http://www.riauposonline.com/ Direksi Pertamina Terancam Dipecat Oleh admin Sabtu, 26-Juni-2004, 04:26:09 1 klik
JAKARTA (RP) - Menteri BUMN Laksamana Sukardi mulai memberikan pernyataan tegas terhadap proses penjualan dua unit tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) milik PT Pertamina (Persero) kepada Frontline Ltd. Laks, sapaan akrabnya yang juga menjabat Komisaris Utama Pertamina itu menegaskan dirinya tidak akan segan memecat direksi Pertamina, jika memang terbukti ada indikasi penyimpangan dalam proses tender yang melibatkan Goldman Sachs sebagai financial advisor (penasihat keuangan) itu. ''Saya bilang kepada direksi Pertamina bahwa saya tidak ragu untuk memecat mereka bila kabar yang selama ini beredar itu benar,'' tegas Laks di Jakarta kemarin. Pernyataan Laks tersebut terkait dengan dugaan kolusi dengan menangnya Frontline Ltd. sebagai pemenang tender. Sebab, perusahaan di bawah grup Goldman ada yang memiliki saham di Frontline Ltd. Tidak itu saja, dugaan terjadinya praktik kolusi itu di dasarkan pada penawaran Essaar Shipping Ltd. senilai 188 juta dolar AS, sementara Frontline hanya 184 juta dolar AS. ''Itu tidak benar, saya sudah cek ke direksi bahwa semuanya sudah sesuai dengan prosedur,'' jelas Laks. Selain itu, Laks juga membantah bahwa penasehat tender untuk penjualan tanker Pertamina ternyata terlibat dalam memenangkan Frontline karena Goldman Sachs memiliki saham di Frontline. Sebelumnya, Dirut Pertamina Ariffi Nawawi juga membantah Essar Shipping Ltd sebagai penawar tertinggi. Diungkapkan Ariffi, Essar hanya mengajukan penawaran 183 juta dolar AS. Tidak itu saja, Essar juga dianggap tidak bisa memenuhi persyaratan untuk membayar persen dari harga tanker. Menurut Laks, kebijakan penjualan VLCC tersebut merupakan kebijakan korporasi. ''Kita sudah rapat dengan direksi dan komisaris bahwa itu sudah keputusan korporasi bukan atas intervensi pihak lain. Sebenarnya kita bukan menjual tanker tapi menjual utang. Hanya saja utangnya belum dibukukan,'' tegasnya. Laksamana mengaku, dirinya juga tidak tahu apakah Goldman Sachs memang memiliki saham di perusahaan tersebut. ''Yang pasti, Frontline merupakan perusahaan publik yang besar dan bisa saja dimiliki Goldman Fund Management yang tidak ada hubungannya dengan Goldman Sachs. Kalau go public tentu semua orang boleh beli, tapi tidak mayoritas atau signifikan,'' tuturnya. Ditegaskan, keputusan penjualan tanker tersebut benar-benar didasarkan atas efisiensi mengingat kepemilikan tanker Pertamina justru menambah utang. Sementara bagi pemerintah akan lebih menguntungkan jika menjual tanker itu mengingat dari seluruh perusahaan minyak terbesar di dunia, hanya Petronas yang memiliki anak perusahaan di bidang perkapalan. Sesuai UU Migas yang baru, Pertamina hanya akan memfokuskan diri pada pengadaan minyak dan gas. ''Saya kira cash flow Pertamina seperti itu. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau nanti Pertamina mem-bailed out perusahaan tankernya yang begitu besar. Risikonya besar karena kita kan secara perseroan harus fokus ke migas,'' papar Laks. Dia menggambarkan jika Pertamina harus memiliki utang sebesar 220 juta dolar AS lebih baik dialokasikan untuk eksplorasi ketimbang membeli tanker. Saat ditanya mengapa proses penjualan tidak meminta persetujuan Menkeu, Laksamana menolak memberi jawaban dengan alasan Menkeu sudah memberikan pernyataannya. Apalagi Pertamina sudah menjadi persero sehingga secara korporat Pertamina yang harus menyelamatkan cash flow-nya. Meski Laksamana Sukardi mengancam akan memecat direksi Pertamina jika terbukti melakukan kolusi, namun pernyataan itu dikritisi oleh beberapa pihak. Ketua Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) Otto Geo Diwara P menanggapi pernyataan Laksamana Sukardi tersebut sebagai pernyataan yang lucu. ''Terus terang, kami geli mendengar ucapan beliau. Sebab, pernyataan itu sama sekali tidak ada artinya karena menteri yang lain memberikan dukngan dengan tidak mempersalahkan proses penjualan VLCC itu,'' ungkapnya. Otto mengatakan, SPPSI mengindikasikan telah terjadi kolusi tersruktur dalam proses penjualan dua unit VLCC Pertamina itu. ''Kami mengindikasikan adanya kolusi terstruktur. Ini karena statement pejabat pemerintah yang lainnya juga menguntungkan posisi Pertamina,'' jelasnya. Tidak itu saja, Otto mempertanyakan pernyataan Laksamana bahwa memiliki tanker akan memuat beban utang Pertamina bertambah. ''Saat ini ada 20 tanker Pertamina yang dibayar melalui utang. Lantas, jika merugikan kenapa tanker-tanker itu tidak di jual,'' tegasnya. Dia menyebutkan, untuk mengembangkan usaha, tidak salah jika Pertamina menggunakan dana dari luar, asalkan usaha yang di danai dari utang tersebut memiliki return yang tinggi dibandingkan bunga deposito. ''Pertamina bisa melakukan pembayaran dengan cicilan (bare boat hire purchase/BBHP), dan setelah 10 tahun VLCC itu bisa dimiliki Pertamina. Laks berpikiran Pertamina sama dengan Telkom dan Indosat, padahal jauh berbeda,'' tutur Otto. Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR, Priyo Budi Santoso, tidak semestinya yang mengucapkan hal itu Laksamana Sukardi. Sebabnya, Laks sebagai Komut Pertamina termasuk salah satu yang menyetujui penjualan VLCC yang dipesan Pertamina itu. ''Pernyataan itu menunjukkan dia lepas tangan, sebagai Komisaris Utama, Laksamana merupakan salah satu yang menyetujui, jadi tidak pas jika dia yang ngomong. Kalau yang ngomong seperti itu Menko Perekonomian nggak masalah,'' tegas Priyo. Apalagi, kata Priyo, jika proses penjualan VLCC itu sesuai dengan prosedur, berarti dewan komisaris ikur andil did ala membuat keputusan penjualan itu. ''Malahan, kita di Komisi VIII dengar justru komisaris utama yang paling bersemangat untuk menjual VLCC itu,'' ungkapnya. Menurut politisi dari Partai Golkar ini, Komisi VIII telah mengundang Laks hingga tiga kali. Namun, yang bersangkutan tidak pernah memenuhi undangan wakil rakyat tersebut. Dingkapkan Priyo, beberapa fraksi di DPR malah mengusulkan untuk menggunakan UU No 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD. ''Beberapa fraksi menguslkan menggunakan UU Susduk untuk memanggil Laksamana secara paksa oleh pihak kepolisian,'' cetusnya. Priyo menjelaskan, Komisi VIII DPR segera meminta keterangan beberapa menteri, termasuk Laks, mengenai proses penjualan VLCC milik Pertamina itu. ''Komisi VIII sudah menyampaikan kepada pimpinan DPR mengenai masalah itu. Jika terjadi sesuatu, tidak hanya direksi saja yang harus bertanggung jawab, malah komisaris utama yang harus bertanggung jawab pertama kali,'' paparnya. Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Hakam Naja mengatakan, proses divestasi tanker Pertamina memang sarat KKN. Bahkan nuansa KKN tersebut juga bisa melibatkan nama Men BUMN Laksmana Sukardi. Sebab, ketika persetujuan penjualan dilakukan tahun 2003, Laksamana menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Anggota DPR dari Fraksi Reformasi ini menjelaskan, setelah DKPP dibubarkan menjadi dewan komisaris (Dekom), karena Pertamina berubah status dari BHMN menjadi BUMN, Laksamana menjabat sebagai komisaris utama Pertamina. ''Karena itu, Laksamana juga perlu dimintai keterangan juga. Sebab posisinya kini juga sebagai Men BUMN yang membawahi Pertamina,'' tegasnya. Untuk memproses kasus ini, secara internal fraksi reformasi akan mengeluarkan sikapnya. ''Fraksi kami dalam waktu dekat akan mengeluarkan sikap. Sebab, kami telah menemukan kasus ini sarat dengan KKN,'' katanya.(ton/faq/jpnn) ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________