http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0403/16/daerah/912829.htm



Lunturnya Rasa Senasib Sepenanggungan di Sumbar




DITEMANI segelas kopi dan beralaskan tikar lusuh, Cun Sidi Kayo (51), warga Jorong Gantiang, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, menatap kosong rumahnya yang roboh total akibat digoyang gempa tektonik berkekuatan 5,6 pada skala Richter bersamaan dengan hujan rintik-rintik.

Tak jauh dari tempat ia duduk di bawah tenda darurat, terdapat sebuah kotak kardus kecil berisi uang recehan. Melihat rumahnya yang roboh, seorang hajah yang melintas dengan mobil di depannya berhenti sejenak, lalu memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak tersebut.

"Alhamdulillah. Semoga Allah membalas dengan pahala berlipat ganda," ujar Cun Sidi Kayo. Bibirnya tergetar dan wajahnya sedikit berseri. "Rumah kami hancur, bantuan uang Rp 5 juta bagi rumah yang rusak berat/hancur seperti dijanjikan Gubernur Sumbar Sutan Zainal Bakar, memang baru sebatas janji, karena sampai sekarang masyarakat korban gempa belum menerimanya."

Keadaan yang dialami Cun Sidi Kayo dan kawan-kawan, terasa ironis. Pada saat bersamaan bantuan donatur berupa uang sudah banyak terkumpul di Posko Penanggulangan Bencana Gempa Kabupaten Tanah Datar. Jumlahnya pun dikabarkan lebih dari Rp 1 miliar.

Adapun bantuan yang diteruskan ke korban gempa baru sebatas bahan makanan, sedangkan bantuan berupa uang tunai dan bahan keperluan untuk pembangunan rumah (semen), belum diteruskan. "Korban gempa terkesan dibiarkan menderita," kata sejumlah korban gempa di Nagari Gunuang Rajo, Kecamatan Batipuah.

Cun Sidi Kayo, punya tiga pasang anak, mengaku tak bisa berbuat apaapa. Rumah dan segala harta benda rusak dan tertimbun reruntuhan rumahnya. Termasuk buku dan baju sekolah anaknya. Anaknya untuk sementara tidak sekolah. Untuk makan, ia mengutang padi untuk ditumbuk jadi beras, agar bisa makan nasi.

Begitu juga Nurnalis (40), rumahnya yang dibangun lima bulan lalu, juga roboh. Ia cidera ringan, tertimpa reruntuhan. Anaknya, Dodi Arianto, murid kelas IV SD Gunung Rajo, yang saat itu tak berada di dalam rumah, selamat dari musibah gempa. Namun, sampai sekarang ia tak masuk sekolah. "Buku dan pakaian sekolah tak ada lagi, tertimbun reruntuhan, makanya untuk sementara ia tak masuk sekolah," katanya. Di pinggir jalan ia juga menaruh kotak kecil, berharap ada yang mengulurkan tangan membantunya secara langsung.

Kalau ditelusuri jalan-jalan di daerah korban gempa tersebut, terdapat belasan warga yang sepertinya terpaksa "mengemis" karena tak ada pilihan lain. "Kami sebenarnya berharap bantuan dari pemerintah, tapi…," seorang korban gempa tak meneruskan pembicaraannya.

Masih mending korban gempa di pinggir jalan masih bisa "berbuat", namun tidak demikian halnya dengan korban yang berada jauh di atas bukit atau agak ke dalam dari tepi jalan raya. "Jangankan dibantu, dilihat pun tidak," kata sejumlah korban yang rumahnya berada sekitar 50-100 meter dari tepi jalan raya.

Kasus meninggalnya putra pertama Ny Devi, Rangga Maesa Putra (8 bulan), setelah 15 hari menjalani kehidupan di tenda darurat tetangga, bukti kurangnya perhatian pemerintah setempat. Sebab, keluarga Ny Devi jangankan dibantu tenda darurat, dikunjungi pejabat seperti Wali Nagari Bungo Tanjuang pun tidak. Karena tak punya tenda, Ny Devi dan anaknya menumpang mengungsi di tenda darurat tetangga. Malang nian, nasib Ny Devi.

MELIHAT wajah-wajah korban yang kuyu dan memilukan, hanya sepertinya satu saja obat penawarnya. "Tolong lihat langsung penderitaan kami dan dengar aspirasi kami," kata seorang korban gempa.

Ironisnya, sudahlah (sebagian) korban tidak dikunjungi oleh pejabat pemerintah, korban diminta pula untuk tidak buka mulut dan tidak memberikan informasi kepada siapa pun (termasuk wartawan?). Pernyataan ini diungkapkan Wakil Bupati Tanah Datar Masnefi kepada korban gempa seusai Komandan Korem 032/Wirabraja Kolonel CZI Karsidi ST menyerahkan bantuan, Rabu (18/2) di Gunuang Rajo.

Masyarakat hanya diminta menerima kenyataan pahit atas musibah yang menyakitkan. Pernyataan ini menjadi "lagu lama" karena selalu disampaikan berulang-ulang, seperti tidak ada pernyataan lain yang membangkitkan gairah hidup para korban.

Bahkan, pemerintah setempat juga menempelkan selebaran di rumah-rumah dan sekolah-sekolah tentang penyebab gempa, yang antara lain dikatakan bencana gempa menimpa masyarakat karena masyarakat tidak lagi memegang teguh ajaran agama Islam. Inti dari isi selebaran itu, masyarakat seperti sudah bergelimang dosa. Apakah betul demikian?

"Barangkali, dengan alasan itu pula, nasib kami kurang diperhatikan. Pejabat datang saat akan menerima bantuan, setelah itu berlalu. Tak ada dialog meski kondisi warga darurat dan perlu penanggulangan yang sifatnya emergensi," kata seorang tokoh masyarakat di Gunuang Rajo.

Mestinya, menurut dia, masyarakat yang jadi korban diajak dialog, aspirasinya didengar, sehingga pemerintah tahu apa yang mestinya ia lakukan kepada warga. Bukannya melarang kami bercerita kepada wartawan, atau menuding masyarakat seperti isi selebaran. Betul, yang dikutip itu Al Quran atau Hadis, namun apa benar gempa terjadi karena masyarakat lupa pada Tuhan dan atau bergelimang dosa? Biarlah Tuhan yang menilai.

MENCERMATI penanganan korban yang lamban dan pejabat yang sukanya bekerja di kantoran dan sibuk menerima tamu pemberi bantuan, heboh "kasus Malalo", juga di Kabupaten Tanah Datar tahun 2000, kemungkinan besar kembali terulang.

Bantuan untuk korban bencana galodo/banjir bandang yang ketika itu sempat menumpuk di posko, sementara korban menjerit butuh bantuan. Saking banyaknya bantuan, terakhir diketahui ada oknum yang menjualnya.

"Kasus Malalo" bukan rahasia umum lagi. Karena itu, para korban gempa mengingatkan, jangan hal itu sampai terulang atau terjadi pula dalam penanganan korban gempa ini," kata sejumlah korban gempa.

Atau, sekarang bantuan tersendat alirannya karena bantuan yang diterima pemerintah dari donatur masih minim? Melihat kerugian yang kata Bupati Masriadi Martunus Rp 16 miliar lebih, bantuan untuk korban masih minim.

Akan tetapi sudahlah, sepertinya di era otonomi daerah ini, rasa kebersamaan, rasa peduli dengan filosofi urang awak; senasib sepenanggungan, sato sakaki, atau manunggal sakato, sudah lenyap.

Dulu, waktu terjadi gempa di Kerinci tahun 1996 dan gempa di Bengkulu tahun 1999, sejumlah provinsi, termasuk kabupaten/kota di Sumbar, dengan cepat menyatakan simpati dan membantu korban. Sekarang, ketika terjadi gempa di Kabupaten Tanah Datar kemudian gempa berkekuatan 5,9 SR di Kabupaten Pesisir Selatan, masyarakat kabupaten/kota di daerah ini tampak kurang menunjukkan kepeduliannya.

Pejabat pemerintah pun kurang memahami manajemen pembangunan, sehingga boleh dikatakan kurang cerdas dan kurang sigap menangani korban bencana. Bukan tidak mungkin, kini mereka larut dalam kesibukan kampanye Pemilu 2004, tidak larut dalam penderitaan masyarakat.

Sekarang, gempa Tanah Datar, seperti berlalu begitu saja rasa kepedulian itu. Filosofi Minang, barek samo dipikua ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) yang dari dulu mengakar, kini tampaknya mulai luntur. Benarkah rasa kebersamaan itu lenyap di Sumbar?




Z Chaniago - Palai Rinuak -http://photos.yahoo.com/bada_masiak/


======================================================================
Alam Takambang Jadi Guru
======================================================================

_________________________________________________________________
Fast. Reliable. Get MSN 9 Dial-up - 3 months for the price of 1! (Limited-time Offer) http://click.atdmt.com/AVE/go/onm00200361ave/direct/01/


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke