"In Memoriam" Hamid Djabbar (1949-2004)

Oleh H Rosihan Anwar

PENYAIR Hamid Djabbar meninggal dunia Sabtu (29/5) malam pukul 23.15 saat deklamasi puisi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Meninggalnya Hamid yang berusia 54 tahun mirip dengan yang terjadi pada Dr Soedjatmoko (1922-1989) saat diskusi berlangsung di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta yang dipimpin Dr Amien Rais. Peristiwa ini mengingatkan saat Romo Mangunwijaya (1929-1999) yang sedang berceramah menjadi limbung, terus tiada lagi bernyawa.

HAMID tengah berdiri di mimbar membaca puisi, diiringi musik Franky Sahilatua. Sekonyong-konyong dia tersungkur dan rebah di lantai. Audiens yang terdiri dari banyak mahasiswa UIN tidak ngeh betapa seriusnya keadaan. Mereka kira adegan tersungkur itu adalah bagian gaya teatrikal Hamid dalam mendeklamasikan puisi, dengan gerak-gerik fisik serta mimik ekspresi yang khas merupakan cirinya. Ternyata Hamid kena serangan jantung.

Sebagaimana presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri punya trade mark minum bir di pentas, WS Rendra Si Burung Merak punya suara halilintar yang menyihir penonton, Emha Ainun Nadjib dengan nyanyian ngaji-ngaji menimbulkan suasana azmat, demikian pula Hamid Djabbar yang ringkih badannya, uwer-uweran rambutnya, punya pelafalan kata yang cepat berentet seperti bunyi mitraliur membuat pendengar bergayut di bibirnya.

Hamid Djabbar diakui sebagai salah seorang penyair terbaik di negeri ini, juga karena penampilannya membaca sajak di depan publik.

Terakhir saya saksikan Hamid in action pada Minggu petang, 2 Mei 2004, di kantor redaksi majalah sastra Horison dalam suatu pertemuan sastrawan-budayawan. Setelah pemain teater Iman Saleh dari Jawa Barat membawakan naskah Para Pencari Air oleh Philip Beldini, maka atas permintaan teman-teman, Hamid mendeklamasikan sajak yang digubahnya tahun 1978 saat naik bus di Kelok Sembilan antara Pekanbaru dan Padang.

Sajak itu berjudul Indonesiaku. Dimulai dengan intro "Jalan berliku-liku/tanah airku/ penuh rambu-rambu/Indonesiaku"; pada penutup dipaparkannya rambu-rambu itu, "Seribu tanda-seru memendam berjuta tanda tanya / Seribu tanda-panah mencucuk luka Indonesiaku / Seribu tanda-sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku / Seribu tanda-jembatan menganga ngarai wawasan si Badai si Badu / Seribu tanda-sendok-garpu adalah lapar dan lapar yang senyum-senyum di luar menu". Lalu diakhiri dengan, "Jalan berliku- liku / tanah airku / penuh rambu-rambu / lukamu lukaku".

TAHUN 1994, di kantor Ir Suhud, mantan Menteri Perindustrian, saya berceramah "Bersiap Menghadapi Abad ke-21". Saya bicara tentang suku Minangkabau bertalian dengan buku Joel Kotkin Tribes (1993) yang menyebutkan lima global tribe di dunia, yakni Yahudi, Anglo-Saxon, Jepang, China, dan India. Mereka memiliki ciri bersama, yaitu diaspora (merantau), keterikatan pada kampung halaman, setia kawan, mengejar ilmu pengetahuan, dan mengusahakan pendidikan. Saya pertanyakan, mungkinkah suku Minang dibilang global tribe? Hamid hadir pada ceramah itu.

Dua tahun kemudian Hamid menulis esai "Revisi Paradigma Hidup Kita" (Horison Esai Indonesia, Kitab 2, 2004). Hamid menanyakan peta masa depan kita, "urang sabana Minangkabau" baik nan di kampung maupun nan di rantau di abad ke-21, abad globalisasi teknologi pasar bebas? Kontribusi apa yang mungkin diberikan Sumatera Barat dalam abad ke-21?

Dijawabnya, mungkin kontribusi utama ialah bagaimana kita ikut ambil bagian dalam proses revisi segala paradigma manusia tentang hidup.

LAHIR di Kotagadang, Bukittinggi, 27 Juli 1949, Hamid pernah jadi wartawan Indonesia Express, harian Singgalang, redaktur Balai Pustaka, mandor perkebunan teh di Sukabumi selatan, kepala gudang PN Panca Niaga cabang Padang. Ia menulis ratusan sajak.

Para pengamat menyebut sajak-sajaknya menampakkan penyatuan kecenderungan keterlibatan sosial dan religius- sufistik. Belakangan dia menjadi redaktur senior majalah Horison bersama Taufik Ismail

Sajaknya yang paling terkenal dan paling banyak dideklamasikan adalah PROKLAMASI 2.

Kami bangsa Indonesia/ dengan ini menyatakan/kemerdekaan Indonesia/untuk kedua kalinya!

Hal-hal yang mengenai/hak asasi manusia/utang-piutang/ dan lain-lain/yang tak habis- habisnya/INSYA ALLAH/akan habis/diselenggarakan/dengan cara saksama/dan dalam tempo/yang sesingkat-singkatnya/ Jakarta, 25 Maret 1992/Atas nama bangsa Indonesia/Boleh-siapa Saja

Hamid Djabbar, berangkatlah engkau ke alam barzakh. Semoga Tuhan menerima arwahmu di sisi-Nya.

H Rosihan Anwar Wartawan Senior

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke