Assalamualaikum w.w.

Kalau diizinkan, ambo ingin juo mananggapi curito pakaro demokrasi ko sangenek, 
sekadar nan tapaham di ambo sebagai urang awam ko.

Demorasi ko kan io alah buruak bana namonyo kini ko tarutamo dek alah manjadi 
galeh utamo nan di "usung" dek amerika kama-kama. Padohal salamoko demokrasi 
indak jadi masalah dek urang awak dek sasuai sajo jo falsafah urang awak:  
musyawarah, mufakat, dan kedaulatan rakyat. Tapi kini lah buruak dek karano
- demokrasi disebarkan dengan "pedang"
- demokrasi, liberalisme, kapitalisme, sekularisme, alah manjadi "agama-agama" 
baru, karenaya "diluar" Islam

Apo nan disampaikan Ahmad Ridha rancak sekali, karano disandarkan pado 
sumber-sumber nan definitif. Sabalunnyo ibu Evie manyatokan demokrasi tu banyak 
macamnyo. Jadi supayo "dabaliak-baliak bak manyangai", ambo ingin mananggapi 
sakiro-kiro...

> 
> 1. Penentuan keputusan berdasarkan mayoritas semata.
> 
> Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya):
> "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
> niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
> hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
> berdusta (terhadap Allah)." (QS. Al-An'aam 6:116)
> 

(1) Memang mayoritas umat adalah sesat dan menyesatkan, penghuni neraka, dsb. 
sebagaimana disebutkan di atas. Keadaan itu adalah kondisi umum sehingga umat 
memerlukan petunjuk dari Allah dan pimpinan dari para ulama, sehingga mustahillah 
kalau mayoritas populasi menjadi pemutus terakhir atau hakim tertinggi. Pedoman 
hukum tetaplah kebenaran (agama) dan itu adalah "a given" jika kita maskud 
demokrasi Islam diantara banyak varian demokrasi di dunia ini. Dalam varian 
demokrasi lain pun, majority rule itu pun akan di (paksa) tunduk pada sesuatu 
ideal (cita-cita) yang lebih tinggi. (mis. Demokrasi itu sendiri sebagai 
cita-cita, liberalisme, humanisme, dll bisa juga komunisme dan bisa juga agama). 
Menurut adat Minang: Penghulu tunduk pada mufakat; dan mufakat tunduk pada 
"Kebenaran". Jadi sesungguhnya bukan penentuan keputusan berdasarkan mayoritas 
semata.

Sistem mayoritas sesunggunya hanyalah suatu cara untuk menentukan kehendak 
rakyat, dan hal itu mungkin dapat diterima secara agama, sebagamana diindikasikan oleh 
istilah "jamaah", "ijma" dan "umat". Juga dalam masalah jumlah saksi, maka dua 
orang lebih baik dari satu orang, dan untuk masalah yang berat dikehendaki saksi 
empat orang. Meskipun tidak secara tegas menyatakan mayoritas 'berkuasa' atas 
minoritas, setidaknya dapat dipahami bahwa "jumlah yang banyak" adalah yang 
dipegang. Sesuatu yang gamblang dan masuk akal.

> Islam juga mengenal majelis syura yang berisikan ahli ilmu.
> 
> "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
> mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
> antara
> mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
> kepada
> mereka." (QS. Asy-Syura 42:38)
> 
> Majelis ini untuk memutuskan urusan namun tetap dalam kerangka 'menerima
> seruan Allah' sehingga tidak boleh melanggar ketentuan Allah dan
> Rasul-Nya.
> 
> 2. Kesamaan hak rakyat dalam demokrasi.
> 

(2)Keberatan thd kesamaan hak suara dalam demokrasi rupanya karena menurut 
pandangan  islam tidak sama orang beriman dengan orang yang tidak beriman, orang 
berilmu dengan orang jahil, apalagi kalau dikaitkan dengan hak untuk dipilih 
menjadi pemimpin (masalah juga dengan hak memilih) karena bisa terjadi orang 
jahil lagi zalim akan memeperoleh kekuasaan.

Prinsip kesamaan hak adalah tema yang sangat sentral dalam ajaran Islam: manusia 
sama di dalam pandangan Allah dan orang tidak tahu siapakah yang lebih dekat atau 
lebih disayangi Allah. Manusia sama dalam hukum. Setiap orang berhak untuk 
beriman, bertakwa, taubat, dan mengejar prestasi yang tinggi di sisiNya. Jadi apa 
salahnya kalau semua orang berhak memilih wakilnya dalam lembaga permusyawaratan, 
ataupun untuk dipilih menjabat suatu jabatan. Hak memilih serupa dengan hak 
menyatakankan pendapat. Semua urang memiliki hak yang sama, tetapi perkara apakah 
pilihan-pilihan itu menjadi kenyataan adalah hal lain yang tunduk pada 
faktor-faktor lain, termasuk syarat-syarat menurut agama.

Hak memberikan suara berhubungan erat dengan masalah kedaulatan rakyat. Seorang 
warga meng-exercise kedaulatannya lewat hak memilih itu, maka kalau hak itu 
dibatasi dan tidak merata tentu terjadi sebagian penduduk "berdaulat" atau 
menjajah sebagian yang lain. Karena itu harus ado universal suffrage: hak 
memlilih yang sama dan merata.

Jadi sakitu sajo dulu dari ambo, mohon maaf kalau ado salah dan jangganyo, 

Wassalam

Adyan

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke