Partai Keadilan Sejahtera (PKS) batal
mengumumkan nama capres-cawapres yang akan direkomendasikannya kepada
kader, massa dan simpatisan partai yang meraih prestasi fenomenal dalam
pemilu legislatif 5 April lalu itu. Sedianya, bertepatan dengan hari
pertama kampanye pilpres (1 Juni), PKS mengumumkan pasangan
capres-cawapres direkomendasikannya.
Tertundanya pengumuman rekomendasi itu mencerminkan
betapa rumitnya persoalan yang dihadapi, sehingga membuat rapat Majelis
Tinggi PKS belum dapat memutuskan rekomendasi yang harus dinisbahkan
kepada tujuh juta lebih kader dan simpatisannya.
Sebenarya PKS sudah mengambil sikap dalam pemilu 2004 ini
sebagai oposisi konstruktif bagi siapapun presiden dan wakil presiden
terpilih. Sehingga bila menggunakan prinsip demokrasi barat, maka tidak
perlu pusing-pusing mikirin siapa capres dan cawapres yang akan dipilih.
Tapi karena PKS adalah partai dakwah, di mana memadukan
unsur demokrasi dengan firman-firman Allah dan Sunnah Nabi, maka ada sense
of belonging serta responsibility terhadap siapa presiden dan wakil
presiden yang layak dipilih.
Sudah jelas PKS tidak akan memilih Megawati karena dalam
nilai-nilai agama Islam hal itu tidak dibenarkan. PKS berpegang teguh pada
firman: Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita.
Demikian pula PKS tidak mungkin memilih Hamzah Haz
walaupun mengaku sebagai pimpinan parpol Islam, karena dalam berpolitik
Ketua Umum PPP itu terlalu pragmatis, kalau tidak bisa dibilang
meninggalkan nilai-nilai Islam, dengan mengemis-ngemis sebagai cawapresnya
Megawati. Tokh akhirnya Hamzah maju sebagai capres, setelah juga ditolak
berkoalisi dengan Wiranto.
Sementara PKS juga tidak akan memilih pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla karena dinilai Partai Demokrat sudah
tegas-tegas menyatakan tidak mungkin menegakkan syari'at Islam. Maka
jatuhlah pilihan PKS kepada pasangan Amien-Siswono atau Wiranto-Gus
Sholah.
Terbelah
Harus diakui, di dalam tubuh PKS terbagi-bukan
terpecah-dalam dua kelompok, yaitu kelompok muda dari Sulawesi seperti
Anis Matta (Sekjen PKS), Adiyaksa (jurkam PKS) dan Tamsil Linrung (caleg
jadi PKS dari Sulawesi). Kelompok ini merekomendasikan Dewan Syuro untuk
memilih Wiranto-Gus Sholah.
Sementara kelompok senior seperti Hidayat Nur Wahid,
Rahmat Abdullah (Ketua Dewan Syuro), Abu Ridho, dll. lebih
merekomendasikan pilihan PKS pada pasangan Amien-Siswono.
Karena saking kuatnya argumentasi masing-masing kelompok,
hingga Majelis Tinggi PKS belum dapat memutuskan apapun. Bahkan sempat
berkembang wacana rapat deadlock dan kalau itu sampai terjadi maka harus
digelar Rapat Dewan Syuro PKS Luar Biasa.
Hari ini, menurut rencana Majelis Tinggi PKS akan
menggelar rapat untuk membicarakan arah rekomendasi terakhir terkait
dengan pasangan yang ada.
Bagi PKS muda, Wiranto adalah figur militer yang Islami.
Seluruh keluarganya sudah mengikuti tarbiyah (sistem pengkaderan yang
berlaku bagi kader PKS), oleh karena itu istri dan anak-anaknya sudah
menggunakan jilbab panjang. Bahkan ikut pula aktif dalam kegiatan PKS baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Hanya saja, Wiranto dinilai memiliki sejarah kelabu
menyangkut kerusuhan Mei 1998, di mana saat itu dia menjabat sebagai
Panglima ABRI yang bertanggung jawab atas kerusuhan yang telah merenggut
beberapa nyawa mahasiswa dan ribuan warga yang terperangkap di sejumlah
mal dan pusat perbelanjaan.
Wiranto, kendati tidak terbukti bersalah menurut
peradilan yang ada, secara etika harusnya mengundurkan diri sebagai
tanggung jawab jabatan. Sesuatu yang pernah ditempuh Jenderal Sumitro saat
meletus peristiwa Malari.
Sementara kelompok senior di PKS berpandangan bahwa Amin
lah sosok sejati seorang presiden pilihan rakyat karena mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah inilah yang merupakan tokoh reformasi paling wahid,
bersih, bahkan ketika menjabat sebagai Ketua MPR berhasil mengawal
amendemen UUD 1945 yang selama ini dianggap sakral.
Amien dinilai mewakili suara umat Islam oleh karena,
kendati memiliki sisi kelabu yang sifatnya manusiawi, tapi paling tidak
konsep Islam diharapkan bisa diterjemahkannya dalam berbangsa dan
bernegara secara cantik.
Sayangnya, kader PAN di daerah-daerah banyak yang
menyakiti kader PKS. Mereka yang dulunya kader PAN karena memang dari
Muhammadiyah dan pernah mendapat 'sawah garapan', ketika pindah ke PKS,
'sawah' itu diambil lagi. Bahkan mereka yang bekerja di PKU Muhammadiyah
yang memilih PKS dipecat.
Dilematis
Lepas dari pro-kontra antara kedua tokoh tersebut,
tampaknya PKS dihadapkan pada idealisme dan pragmatisme politik. Antara
mendambakan figur bersih dan reformis dengan kenyataan dahsyatnya mesin
politik Megawati.
Memandang masalah tersebut, merekomendasikan Amien yang
lebih sedikit sisi kelabunya tapi mesin politik yang pas-pasan, adalah
konsisten dengan semangat oposisi kendati itu cenderung spekulatif.
Sementara merekomendasikan Wiranto yang boleh jadi lolos
dalam satu putaran karena mesin politiknya relatif sempurna, juga
munculkan dilema. Bagaimana PKS menghadapi mahasiswa? Itu bisa
kontraproduktif terhadap semangat oposisi.
Gelagatnya, meskipun pahit, Majelis Tinggi PKS akan
merekomendasikan pasangan Amien-Siswono dengan disertai sejumlah catatan.
|