.

TIBA-tiba kita sadar. Kita butuh demokrasi, bukan
karena kita siap 
mengisinya, tapi lebih karena kita tahu, apa artinya
tidak 
demokratis. Wacana yang muncul untuk mengisi era
kemerdekaan, lalu 
melebihi kemampuan orang banyak untuk memahami, mana
yang realistis, 
mana yang mimpi. Sebab, yang terdengar kadang justru
keluhan, kritik, 
atau kemarahan terhadap keadaan.

Tapi itulah demokrasi. Penuh liku-liku, penuh gaduh
dan tetek bengek 
yang mengganggu, tapi tidak bisa lagi ditampik. Dalam
suasana seperti 
inilah kita memasuki tahapan penting untuk memberi
makna pada 
demokrasi, yaitu memilih presiden dan wakil presiden
lewat pemilihan 
umum 5 Juli.

Dalam situasi ini juga, Siswono Yudo Husodo tampil
sebagai sosok 
menarik di antara para kandidat lain. Siswono
barangkali sosok dengan 
latar belakang cukup lengkap. Bahkan oleh sebagian
kalangan, Siswono 
dianggap sebagai sosok yang memuaskan kerinduan
terhadap kehadiran 
pemimpin yang bisa memenuhi harapan mereka, di tengah
kesimpangsiuran 
adu wacana soal apa yang benar dan tidak benar.

Siswono adalah satu dari dua kandidat calon wakil
presiden dari 
kalangan pengusaha, pernah jadi anggota kabinet dan
kini aktif 
mengurusi organisasi petani, serta lantang menyuarakan
kepentingan 
kelompok masyarakat yang makin terpinggirkan di tengah
gelombang 
perubahan besar saat ini.

Sebagai pengusaha, Siswono memulainya benar-benar dari
bawah. Pria 
kelahiran Long Iram, Mahakam, Kalimantan Timur, 4 Juli
1943, ini 
bukan menjadi pengusaha karena faktor keturunan.
Ayahnya adalah 
seorang dokter yang bekerja di pedalaman Kalimantan,
beberapa kota di 
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. "Jadi,
malang melintang 
di berbagai kawasan dan pedalaman bukanlah hal aneh
buat saya," ujar 
Siswono.

Sebelum memutuskan menjadi pengusaha, Siswono punya
catatan soal 
aktivitasnya semasa mahasiswa. Selain di organisasi
Gerakan Mahasiswa 
Nasional Indonesia (GMNI), Siswono adalah Wakil
Komandan Barisan 
Soekarno, sebuah organisasi massa pembela Bung Karno.
Dan, itu 
dilakukannya di era di mana gerakan Angkatan 66 justru
tengah marak 
berusaha menumbangkan Bung Karno, dan Siswono kuliah
di Institut 
Teknologi Bandung (ITB) di mana para die hard
penentang Bung Karno 
bercokol.

Itu sebabnya, ketika gerakan Orde Baru sukses
menumbangkan Bung 
Karno, Siswono sempat masuk penjara, ditahan oleh
penguasa militer 
dan diskors satu semester dari ITB. Semasa menjalani
skors itulah, 
pada tahun 1955 Siswono mencari uang dengan memulai
usaha berdagang 
hasil bumi, seperti bawang merah dan sayuran. Dia lalu
membuat usaha 
mebel dan belakangan masuk ke bidang kontraktor.


Sebagai mantan loyalis Bung karno, memang agak
mengejutkan ketika 
pada tahun 1988 dia justru diangkat sebagai Menteri
Negara Perumahan 
Rakyat oleh Soeharto. Rupanya Soeharto justru melihat
talentanya 
sebagai orang yang gigih berusaha yang digelutinya di
bidang 
perumahan.

Siswono menjadi sosok yang bukan cuma makin kuat
dengan idealisme, 
tapi punya kekuasaan mewujudkannya. Sikap
kerakyatannya mewujud makin 
jelas. Dia pacu tabungan perumahan pegawai negeri, dia
tebar rumah 
sederhana, rumah sangat sederhana di mana-mana, dia
gelar kapling 
siap bangun. Begitu juga saat menjadi Menteri
Transmigrasi dan 
Pemukiman Perambah Hutan, dia hidupkan transmigrasi
swakarsa mandiri. 
Memberdayakan rakyat adalah obsesinya.

IDEALISME adalah penuntun Siswono, meloloskan diri
dari ujian zaman. 
Meski ketika dia berbisnis kadang harus mengikuti
aturan main bisnis, 
Siswono tidak larut, tidak terhanyut. Dia tetap
berusaha menempatkan 
kesadaran mengenai apa baik dan buruk, sebagai
motivasi memperbaiki 
keadaan. "Seseorang baru berhak lantang berbicara soal
pemerintahan 
yang bersih jika dia sendiri tidak korup saat memiliki
kekuasaan dan 
peluang untuk korupsi," ujarnya.

Itu, misalnya, ditunjukkannya dengan membuat laporan
tentang jumlah 
kekayaan sebelum dia diangkat menjadi menteri oleh
Soeharto. "Sebelum 
diangkat menjadi menteri, saya melaporkan kekayaan.
Saya bilang, 
silakan Bapak periksa, jika bertambah kaya secara
tidak normal. Pak 
Harto tampak agak bingung, tapi dia waktu itu cuma
manggut-manggut," 
ujar Siswono suatu saat.

Begitu juga perlakuannya terhadap perusahaannya.
Begitu menjadi 
Menteri Perumahan Rakyat, Siswono langsung mencoret PT
Bangun Cipta 
Sarana dari daftar rekanan dan dari kegiatan proyek
pembangunan Perum 
Perumnas. Padahal, perusahaan Siswono justru dikenal
sebagai jagonya 
perumahan rakyat. Bahkan, perusahaan itu juga dicoret
dari proyek 
pembangunan Gelora Senayan dan Kemayoran karena
Siswono menjadi Wakil 
Ketua Yayasan.

Ketika menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Hutan, dia 
juga mendepak perusahaan miliknya. Padahal, perusahaan
kontraktor 
besar yang didirikannya itu telah lama menjadi rekanan
Departemen 
Transmigrasi dalam membuka lahan transmigrasi di
Sumatera Selatan, 
Bengkulu, Kalimantan Timur, dan beberapa kawasan lain.
"Kalaupun saya 
bertindak fair terhadap perusahaan saya, orang pasti
akan ngomong 
lain. Jadi, lebih baik saya coret," ujarnya.

Sebelum menjadi menteri, sejak tahun 1982 Siswono
menjadi anggota MPR 
Utusan Daerah DKI Jakarta. Sejak tahun 1987 dia
mewakili Golkar di 
MPR hingga akhir masa Orde Baru. Sejak era reformasi
dia menjadi 
utusan golongan mewakili petani. Sejak tidak lagi
menjadi menteri, 
Siswono secara sukarela memimpin Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia 
(HKTI).

Di sinilah keterlibatannya pada kepentingan petani
makin 
terasa. "Kalau mau jujur, sebenarnya saya tidak
berencana masuk HKTI 
pada tahun 1999. Saya sedang ada urusan bisnis di
Jepang ketika 
ditelepon dari Jakarta yang memberi kabar bahwa saya
diusulkan dan 
dipilih menjadi Ketua Umum HKTI. Saya bingung juga
karena saya 
sebenarnya kan tidak pernah terjun di bidang
pertanian," 
ujarnya. "Tapi, sejak itu saya belajar pertanian dan
secara all-out 
memperjuangkan nasib mereka. Saya tidak biasa bekerja
setengah-
setengah."

MENGAPA Siswono lantas terjun ke dunia politik lagi
dengan mengajukan 
diri dalam pencalonan presiden dan wakil presiden? Itu
pun tidak 
dengan sengaja. "Saya sebenarnya tidak memikirkan dan
merencanakan 
ini. Dalam sebuah forum nasional HKTI, teman-teman
meminta, 
perjuangan saya di HKTI diteruskan dengan berusaha
menjadi pimpinan 
nasional, yaitu menjadi presiden," ujarnya.

Siswono awalnya muncul sebagai calon presiden
independen yang 
didukung oleh tiga partai "kecil" yang tidak memenuhi
electoral 
threshold, yaitu Partai Persatuan Demokrasi Indonesia
(PPDI), Partai 
Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme, dan Partai
Syarikat Indonesia 
(PSI). "Belakangan jumlahnya bertambah dengan Partai
Pelopor, Partai 
Buruh Sosial Demokrat, Partai Nasionalis Bung Karno,
dan Partai 
Merdeka. Dengan gabungan suara partai-partai itu,
perolehan suara 
yang didapat sudah 5,1 persen sehingga sebenarnya
memenuhi syarat 
untuk mencalonkan diri sebagai presiden," ujarnya.

Bagaimana kisahnya ketika dia mengurungkan niat
menjadi presiden dan 
memutuskan menjadi calon wakil presiden untuk Amien
Rais, berikut 
petikan wawancara Kompas di sela-sela kampanyenya.

Mengapa bergabung dengan Amien Rais?

Saya bersyukur, sebagai pihak yang nonpartisan, yang
independen, 
ditempatkan dalam posisi memilih. Pertama rencananya
memang saya akan 
maju sendiri. Suara gabungan partai-partai yang tidak
lolos electoral 
threshold mencapai 5,1 persen, sudah memenuhi syarat
untuk pencalonan 
presiden.

Saya pun waktu itu memikirkan alternatif untuk
menggandeng calon 
wakil presiden dari tokoh wanita yang cukup populer
dan 
merepresentasi kalangan Islam, yaitu Khofifah Indar
Parawansa. Dan, 
tampaknya saat itu pilihan saya didukung PKB. Sebab,
saya sudah 
berkomunikasi dengan Gus Dur dan memberi harapan.
Masalahnya, Gus Dur 
sendiri kelihatan masih ingin maju juga sebagai calon
presiden dari 
PKB. Dengan demikian, permintaan saya untuk
menggandeng Khofifah pun 
digantung Gus Dur, sambil menunggu kepastian lolos
tidaknya dari 
persyaratan KPU. Pada waktu bersamaan, Ketua Umum
Partai Amanat 
Nasional Amien Rais dan Sekjen Hatta Radjasa
menyampaikan keinginan 
PAN menjadikan saya calon wakil presiden. Tawaran ini
saya 
pertimbangkan.

Jadi, sebetulnya ada dua alternatif yang tersedia.
Karena saya tidak 
ingin mengecewakan teman-teman dari gabungan partai,
saya sempat 
berharap memilih alternatif maju bersama Khofifah.
Namun, tanpa 
endorsement Gus Dur, sangat tidak realistis kalau saya
ngotot maju 
sebagai calon presiden. Sampai empat hari menjelang
pendaftaran calon 
presiden ditutup, Gus Dur masih meminta saya menunggu.
Wah, saya 
harus mengerti sendiri, lah. Akhirnya saya memilih Pak
Amien Rais.

Akan tetapi, mengapa dengan Amien Rais?

Pertama karena platformnya tidak banyak berbeda.
Kedua, ada clearence 
yang mantap tentang hal-hal mendasar, seperti tekad
mempertahankan 
NKRI dan Pancasila: otonomi daerah yang luas untuk
percepatan 
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan serta
kesetaraan. Kami juga 
sepakat bahwa presiden dan wakil presiden adalah dwi
tunggal yang 
bersama-sama memutuskan hal-hal tentang pemerintahan.

Mengapa perlu bersama?

Karena kami dari lingkungan yang berbeda sehingga kita
harus saling 
memperkuat kelebihan dan mengeliminasi kekurangan.
Amien seorang 
akademisi, saya pengusaha. Amien seorang politisi dan
ketua umum 
partai, saya nonpartisan yang juga Ketua Umum Himpunan
Kerukunan Tani 
Indonesia. Amien seorang yang kuat citra Islamnya dari
Muhammadiyah, 
saya seorang Muslim dari keluarga nasionalis. Dengan
demikian, dengan 
bergabung, kami akan saling memperkuat, ada sinergi
positif.

Lalu, apa aspirasi HKTI yang Anda bawakan?


Pemerintah kita telah salah kaprah memperlakukan para
petani dan 
pembangunan pertanian. Pertanian dan perkebunan adalah
bidang sangat 
potensial yang tak mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Kita 
lalu terjebak dalam posisi tawar yang rendah, dalam
berhadapan dengan 
International Monetary Fund (IMF) atau WTO atau
lembaga lain. Itu 
sebabnya, sejak masuk HKTI, saya bersama teman-teman
berjuang keras 
menerapkan bea masuk untuk produk pertanian. Peran
atau kontribusi 
HKTI mulai terasa dengan diterapkannya bea masuk 30
persen untuk 
beras dan 20 persen untuk gula.

Apa ini ada kaitan dengan sikap Anda soal
neoliberalisme?

Harus disadari, pertarungan dua raksasa dunia pada era
Perang Dingin 
akhirnya dimenangi kaum liberal. Sejak itu, dunia
mengalami 
liberalisasi hebat. Indonesia adalah bagian dunia
sehingga kita pun 
tidak bisa menghindari liberalisasi. Artinya, kita
juga harus sepakat 
bahwa kita akan memasuki era pasar bebas dunia pada
tahun 2020.

Namun, untungnya masih ada pengakuan bahwa kemampuan
negara-negara 
tidak sama sehingga lalu dunia sepakat melakukan
penjadwalan sebelum 
memasuki era pasar bebas dunia 2020 itu. Negara harus
memanfaatkan 
secara maksimal peluang yang tersedia dalam pengaturan
jadwal. 
Contohnya, bea masuk gula masih boleh bagi negara yang
impor dalam 
jumlah tertentu. Bea masuk malah bisa sampai 150
persen. India, 
misalnya, menerapkan bea masuk 120 persen.

Harusnya, peluang yang tersedia itu dimanfaatkan. Kita
jangan tunduk 
pada tekanan IMF yang menuntut kita menerapkan bea
masuk gula nol 
persen, hanya karena Australia ingin mengekspor gula
ke Indonesia, 
atau karena AS ingin mengekspor kedelai ke Indonesia
dengan bea masuk 
0 persen. Karena memang 45 persen kedelai kita berasal
dari AS.

Sementara kita tahu, AS sendiri adalah negara yang
sangat melindungi 
petaninya. Partai demokrat, yang didukung kalangan
pertanian, LSM, 
pekerja sosial dan negro, bisa membuat Pemerintah AS
menerapkan 
subsidi pertanian lewat Bush Farm Bill Act sebesar 180
miliar dollar 
AS selama 10 tahun. Bayangkan, itu artinya subsidi
pertanian di AS 
selama setahun mencapai 18 miliar dollar AS atau Rp
150 triliun, atau 
kira-kira separuh dari APBN Indonesia. Petani AS
menjadi petani 
paling sejahtera di dunia, tapi sekaligus mematikan
petani Indonesia. 
Dengan dalih liberalisasi, mereka sebenarnya sangat
protektif 
melindungi kepentingan petani mereka.

Saya kira pemerintah kita, siapa pun yang terpilih,
harus bisa melobi 
WTO untuk misalnya meminta tambahan waktu 10 tahun
untuk proteksi 
otomotif. Selama tambahan waktu lewat penjadwalan itu,
banyak hal 
yang bisa kita manfaatkan, sekaligus mengatasi masalah
kita, seperti 
pengangguran. Bayangkan, 11 juta orang menganggur
penuh, 30 juta 
pencari kerja, 1 juta di antaranya sarjana.

Apa sebenarnya yang bisa dilakukan pemerintah?

Silakan baca semua buku tentang teori pembangunan.
Maka, tolok ukur 
pemerintah yang baik adalah seberapa besar pemerintah
memberi peluang 
bagi rakyat untuk meningkatkan kesejahteraannya
sendiri. Apakah kita 
perlu impor garam 1 juta ton per tahun? Mengapa kita
tidak relokasi 
industri garam ke daerah-darah yang curah hujannya
rendah dengan 
teknologi yang lebih maju. Kita buatlah PN Garam itu
lebih 
profesional. Seberapa rumitnya sih teknologi membuat
garam sehingga 
kita harus impor begitu besar tiap tahun.

Kalau kita berhenti mengimpor beras 2 juta ton
setahun, dengan 
memperluas areal sawah dan meningkatkan produktivitas
dan varietas 
padi baru, kita akan menampung 150.000 tenaga kerja.
Kalau kita stop 
1,5 juta ton impor kedelai, itu artinya kita punya
peluang 
mempekerjakan 75.000 orang. Dengan sedikit kepercayaan
diri, kita 
juga bisa membuat negara ini tidak perlu lagi
mengimpor 450.000 ekor 
sapi dari Australia per tahun. Anda tahu tidak,
Indonesia adalah 
negara tujuan ekspor sapi yang terbesar bagi
Australia. Bayangkan, 
memelihara sapi saja kita tidak mampu. Padahal, kita
punya padang 
sabana di NTT yang kondisinya jauh lebih ideal
dibandingkan Nothern 
Australia.

Kita punya peluang besar meningkatkan peternakan.
Tentu saja, kita 
harus melakukannya secara konseptual. Kita harus
memerhatikan 
economic scale dari pertanian. Begini konkretnya.
Kalau kita mau 
mengembangkan peternakan domba, kita harus membuat
setiap petani 
memiliki minimal 100 domba atau 50 sapi. Negara tidak
boleh 
membiarkan peternak, yang menyebut diri peternak, tapi
cuma memiliki 
sapi tiga sampai lima ekor. Itu tidak ekonomis.
Economic scale adalah 
hukum besinya dunia dagang.

Begitu juga di bidang pertanian. Para petani kita kan
cuma menghadapi 
tiga masalah besar, antara lain varietas padi unggulan
yang tidak 
dikembangkan secara baik. Selain itu, mereka harus
menghadapi harga 
pupuk yang naik terus, sementara harga gabah turun
terus. Pupuk yang 
dipakai petani adalah lagi-lagi pupuk impor. Buat apa
kita harus 
impor pupuk kalau kita bisa membangun sendiri industri
pupuk. Buat 
apa kita punya Bulog kalau kita tidak bisa menjadi
lembaga penyangga 
ketika para petani mengalami panen atau sebaliknya
paceklik.

Tidak setuju jika Indonesia menjadi negara industri
maju?

Saya bukan tidak setuju dengan industri berbasis
teknologi tinggi. 
Tapi, sebagai negara agraris, kita harus segera
menciptakan 
kemandirian pangan, bukan sekadar swasembada pangan.
Kita harus 
memanfaatkan peluang yang diberikan IMF, WTO, atau
lembaga dunia 
lain, sambil secara konseptual terus melawan
kepentingan negara-
negara maju memaksakan kehendak mereka dengan dalih
liberalisasi.

Kita harus paham, kemampuan sebagian besar rakyat kita
untuk 
mengikuti perubahan dunia yang pesat ini ada batasnya.
Kita tidak 
butuh pemimpin yang sangat kreatif, tapi lalu menjadi
destruktif dan 
merusak dinamika sehingga malah bisa menghancurkan
seluruh sistem, 
seluruh tata nilai kehidupan berbangsa. Kita menjadi
tidak tahu di 
mana tempat kita. Nilai-nilai lama berbenturan dengan
nilai baru, 
kehidupan bergeser tapi ukurannya jadi kacau karena
perubahan 
dilakukan, digalang, dan dipaksakan dari atas, atau
bahkan dari luar.

Mengapa mau melakukan itu?

Sebab saya sendiri kan memulai usaha saya juga dari
bawah, dari nol. 
Kalau saya bisa, mengapa orang lain tidak. Kalau saya
bisa membuat 
hidup lebih berkualitas, dengan tetap menjaga
idealisme, mengapa 
orang lain tidak. Saya tidak ingin para petani atau
rakyat kecil 
lainnya hanya dijadikan komoditas politik setiap
menjelang pemilu. 
Selama ini saya sudah hidup dan berjuang bersama
mereka. Saya akan 
tetap bersama mereka dan itu tidak ada urusan dengan
pemilihan 
presiden dan wakil presiden ini. (maria hartiningsih/
nugroro f yudho)

---------------------------------------------
Apapun partainya
Presidennya Amien Rais

Gabung ke milis Amien-Siswono untuk diskusi khusus membahas pemenangan duet
Amien Rais - Siswono. Kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke