B. Peran Ulama

1. Pada masa awal Islam di Minangkabau

Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam
masyarakat manapun, termasuk di Nusantara melalui tiga tahap penyebaran.
Oleh Trimingham tahap pertama dinamakannya dengan tahap kangah, sedangkan
Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai.

Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam,
yang terangkum dalam rukun Iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi
perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhadap
perbuatan yang dilakukan manusia. Kyai atau ulama dan tuanku lebih intens
memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap
awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya.

Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian
penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi
perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer
dikemukakan, sebelum terjadinya pembaharuan di Minangkabau, banyak
ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan,
seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak
didengar.
Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut
Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih
dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena
Islam datang tidak secara militerisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan
lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih
banyak dipergunakan untuk kepentingan magis. Islam seperti ini Menurut
Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer
Islam.

Lebih lanjut dijelaskan ciri-ciri folk Islam itu adalah:


Jika dalam doktrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk
Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan
keilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu;
ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi
terpenting folk Islam adalah perikatan-perikatan longgar, tetapi eksklusif
yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga
sering menciptakan kultus indvidu.


Kondisi folk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering
memainkan banyak peran, selain dikenal sebagai tokoh agama, ia juga diyakini
sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini
literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis.
Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah
ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama
tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu
dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun
juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai
otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan; yang dipelopori oleh
Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang "suci" dalam
tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.

Sjech Burhanuddin

Ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke
Minangkabau. Pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke
Minangkabau sekitar abad ke 7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan
melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus,
masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam
catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah
masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari
sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian
menemukan perkampungan penduduk. Saudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka
diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi
Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya.
Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut
berasal dari keturunan raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus
sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak
dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah
meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan
masyarakat kembali kepada agama lamanya.

Sementara itu, ada yang menyebutkan pada abad ke 13 seiring dengan
penguniversalan masuknya Islam di Nusantara dengan berdirinya kerajaan
Samudara Pasai. Namun, perkembangan Islam di Minangkabau selanjutnya
ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruung oleh Raja Sultan Alif yang
beragama Islam pada abad 16.

Perkembangan Islam pada masa awal; kajian sejarah lebih terfokus pada peran
Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh
yang bernama Alkalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al Jawi bin Alfansyuri.
Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak
dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum
itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme
maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang
surut.

Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke
Islaman. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga
mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan
diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh
sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya
sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.

Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan
pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang
dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah, pendidikan di
Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya
perkembangan pondok pesantren di Jawa.

Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo, et.al ada lima pola pesantren mulai dari
sederhana samapai pada yang modern. Lima pola itu adalah Pola I; pesantren
terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola II terdiri dari masjid,
rumah kiyai dan pondok. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan
madrasah. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat
keterampilan. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat
keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah
umum.

Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok),
rumah kiyai dan surau kecil (tempat keterampilan dan penginapan). Surau
besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama
mengajar disini, ia sekaligus pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni,
tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan,
dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama
(guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini
pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya.

2. Tahap Penyebaran lslam

Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap
tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran
mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih
banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan
keilmuan.

Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi
pertama. Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang
sinkretisme. Bagi mereka, agama dipahami sesuai dengan informasi literasi,
mungkin gerakan pembaruan dan pemurnian Islam yang dilakukan oleh Wahabi,
bisa diletakan dalam konteks ini.

Peran ulama, terpecah menjadi dua; yakni ulama yang beraliran folk Islam dan
ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaru.
Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan
Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784-1803 atau disebut juga dengan
Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau.

Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad
Khatib Al Minangkabawy, terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut
ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembaharuan
Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792).

Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di
kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama
konservatif Hariamau Nan Salapan. Kelompok ini melihat, bahwa Islam di
kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan
yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian
ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung
atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis.

Puritanisasi

Diberbagai daerah penyebaran Islam, pada umumnya ada tokoh sentral yang
mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral
ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent
of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya
tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya.

Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses
puritanisasi. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi
bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam Gerakan Paderi. Kelompok
puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke Ranah Minang. Diantaranya
Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu
berlangsung gerakan pemurnian. Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan,
sehingga kepulangannya di Ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam.

Semula, gerakan yang dilakukan Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh
masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan
masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang
judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering
dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya
Haji Miskin dan pengikutnya pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang
yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan
Haji Miskin Melarikan diri ke Bukit Kamang.

Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh
masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam
pelariannya, menemukan seorang teman yang sealiran dengannya (yang menerima
gerakan pemurnian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini,
nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh
tidak sabar untuk menegakkan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi,
dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang teringeral. Bahkan dikabarkan,
Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan
ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam,
mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerarakan militannya
menjalar menembus pembasmian praktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih
mengkontaminasi masyarakat.

Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa
diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan
berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang
oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah
menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka di
terbentukalah gerakan Paderi, yang secara terorganisir terlihat ketika
Tuanku Imam Bonjol dalam menentang penajajahan Belanda.

Menurut Schrike, seperti dikutip Taufik Abdullah, menyatakan gerakan Pederi
ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang
tidak memberinya tempat dan hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia.
Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di
Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepemimpinan dalam Islam dengan
formulasi islamisasi.

Dalam istilah Greetz, revolusi itu disebutnya sebagai revolusi
skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di
nusantara menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemerdekaan
bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan,
di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move
achievment kaum skriptualisme.

Peran ulama, mempunyai double legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan
pemahaman dan penyebaran ajaran agama ditengah umatnya, yang kedua ulama
mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna
jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan
puritanisasi di Minangkabau; Jihat hati dan jihat lidah dan tangan yang
terangkum dalam gerakan perang suci.

3. Tahap Modernisasi

Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa
agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan
diartikan sebagai "komponen Barat" tetapi lebih dimaknai sebagai setting
keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya
Weber, Robert N. Bellah dan Califord Geertz, melihat agama sebagai
inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya
(semuanya terangkum dalam kabolasi makna modernisasi). Durkheim juga
mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Ricahrdson disebutnya sebagai felt
whole "perasaan kemenyeluruhan" yang dibangun oleh agama, sehingga agama
hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh
manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.

Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga
menemukan, kemajuan politik, budaya di Jepang tidak dapat dilepaskan dari
spirit Tokugawa. Di Nusantra kata Geertz agama telah memberikan move
perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah
dijenearal dalam teori keilmuan.

Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau "penabuh" inspirator agama
itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah
keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai
agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama
tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka
dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan
cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat
tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran
hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.

Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam konteks
pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama harus
memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama
tidak terasing ditengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi
yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke
dalam defenisi yang diskursus domana, agama dituding sebagai candu
masyarakat.

Ketika inilah dibutuhkan "penerangan" agama holistik dan terintegral, dimana
agama tidak hanya sebagai "penenang jiwa" tetapi juga harus dijelaskan
sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam,
perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan
memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah
informasi tersebut.

Semenjak diterima filsafat dalam khazanah perkembangan sains Islam,
setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan
pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Alfarabi, Ibnu Rusy
dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik
dalam "ranah" penyepian yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi
agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.

Namun, karena umat membangun agama itu sebagai "monumen" yang sudah final
dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi
yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya,
tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak
"mengerti" dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia
lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks "penenang" jiwa, ketimbang
menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam
yang dijelaskan Gellner.

Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara;
Pertama, melalui injection mativation, dan kedua melalui revolusi think
tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia
luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat
pengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini
dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan
Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaharuan dalam institusi
pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah,
serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor
pembaharuan ini, diantaranya Sjech Ahmad Khatib, Sjech Taher Djaluddin,
Sjech Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad.

Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan
pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima
ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok
ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengoptimalan pemahaman ajaran
Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat
Islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama
secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima
pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan
perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan.

Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke
Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman
tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahan keagaman menuju kekayaan
bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekontruksi oleh
Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan
keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik.

Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami
adalah meletakan Islam sebagai ideologi atau paradigma dalam tranformasi
sosial. Tugas inilah yang harus dilakukan oleh agamawan atau ulama.

Tidak semua ulama yang dapat menjalankan misi tersebut. Tugas ini, kemudian
banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh
perhatian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada
zamannya Hamka, Hatta dengan gerakan ekonomis sosialis Islam.

Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan
membangun defenisi Islam yang baru. Dilihat dari alur pemikiran lahirnya,
paradigma ini disebabkan ketidak "relaan" kelompok pemikir ini terhadap
ketertinggalan umat Islam dalam "merancah" dunia sosialnya, serta kepicikan
pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam
dunia nyata.

Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah
muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman
Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih
berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama
membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau.

Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat
Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sistem pendidikan
agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal
ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan institusi, organisasi
ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan
munculnya organisasi plat form Islam.

Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tradisional dengan
sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki
kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi
dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi
cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di
Minangkabau.

Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan
ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan
pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan
idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya
tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progressiv, seperti
organisasi-organisasi ke Islaman.

Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah
melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya
pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya
madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas
menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan.

Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua
kutub, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama
modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan
mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum
tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta
masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.

Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara
realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam
masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih
terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang
dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik
keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education.

Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam
sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut
perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan.

4. Tahap Perubahan

Madrasah-madrasah yang didirikan oleh ulama-ulama konservatif ini, secara
langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap mentalitas masyarakat
Minangkabau. Pertama, pengaruh terhadap pendidikan keagamaan, sehingga mampu
melahirkan kaum santri dan ulama. Kedua, berpengaruh terhadap mentalitas.
Pengaruh ini, berimplikasi terhadap gaya hidup (life style) dan cara
berfikir.

Secara langsung atau tidak langsung pengaruh tersebut menjiwai terhadap
lahirnya sebuah pergerakan yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya
pergerakan nasional, inilah yang disebut oleh Geertz sebagai revolusi kaum
skriptualis. Di Minangkabau, dari data sejarah menunjukan banyak
pergerakan-pergerakan lahir dari kaum surau yang terdidik ini. Pergerakannya
tidak saja berikatan dengan keagamaan saja. Oleh Azyumardi Azra disebut
dengan ortodoksi skriptual. Ortodoksi skriptual ini, berlangsung sekitar
abad ke-17.

Walaupun demikian, pada masa pergerakan ini ada kegamangan bagi kaum surau,
terutama kegamangan dalam melihat perubahan-perubahan sosial, ekonomi,
politik yang berkembang. Di tambah lagi semakin diterimanya sekolah-sekolah
modern oleh masyarakat. Kondisi ini, semakin meminggirkan pendidikan surau.
Apalagi setelah banyaknya tamatan-tamatan sekolah modern mendapatkan kerja
yang mapan, maka sekolah-sekolah modern menjadi sasaran pendidikan bagi
orang Minang.

Semenatara itu sistem pendidikan surau-madrasah, masih bertahan dengan
sistem yang ada, tidak mencari terobosan-terobosan untuk mengimbangi.
Sistemnya masih terpaut dengan kajian-kajian tekstualitas (skriptualisme)
dan belum menjauh kearah pengembangan-penjabaran tekstualitas dalam
kontekstual.

Sistem pendidikan seperti ini, sebenarnya cukup lama berlangsung dalam
peradaban Islam, bahkan pada masa peradaban semangat Islam konsevatif
(Ustmaniyyah, Safawiyyah dan Mongol) pun belum banyak terjadi perubahan
sistem pendidikan Islam. Kecenderungan konservatif ini (ortodoksi spritual)
dalam sistem pendidikan adalah, menekankan pada moralitas dan literasi.
Sementara kurang menerima pemikiran yang radikal. Dengan gamblang Karen
Amstrong membeberkan; kebanyakan pendidikan saat itu hanya berupa hapalan,
sehingga tidak mendorong orisinalitas. Para siswa tidak diajarkan untuk
memahami gagasan baru secara radikal, karena masyarakat luas tidak dapat
menerimanya. Gagasan baru dianggap mengganggu tatanan sosial dan
membahayakan masyarakat. Pada masyarakat konservatif stabilitas dan
keteraturan sosial dianggap lebih penting dari kekebasan berekspresi.

Pergeseran cara pandang ini, terus berlanjut. Oleh sebab itu Muhammad Syafei
dan Abdullah Ahmad menerobos jalan yang berbeda dengan pendidikan
surau-madrasah. Muhammad Syafei, mendirikan sekolah keterampilan, yang
diberinya nama Institut Nasional Syafei di Kayutanam. Abdullah Ahmad
mendirikan Adabiah, sebagai sekolah modern. Pada masa ini, kaum
surau-madrasah mendapat tantangan yang signifikan dari sekolah-sekolah
modern.

Pemikiran-pemikiran ke Islaman pun mulai bergeser, dari pemikiran ke Islaman
klasik sampai pada temporer karena perubahan sosial melahirkan
fenomena-realita yang baru. Untuk menerangkan ini, jelas dibutuhkan
keterpaduan ilmu reliji dengan pengetahuan terhadap perubahan tersebut.
Namun, karena ulama masih terpaut dengan tradisi lama, maka
perubahan-perubahan yang begitu cepat kurang terakses oleh wilayah agama.
Dan kontrol masyarakat pun tidak banyak memainkan peranan.

Kondisi ini tidak saja dirasakan dalam masyarakat Minangkabau, di Jawa pun
mengalami kondisi yang sama, keunggulan kiyai adalah kemampuan untuk hadir
ditengah-tengah masyarakat luas, mampu mengkombinasikan pikiran keilmanannya
dalam bahasa jelata, serta sanggup membangun kekuatan jemaah yang real dan
kohesif. Tapi sayang, belum diperlengkapi dengan perangkat teologis yang
lebih transformatif.

Kondisi ini pula yang menyebabkan surau-madrasah ketika itu, kurang diminati
oleh masyarakat, karena keilmuan ke Islamannya belum transformatif.
Akibatnya, madrasah-surau lebih banyak bertahan dikalangan masyarakat
pedesaan.

Sementara itu di perkotaan, sekolah-sekolah modern diakses dengan begitu
cepat oleh masyarakat seiring dengan bergulirnya sistem ekonomi pasar yang
menghendaki manusia sebagai "mesin" pencetak uang. Dan keterampilan, untuk
mencetak uang itu lebih terkonsentrasi pada sekolah modern.

Secara langsung atau tidak langsung, wibawa surau-madrasah mulai
terpinggirkan. Kebanggaan terhadap generasi yang mempunyai ilmu agama yang
tinggi mulai dikalahkan oleh kalangan yang terdidik dan mempunyai
penghasilan-jabatan yang memadai. Inilah fenomena traumatik sosial, terlihat
pada masa-masa perubahan di Minangkabau.

Seiring dengan itu, tradisi pemikiran ke Islaman terpecah dalam dua kubu,
yakni tradisi pemahaman keagamaan tradisional dan modern. Tradisional lebih
banyak berkembang di pedesaan dengan mempertahankan sistem pendidikan
surau-madrasah. Sementara, pemahaman modernisasi ke Islaman, jelas
berkembang di perkotaan, yang dijabarkan oleh ulama yang mampu mengakses
pembaharuan dan perubahan.

Pada tahap perubahan ini, perubahan pemikiran pun tidak bisa dipisahkan dari
proses modernisasi. Pemikiran ke Islam-an, tidak lagi berada dalam otoritas
ulama-surau-pesantren, tetapi juga berpindah pada intelektual akademisi.
Transformasi pemikiran ini, secara langsung atau tidak langsung telah
membangun dua komunitas pemikiran keagamaan, yakni komunitas pemikiran
tradisional dan modern.

Komunitas pemikiran tradisional, lebih berkembang di pedesaan, di
surau-surau ulama tradisional. Sementara kelompok intelektual, lebih
berkembang di perkotaan.


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke