Kolom: “Esai dengan
Gaya”
Farid Gaban, Majalah
TEMPO*
PENGANTAR
Dalam
dunia sastra, esai dimasukkan dalam kategori non-fiksi, untuk membedakannya
dengan puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai
fiksi. Membuka
halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai atau opini.
Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut: -
OPINI:
mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau
peristiwa. -
SUBYEKTIFITAS:
memiliki
lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai
analisis maupun pengamatan yang “obyektif”. -
PERSUASIF:
memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa
adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan
pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan
penulis. Meskipun
banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai
media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling
sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan: -
SERIUS
dan PANJANG: orang
mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis
sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan
dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon
bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan
seperti itu takkan dibaca orang banyak. -
KERING:
banyak
tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis
lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat
dingin: obyektif, berjarak, anti-humor
dan tanpa bumbu. -
MENGGURUI:
banyak
tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya
penulis adalah dewa yang paling tahu. -
SEMPIT:
tema
spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin seorang
doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali
para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan
istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk
menikmatinya. KOLOM:
“ESSAY WITH STYLE”
Berbeda
dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah
menulis untuk hampir “semua orang”. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah,
ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh
menjadi tulisan murahan. Bagaimana
itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang
penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca.
Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan
di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah
lain, tapi juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan
di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan
sebagainya. Mengingat
“reputasi” esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan para
penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre”
baru dalam esai, yakni “creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis
secara kreatif. Dalam
“creative non-fiction”, penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog,
narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi.
Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, “creative
non-fiction” juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektifitas serta
keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan
subyektifitas lebih banyak, esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan
gaya (“style”) serta personalitas si penulis. Di
samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada
keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom
koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa
interupsi). PENULISAN
KOLOM INDONESIA
“Creative
non-fiction” bukan “genre” yang sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa
1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal,
mereka yang sukses mengembangkan “style” dan personalitas dalam tulisannya.
Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis
secara kreatif, populer serta “stylist”. Para
penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB
Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief
Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha Ainun
Nadjib. Untuk
menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis esai/kolom lain
yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno
(manajemen-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta
Jalaluddin Rakhmat (media dan agama). Bukan
kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga
sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis. Dalam “creative non-fiction” batas
antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur. Bahkan Bondan (ahli
manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam
juga sesekali menulis cerpen di koran. Namun,
pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Kecuali
Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan (“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa
di Harian “Kedaulatan Rakyat”), para penulis di era 1980-an sudah berhenti menulis (Mahbub, Romo
Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum). Pada era
1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru—namun inilah era
yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri
(ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar
Witoelar (bisnis-poilik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA,
Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan
substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep
barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali
menulis cerpen. Sementara
itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis esai,
apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro
Adjidarma adalah pengecualian. Padahal,
sekali lagi, mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius (panjang dan
melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai lebih besar lagi.
TUNTUTAN
BAGI SEORANG PENULIS KOLOM
Kenapa
esai astronomi Stephen Hawking (“A Brief History of Time”), observasi
antropologis Oscar Lewis (“Children of Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang
Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita
nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”)
dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati
seperti cerpen? Hawking,
Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu
mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih
luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan
teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai
mereka. Untuk
mencapai ketrampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap
mental tertentu: Keingintahuan
dan Ketekunan: Sebelum
memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu “memelihara”
keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca
referensi di perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan
eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan
mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka
tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang
ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca? Kesediaan
untuk berbagi: Mereka
tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk
pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau
jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi,
metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati
khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit
dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan
struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan
tulisan. Kepekaan
dan Keterlibatan: Bagaimana
bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan
kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di
pasar? Seorang
Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan
seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai
kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru). Menulis
catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya
kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan
kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek
kemanusiaan pada umumnya. Sastra
(novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan
karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Kekayaan
Bahan (resourcefulness): Meski
meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis
yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia
bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa
saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood),
mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua
hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan
mana, di buku apa, di situs internet mana. Kemampuan
Sang Pendongeng (storyteller): Cara
berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya
disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot,
alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang
kulit. APA
SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?
Kebanyakan
penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di
koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang
membuat penulis menjadi memiliki gengsi. Semua
hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan
diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema
kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam
sekalipun. Ada
banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja.
Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut
penulis-penulis spesialis. -
Politik
lokal (bersama maraknya otonomi daerah) -
Bisnis
(industri, manajemen dan pemasaran) -
Keuangan
(perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal
finance) -
Teknologi
Informasi (internet, komputer, e-commerce) -
Media
dan Telekomunikasi -
Seni-Budaya
(film, TV, musik, VCD, pentas) -
Kimia
dan Fisika Terapan -
Elektronika -
Otomotif -
Perilaku
dan gaya hidup -
Keluarga
dan parenting -
Psikologi
dan kesehatan -
Arsitektur,
interior, gardening -
Pertanian
dan lingkungan Pilihlah
tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya
dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda. TEKNIK
PENULISAN KOLOM
Mencari
ide tulisan
Ada
banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika
memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu
menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya “sudah ada di situ”
tanpa kita perlu mencarinya. Tema itu
bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti
pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan
aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi). Merumuskan
masalah
Esai
yang baik umumnya ringkas (“Less is more” kata Ernest Hemingway) dan fokus.
Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat,
pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah
kalimat pendek. Rumusan
itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur
yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu)
tapi keropos dasarnya. Mengumpulkan
Bahan
Jika
kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada
catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan
bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan
sebagainya. Menentukan
bentuk penuturan
Beberapa
tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain
mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang
diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg
untuk setiap tema yang ditulisnya: -
Dialog
(Umar Kayam) -
Reflektif
(Goenawan Mohamad) -
Narasi
(Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari) -
Humor/Satir
(Mahbub Junaedi) Menulis
Tata
Bahasa dan Ejaan: Taati
tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana
meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau
sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang
Disempurnakan). Akurasi
Fakta: tulisan
nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya
benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan
yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita
menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar? Jargon
dan Istilah Teknis: hindari
sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan
tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk
menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah. Sunting
dan Pendekkan: seraya
menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu
panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang
lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak”
sering bisa diringkas menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan
sebagainya. Pakai
kata kerja aktif: kata
kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir,
mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat
pasif hanya jika tak terhindarkan. Tak
menggurui: meski
Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang
yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata
“seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan
mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t tell it, show it. Tampilkan
anekdot: jika
mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat
tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa. Jangan
arogan: orang
yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini
Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada
banyak kebenaran di “luar sana”. Uji
Tulisan Anda: minta
teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai.
Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka
juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu
kita koreksi sebelum diluncurkan ke media. “MENJUAL”
KOLOM KE MEDIA
Apa yang
umumnya dipertimbangkan oleh redaktur esai/opini untuk memuat tulisan
Anda? Nama
penulis: para
redaktur tak mau ambil pusing, mereka umumnya akan cepat memilih penulis yang
sudah punya nama ketimbang penulis baru. Jika Anda penulis baru, ini merupakan
tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak pernah ada penulis yang “punya nama”
tanpa pernah menjadi penulis pemula? Jangan segan mencoba dan mencoba jika
tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis yang langsung berada di puncak; mereka
melewati tangga yang panjang dan terjal. Anda bisa melakukannya dengan menulis
di media mahasiswa, lalu menguji keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk
koran seperti Kompas atau majalah Tempo. Otoritas:
redaktur
umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari penulis yang bisa menunjukkan
bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini berarti sang penulis adalah master
atau doktor dalam bidang tersebut. Style
dan Personalitas: tema
tulisan barangkali biasa saja, tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya “style”
yang orisinal dan istimewa serta sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang
redaktur akan memuatnya. Populer: koran
dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup populer
bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor dalam
antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak bodoh
dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi yang
tidak banyak mendalaminya. BAHAN
BACAAN LANJUTAN
Teknik
Penulisan
-
Argumentasi
dan Narasi (Gorys Keraf) -
Yuk,
Menulis Cerpen, yuk (Mohammad Diponegoro) Catatan
Harian dan Korespondensi
-
Catatan
Harian Soe Hok Gie -
Surat-surat
Iwan Simatupang -
Catatan
Harian Ahmad Wahib Kumpulan
Esai
-
Catatan
Pinggir dan Kata, Waktu (Goenawan Mohamad) -
Mangan
Ora Mangan Kumpul dan Sugih tanpa Banda (Umar Kayam) -
Faisal
Baraas (Beranda Kita) -
Puntung-Puntung
Roro Mendut (YB Mangunwijaya) Kumpulan
Cerpen
-
Orang-orang
Bloomington (Budidarma) -
Lukisan
Perkawinan (Hamsad Rangkuti) -
Odah
(Mohamad Diponegoro) -
Leak
(Faisal Baraas) -
Tegak
Lurus Dengan Langit (Iwan Simatupang) -
Bromocorah
(Mochtar Lubis) SELESAI
* Farid
Gaban ([EMAIL PROTECTED]) kini Redaktur
Pelaksana Majalah Tempo. Dua bukunya yang pernah diterbitkan Mizan, Bandung: “Dor! Sarajevo” (reportase Perang
Bosnia) dan “Belajar Tidak Bicara”
(kumpulan esai di Harian Republika). |