Rabu, 02 Juni 2004
Tanah Abang, Ambisi Pasar Jaya, dan Para Jagoan
Laporan : Alwi Shahab, Wartawan Republika

Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang telah berusia 259 tahun (dibangun
pada 1735) akhir tahun ini sudah bukan lagi menjadi pasar tradisional.
Karena pasar yang dibangun Justinus Vinck, tuan tanah dan anggota Dewan
Hindia masa VOC, ini akan disulap menjadi mal berlantai 18 dengan biaya Rp
700 miliar dan akan selesai dalam 16 bulan.

Mal dengan 8.000 kios memang diutamakan bagi pedagang lama yang akan
ditempatkan di lantai empat ke atas. Lalu, lantai satu hingga tiga
dikomersialkan dengan harga Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar untuk kios ukuran
2x2 meter persegi. Nantinya entah berapa puluh ribu orang yang tiap hari
akan mendatangi pasar yang kini menjadi pusat grosir dan pakaian jadi
terbesar di Tanah Air ini. Apalagi, Pemprov DKI akan membangun monorel
Kampung Melayu-Kota-Tanah Abang. Sementara, pihak PD Pasar Jaya berambisi
menjadikan pasar ini sebagai salah satu pusat bisnis terbesar di Asia.

Pada tahun 1970-an Lea Jellinek melakukan riset tentang kawasan miskin di
Jakarta dan membandingkannya dengan kawasan yang sama di Yogyakarta. Untuk
itu, ia mondar-mandir Yogya-Jakarta. Tatkala memantau Tanah Abang (Kebon
Kacang), ia menyimpulkan watak kampung miskin Kebon Kacang berbeda dengan
watak kampung-kampung miskin di Yogyakarta. Kebon Kacang, menurut hasil
riset yang diterbitkan 1991 dalam buku The Wheel of Fortune, sejak 1949
masuk dalam 'garis edar' pembangunan nasional. Roda-roda keberuntungan
berputar di Kebon Kacang dan tidak di kampung-kampung miskin Yogyakarta.

Yang jelas dengan maraknya gedung pencakar langit di sisi-sisi Jl Thamrin
dan Jl Sudirman, beberapa kawasan di Tanah Abang kini sudah tergusur. Di
antaranya, Jl Karet Tengsin yang sampai 1970-an menjadi salah satu pusat
industri tekstil di Jakarta (dekat TPU Bivak). Kini sudah menjadi kawasan
pencakar langit. Rumah-rumah di Kebon Kacang I yang jaraknya sekitar 100
meter dari Pasar Tanah Abang kini sudah berubah menjadi ruko-ruko terdiri
dari dua dan tiga lantai. Di Jl Kebon Kacang V, garasi mobil di rumah-rumah
telah berubah menjadi kios-kios kecil. Mendatangi Jl KH Mas Mansyur, jalan
utama di Tanah Abang, hampir tidak ditemukan lagi tempat tinggal. Tidak
kurang dari 80 persennya menjadi tempat kegiatan bisnis, mulai dari
perhotelan, ekspedisi, toko kitab, minyak wangi, sampai madu arab.

Mereka yang menunaikan rukun Islam dan ibadah umroh bila ingin membeli
oleh-oleh tidak usah membeli di Tanah Suci, seperti kurma Madina, tasbih,
peci haji, dan lagu-lagu irama padang pasir lengkap tersedia di Tanah Abang.
Sementara itu, di ujung Jl KH Mas Mansyur, bagian belakang Hotel Sahid Jaya,
perkampungan Betawi menjadi apartemen, perkantoran belasan tingkat, dan
perbankan. Begitu berkembangnya Tanah Abang hingga beberapa nama tempat dan
kampung kini sudah tidak berbekas sama sekali. Contohnya, Kampung Kombongan
di belakang Pasar Tanah Abang. Sampai akhir 1970-an di kampung ini terkenal
dengan 'teh pahitnya' yang dijual orang Cina. Tidak mengherankan tiap sore
sampai malam banyak warga Jakarta yang datang untuk minum teh pahit
Kombongan.

Kombongan nama tempat makan dan minum kuda yang terbuat dari beton,
berbentuk bundar tinggi satu meter dan dalam setengah meter. Di dekatnya
terdapat tempat prostitusi kelas rendahan, Bongkaran. Para WTS buka praktik
24 jam saling bergantian. Malam hari orkes dangdut digelar di Bongkaran,
suaranya terdengar ke kampung-kampung yang jaraknya lebih satu kilometer.
Seriangkali lagu Rhoma Irama yang berjudul 'Begadang' dinyanyikan pada dini
hari. ''Begadang jangan begadang ...,'' begitulah suara biduanita
menyanyikannya sambil menerima saweran pengunjung. Markas Kodau (Komando
Daerah Militer Angkatan Udara) Jakarta di Tanah Abang Bukit juga sudah
menjadi kawasan pertokoan. Termasuk rumah-rumah warga Betawi di belakangnya.
Menurut keterangan, harga kios di sini Rp 650 juta hingga Rp 1,5 miliar
untuk ukuran 2x meter persegi.

Ini menunjukkan bahwa Pasar Tanah Abang lebih mahal dari Mangga Dua di
Jakarta Kota. Yang banyak dikeluhkan warga adalah mobil-mobil yang memasuki
Tanah Abang. Padahal, mobil besar jenis ini hanya dibolehkan memasuki Tanah
Abang pada pukul 20.00-06.00 WIB. Tapi, sejak pukul 17.00 WIB sudah banyak
yang berkeliaran. ''Maklum ada permainan dengan aparat,'' kata seorang
penduduk yang tidak mau disebutkan namanya. Dalam sejarahnya Tanah Abang
memiliki segudang jagoan, seperti Sabeni, Rahmat, Durahman Djeni, Sayid Alwi
Alhabsji, dan Satiri. Mereka ditakuti bukan karena kepandaian memainkan ilmu
bela diri. Mereka adalah pembela dan pendekar kebenaran. ''Orang-orang dulu
sebelum maen pukulan harus lebih dulu belajar akidah agama,'' kata Zainal
Ali (60 tahun), yang pernah mengenal pribadi sejumlah jagoan Tanah Abang.

Karenanya, mereka banyak dijumpai di masjid-masjid. Di Tanah Abang (Gang
Lontar) tinggal almarhum mantan ketua PP Muhammadiyah, Buya Sutan Mansyhur,
ipar Buya HAMKA. Dia bukan saja sering Shalat Jumat di Masjid Al-Ikhlash
yang dikelola NU, tetapi juga kerap menjadi khatib. Rupanya dalam mewujudkan
ukhuwah Islamiyah kita perlu belajar dari ulama tempo doeloe. Mereka tidak
ingin punya musuh, kecuali kemiskinan, kebodohan, penjajahan, dan
ketidakadilan. Mereka berpegang pada peringatan Allah: ''Kalau kita tidak
bersatu kita akan hancur''. Juga berpedoman pada peringatan Nabi: ''Setiap
Muslim bersaudara''.


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke