Kesenian Minang Perkaya Budaya Nasional * Indang Pembawa Pesan Dakwah By padangekspres, Sabtu, 01-Mei-2004, 05:40:52 WIB
Tari indang yang sarat makna filosofis kembali menguat di tengah warga Piaman setelah lama tenggelam. Budaya yang masuk abad ke 16 ini merupakan media dakwah untuk menyebarkan agama Islam dan butuh niat tulus untuk melestarikannya. Saking kaya dengan makna, dengan berani para seniman tradisi nusantara menyatakan bahwa orang Minang tak perlu sekolah formal, karena nilai tradisinya telah lebih dari cukup mengajarkan nilai kehidupan yang berdasarkan agama, adat yang terbukti menghasilkan negarawanan dan pemikir. Pendapat itu dikatakan Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Jabatin Bangun, didampingi mantan Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Sumbar, Edi Utama, dosen senior IKJ, Endo Suanda serta seniman lainnya, kemarin di Korong Sarang Gagak Pakandangan Kabupaten Padangpariaman. Malam itu, acara kesenian rakyat sedang digelar dalam rangka Batagak Datuak Rajo Ameh yang akan disandang Iqbal Alan Abdullah dari suku Tanjung. Indang dimainkan pemain dengan jumlah ganjil dengan duduk berderet. Deretan duduk ini paling ujung dimulai dari usia paling kecil, semakin ketengah semakin besar. Di tengah inilah seorang Tukang Aliah berada dan mengomandoi gerakan mana yang akan dilakukan sesuai syair dan pantun yang dinyanyikan. Di belakangnya, duduk seorang Tukang Dikia atau Tukang Karang yang merupakan seorang tua yang sangat paham dengan ajaran adat dan agama Islam. Dari mulutnya melantunlah nyanyian puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad. Dari pantun yang dinyanyikan dengan irama zikir ini, sering masyarakat atau pemimpin dikritik dan diingatkan terhadap pelencengan? Pelencengan yang terjadi dan tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat. Di belakang tukang dikia ini, duduklah para pemain indang senior yang selalu mengawasi pemain indang yang masih muda agar patuh terhadap pakem indang. Menurut Jabatin Bangun, dari tradisi ini kentara sekali warga Piaman sangat kuat dalam hal regenerasi. Hal itu terlihat dari susunan duduk, pemain kecil paling ujung dan makin ke tengah semakin dewasa, sementara di belakangnya duduk pemain senior yang selalu berbagi ilmu dengan yuniornya. Inilah makna philosophyis yang sangat menonjol tutur steering comitee LSM Pendidikan Seni Nusantara ini. Dari segi perbandingan sistem pendidikan yang diajarkan di sekolah- sekolah, makna indang jauh lebih besar. Karena, dari kecil seseorang sudah dikader dan dibimbing oleh orangtua atau dewasa. Jadi, ada buku yang mengatakan bubarkan sekolah, inilah maksudnya, masyarakat telah sekolah secara tradisi dan budaya mereka sendiri tegas Jabatin. Dibandingkan dengan sekolah- sekolah pemerintah, yang diajarkan itu kurang bernilai dan terpusat dari atas. Dan, hasilnyapun tidak bisa menjawab SDM manusia yang mempunyai jati diri. Sementara, pesan-pesan agama dan adat yang disampaikan selalu mengingatkan masyarakat bagaimana hidup bermasyarakat. Maka, akan terbentuk generasi yang selalu ingat dengan ajaran agama dan adat di bawah bimbingan orang yang paham dengan agama. Untuk lebih berkembang lagi secara nasional, tutur Jabatin Bangun, seni indang ini menghadapi dua kendala. Pertama, masalah bahasa dan kedua rendahnya apresiasi terhadap seni itu sendiri. Soal bahasa, sering para pemain seni tradisi mengubah bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia. Padahal hal ini tidak perlu. Untuk memahami Indang, orang lain tentu saja harus mengerti bahasa Minang sehingga bahasa daerah itu akan semakin populer. Selain itu, rendahnya apresiasi terhadap seni dan budaya ini tidak hanya di bidang seni, tetapi juga disegala bidang. "Melihat besarnya makna indang dan seni tradisi ini, maka warga Piaman harus percaya diri terhadap seni dan budaya mereka," tutur Jabatin. Alasannya, tradisi Pariaman yang salah satunya Indang ini, mampu menciptakan manusia yang sesuai dengan ajaran agama dan adat. (idham firmantara) Senada dengan itu, Edi Utama menyatakan, akibat gencarnya tradisi dan seni bangsa asing masuk ke Indonesia atau Sumbar, membuat warga Minang nyaris kehilangan identitas budayanya. Padahal, budaya Minang ini sangat menarik oleh bangsa asing. Seni tradisi bagi masyarakat lokal bukanlah sebagai mata pencarian, tetapi tidak lebih sebagai penggilan jiwa terhadap nilai-nilai tradisi mereka sendiri. Faktanya, para pemain tersebut merupakan orang-orang yang sudah punya mata pencarian sendiri. Jika dibandingkan, honor yang mereka dapat jelas tidak sesuai. Mereka mau bermain memang karena kerinduan terhadap tradisi dan bukan karena uang. " Sangat parah kalau seni kita diukur dengan uang dan dijadikan sebagai eksploitasi industri seni," tambahnya. Akibatnya, spirit tradisi sebagai seni akan hilang berganti dengan uang. Maka perlu untuk melestarikan tradisi indang ini dari usia dini. Salah satunya dengan memasukan ke dalam mata pelajaran kurikulum lokal di sekolah dasar di Piaman. (idam firmantara)Padang Ekspres Online : http://www.padangekspres.com/ Versi online: http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2608 3 ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________