http://www.republika.co.id/ASP/koran_detail.asp?id=162392&kat_id=166
Minggu, 30 Mei 2004

Kampoeng Toea Toegoe Di Sini Bermula Betawi
Laporan : lhk

Tugu dianggap kampung tertua setelah ditemukannya Prasasti Tugu pada abad ke
19 di desa Tugu Batu Tumbuh. Jakarta Utara sesungguhnya merupakan cikal
bakal Jakarta masa kini. Di wilayah ini terdapat pelabuhan Sunda Kelapa.
Pelabuhan pelayaran rakyat itu memiliki sejarah yang panjang.

Selain Sunda Kelapa, berwisata melawat ke masa lalu di Jakarta Utara tak
komplet tanpa mengunjungi Kecamatan Cilincing. Di sini terdapat permukiman
tertua bernama Kampoeng Toegoe yang terletak di Jl Gereja Tugu, Kelurahan
Semper Barat. Juga tengoklah wilayah Marunda yang masih menyisakan berbagai
peninggalan yang merupakan saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia
memperebutkan Jakarta yang saat itu bernama Batavia.

Ada beberapa alasan mengapa kedua kampung yang layak dikunjungi. di sini
antara lain ditemukan Prasasti Toegoe, juga terdapat Gereja Toegoe, Masjid
Al Alam, Rumah Si Pitung, dan makam Tete Jongker.

DKI Jakarta berusia 477 tahun pada 22 Juni 2004 ini. Tarikh itu ditetapkan
sebagai hari jadi Jakarta lantaran kuatnya nilai historis keberhasilan
pasukan Fatahillah menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka mengusir tentara
Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Dan pada 22 Juni 1527 itulah Fatahillah
mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Tarikh hari lahir Jakarta hanyalah putusan administratif politis. Kebenaran
historisnya masih layak debat. Sejarah Jakarta sebenarnya telah menggeliat
jauh lebih lama, yakni pada abad kelima. Bukti bahwa ada masyarakat yang
bermukim dan hidup secara teratur di wilayah yang kini bernama Jakarta ini
tertuang pada Prasasti Tugu.

Muhammad Isa, sejarawan dari Gedung Muhammad Husni Thamrin mengungkapkan,
Tugu dianggap kampung tertua setelah ditemukannya prasasti itu pada abad ke
19 di desa Tugu Batu Tumbuh di sebelah timur Tanjungpriok atau sebelah
selatan kampung Tugu.

Prasasti yang kini tersimpan di Musium Nasional ini menunjukkan bahwa pada
abad kelima Masehi sudah terdapat perkampungan di tempat penemuan prasasti
itu. Prasasti itu merupakan peninggalan pemerintahan Raja Purnawarman dari
Kerajaan Tarumanegara. ''Di sana sudah dibangun saluran air untuk irigasi
keperluan pertanian,'' tegas Isa.

Sayangnya lokasi tepatnya sulit dikenali lagi. Bahkan hampir tidak berbekas.
Sebab di lokasi persis tempat prasasti itu diketemukan sudah menjadi jalan
raya Sukapura-Kelapa Gading yang selalu ramai kendaraan bermotor
berlalu-lalang.

Adapun Kampung Tugu terletak tak jauh dari situ. Di kampung ini masih
berdiri kokoh sebuah gereja bernama Gereja Toegoe yang konon didirikan
Pendeta Melchiro Leydecker, seorang mardijken (sebutan keturunan Portugis),
pada 12 Oktober 1678.

Mengapa saat itu ada orang Portugis di Jakarta. Dalam catatan sejarah
disebutkan Belanda setelah menang melawan Portugis, membawa tawanan dari
Gowa, Kalikut, dan Sailan ke Batavia, sebutan Jakarta tempo doeloe.

Para tawanan sebenarnya beragama Katolik. Sedangkan kebanyakan orang Belanda
beragama Protestan. Mereka dijanjikan akan dibebaskan asalkan mau berpindah
agama. Dan tawaran itu diterima. Akhirnya selain bebas juga diberi sebidang
tanah di sebelah timur kastel Batavia.

Ada beberapa alasan Belanda memberikan lahannya di perbatasan dengan Marunda
itu. Sebab di Marunda pada masa itu dijadikan pangkalan orang-orang Banten
dan Mataram yang ingin menyerbu kastel Batavia. ''Dengan alasan sebagai
bemper mungkin mereka ditempatkan,'' jelas Isa.

Sayangnya, bangunan gereja itu sudah mengalami perubahan. Dulu, gereja itu
dihadapkan ke pinggir kali Cakung yang melintas di depannya. Sekarang, kali
itu sudah tidak berfungsi lagi. Bahkan warna dasarnya sudah kehitam-hitaman
dan baunya anyir.

Para penduduk keturunan Portugis ini meski berstatus tawanan, namun mereka
tak terkekang sehingga kehidupan berkeswenian pun jalan terus. Pada waktu
senggang mereka sering bernyanyi-nyanyi dengan iringan gitar berlanggam
kroncong. Kesenian itu terus berlanjut di tangahn generasi mudanya yang
hingga kini dikenal sebagai Krontjong Toegoe.

Kini masih ada Andre Juan Michiels, penerus generasi Kampoeng Toegoe yang
terus menghidupkan keroncong tersebut. Selain itu berkat Andre pula, orang
masih bisa melihat bentuk rumah yang masih asli tempo doeloe yang hanya
satu-satunya di kawasan tersebut. Rumah itu dibiarkan tidak dibongkar.
Walaupun berdiri di antara truk dan trailer di sekitar halaman rumahnya.

Marunda sejak abad ke-16 merupakan pusat perjuangan pasukan perlawanan yang
berada di bawah naungan Kerajaan Mataram dalam perjuangannya melawan
penjajahan Belanda. Ketika Fatahillah membawa pasukan gabungan Demak-Cirebon
menuju Sunda Kelapa, mereka menjadikan Marunda sebagai pangkalan. Salah satu
yang segera dibangun di sini adalah masjid, selain fungsi utamanya untuk
ibadah juga sdimanfaatkan sebagai tempat mengatur strategi.

Masjid di Marunda Pulo yang kini bernama Al-Alam Marunda itu dibangun
sekitar 1527 Masehi. Sayangnya, lokasi bangunan asli masjid itu sudah
tergerus abrasi. Posisinya sekitar 100 meter dari daratan.

Atas jasa juragan sero (pengusaha jaring) Haji Syafiuddin, pada awal abad
ke-20, masjid itu dipindahkan dgan dibangun persis seperti aslinya. Termasuk
beberapa kayu yang masih bisa dipakai hingga sekarang masih ada.

Konon di masjid itu dulu juga digunakan Si Pitung, tokoh pahlawan Betawi,
untuk latihan ilmu beladiri. Kebenarannya memang sulit dibuktikan. Soalnya
pemuda Pitung adalah warga Rawa Belong, bukan termasuk keluarga betawi yang
hidup di wilayah pantai.

Arsitektur masjid peninggalan bala tentara kerajaan Mataram Islam ini Masjid
Demak, Jawa Tengah. Skala jauh lebih kecil, berukuran 10x10 meter persegi.
Atapnya berbentuk joglo ditopang empat pilar bulat seperti kaki bidak catur.

Berbeda dengan masjid tua lainnya, plafon masjid ini plafonnya hanya
setinggi dua meter dari lantai dalam sehingga terlihat pendek. Keunikan
lainnya, mihrabnya pas dengan ukuran badan yang menjorok ke tembok yang
berada di sebelah kanan mimbar.

Ada yang menarik lagi, di tembok samping masjid terdapat lubang yang
berdiameter sekitar 20 centimeter. Konon lobang itu sering digunakan
sepasang keluarga pengantin tempo dulu melakukan acara pinang meminang.

Secara fisik bangunan ini masih terpelihara dengan baik. Bahkan masih
berfungsi sebagai tempat beribadah. Peziarah yang datang selain untuk
mengenang perjuangan Fatahillah, juga mendatangi makam Kyai Jami'in yang
dianggap keramat.

Sejak tahun 1975, masjid ini sudah berada di bawah pengawasan Dinas
Permusiuman DKI Jakarta. Berbagai fasilitas seperti tembok keliling dan
sebuah pendopo di samping masjid didirikan untuk membantu pengunjung
terhindar dari panas terik matahari.

Tak jauh dari situ, sekitar 200 meter dari Madjid Al Alam, terdapat sebuah
bangunan berwarna merah tua yang terbuat dari kayu. Bangunan tersebut
dipercaya orang sebagai rumah Si Pitung. Benarkah itu rumah pemuda Rawa
Belong tersebut?

Menurut Isa, infromasi ini sangatlah menyesatkan. Sebenarnya rumah tinggi
itu juga milik juragan sero Haji Syafiuddin yang berasal dari Kenari, Senen,
Jakarta Pusat. Namun, Dinas Musium dan Sejarah memberi nama rumah Si Pitung.

Padahal rumah tersebut tidak ada kaitannya dengan si pitung segala. Dalam
Surat Keputusan Cagar Budaya II Tahun 1972 rumah itu hanyalah rumah mewah
yang tujuannya untuk melindungi gaya arsitektur rumah bergaya melayu
pesisir.

Bangunan rumah didominasi kerangka kayu dan ditopang 40 tiang kayu. Di rumah
itu terdapat 10 set daun jendela, 4 set daun pintu, 2 tangga dari depan dan
belakang serta berlantai kayu. Arsitekturnya bergaya Bugis dan mengacu pada
bentuk perahu Pinisi.

Rumah yang juga ada unsur Cinanya itu berukuran 40 x 8 meter persegi serta
berdiri di atas tanah seluas 700 m2 itu kini bisa disewa siapa saja. Di
samping rumah terdapat dua kolam yang sudah kering. Di depan rumah ditumbuhi
oleh beberapa pohon sejenis petai cina.

Ada satu lagi situs di sekitar Maroenda yang belum banyak diketahui orang
yaitu makam Tete Jongker. Siapa dia? Menurut Isa, dia adalah seorang
kapiten, pemimpin pasukan pribumi Maluku yang dibawa Belanda.

Karena banyak jasanya, Tete oleh Gubernur Jendral Spelman diberi sebidang
tanah di Marunda sekaligus menjadi mata-mata bila ada musuh. Namun karena
sama-sama pribumi menjadikan Tete dekat dengan orang Banten dan Mataram yang
menjadi musuh Belanda.

Ketika Spelman tidak menjabat gubernur jendral, ada seorang opsir yang iri
padanya sehingga menghasut pejabat baru dengan mengatakan Tete jadi
mata-mata. Termakan hasutan, Tete dipanggil ke Kastel Batavia dan
diinterogasi mirip dengan tawanan.

Akibatnya Kapiten Tete Jongker merasa terhina dan sia-sia pengabdiannya pada
Belanda yang menyebabkan dia berbalik arah melawan Belanda. Ia mengumpulkan
pengikut orang-orang Banten dan Mataram, berencana menyerang kastel.

Sayangnya, Belanda lebih licik dengan mengirimkan orang Tugu sebagai
mata-mata. Belanda terlebih dahulu menyerang mereka. Di tempat itu juga Tete
tewas dan makamnya hingga sekarang dipertahankan.

Kini, kedua kawasan itu telah berubah drastris baik fisik maupun budayanya.
Masyarakat Tugu yang dulu agraris, kini terkepung pabrik-pabrik (KBN
Cakung). Begitu Pula Marunda yang dulu masyarakat nelayan juga dikelilingi
KBN Marunda.

Masyarakat keturunan Portugis di Tugu pun tinggal hitungan beberapa kepala
saja. Juga warga Betawi Marunda telah kehilangan identitas. Hanya Keroncong
Toegoe, Gereja Toegoe, Makam Tete Jongker, Masjid Al Alam, dan Rumah Tinggi
Melayu pesisir yang tersisa.


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke